POV Yasmin
“Dokter Radit?” Aku tak sadar memekik.
“Iya. Apa Neng Yasmin kenal sama anak Ibu?” Wajahnya berbinar bahagia. Mungkin dia berpikir aku akan bisa mengantarkannya pada sang anak. Padahal aku juga tidak tahu alamatnya di mana. Duh, tau bakal begini, waktu itu aku mau minta nomor HP-nya. Aku kan, malu. Masa cewek tiba-tiba minta nomor HP sama cowok yang baru dikenal.
“Emmh, dibilang kenal banget, sih, nggak. Cuman saya pernah satu bis sama dr.Adit waktu pulang dari rumah teman di Suniaraja.” AKu masih berbohong. Tak enak rasanya harus mengungkit kepicikan keluarga mantan suami. Biar saja itu jadi rahasiaku.
“Oh, Ibu kira Neng Yasmin kenal sama anak Ibu.” Dia menghela napas. Mungkin kecewa karena tak bisa segera bertemu dengan anaknya.
“Gini aja, Bu. Sekarang hujannya masih besar, jadi … Ibu menginap saja semalam di sini, ya? Besok pagi, sambil berangkat kerja saya antar Ibu ke rumah sakit Sentosa. Di sana pasti ada yang kenal sama anak Ibu,” ungkapku agar si ibu agak sedikit merasa tenang. Dan memang benar, matanya langsung berubah cerah.
“Apa tidak akan merepotkan? Ibu jadi malu,” katanya.
“Tidak apa-apa, Bu. Ibu sama sekali tidak merepotkan. Cuman semalam ini. Udah, sekarang Ibu istirahat aja, besok pagi saya antar Ibu ke sana, ya.”
Aku berusaha meyakinkannya dan berhasil, ibunya dr.Radit akhirnya menginap di kontrakanku malam ini.
Subuh-subuh aku terbangun karena mendengar suara merdu yang sepertinya suara ibunya dr.Radit. Dia mengaji setelah salat tahajud. Aku segera bangun.
“Eh, Neng Yasmin. Maaf kalau Ibu sudah ganggu tidurnya Neng Yasmin,” ucapnya sopan. “Ibu juga pinjem Quran-nya, tidak apa-apa?”
“Ah, iya, Ibu. Tidak apa-apa, pakai saja,” jawabku sembari bangkit hendak ke kamar mandi.
Setelah selesai salat dan mandi, aku gegas ke depan untuk membeli sarapan. Ibunya dr.Radit bilang beliau makan apa saja, jadi aku memutuskan membeli nasi kuning lengkap dengan telur bulat dan oseng tempe.
Ibunya dr.Radit makan dengan lahap. Aku bahagia melihatnya. Seumur hidup belum pernah tahu bagaimana wajah ibu kandungku. Aku hanya tahu wajah ibu pengurus panti dan dialah yang kuanggap sebagai ibu selama ini.
Dengan memesan taksi online aku antar ibunya dr.Radit yang belakangan aku tahu jika namanya adalah Bu Wati, ke rumah sakit tempat anaknya bekerja. Semoga saja dr.Radit praktek hari ini. Jika tidak, mungkin aku bisa meminta alamat atau nomor HP-nya pada orang di sana. Tidak mungkin tidak ada yang mengenalnya jika dia memang bekerja di sana.
Gedung rumah sakit sudah terlihat dari jalan raya. Kami turun. Bu Wati terlihat kagum dengan rumah sakit tempat anaknya bekerja. Matanya berbinar cerah.
“Jadi … di sini Adit bekerja?” gumamnya. Aku pun pasti sama dengan Bu Wati jika punya seorang putra yang membuatnya bangga.
Karena bingung di mana dr.Radit praktek, maka aku putuskan untuk bertanya pada sekuriti yang berjaga di depan. Ada beberapa lobby di gedung itu. Ada yang bertuliskan IGD, Klinik dan Klinik Eksekutif. Entah aku harus memilih yang mana.
“Pak, maaf numpang tanya. Kalau Dokter Raditya prakteknya di bagian apa ya?” tanyaku. Sementara Bu Wati hanya mengekori di belakang.
“Dokter Raditya siapa ya?” Sekuriti itu memastikan.
“Raditya Hanggara, Pak,” timpal Bu Wati dan aku menoleh padanya.
“Oh, Dokter Radit yang ganteng? Beliau praktek di klinik dokter umum. Mbak dan Ibu ini mau berobat ke dr.Radit?” Pak Satpam balik bertanya.
“Eh, bukan, Pak. Ini ibunya dari kampung, mau ketemu sama dr.Radit. kebetulan kemarin beliau kejambretan, jadi tidak bisa menghubungi anaknya,” balasku. Sekuriti itu manggut-manggut.
“Kalau jam segini dr.Radit belum datang, Mbak. Paling sebentar lagi,” katanya. Duh, gimana ini? Mana aku harus kerja.
“Mmh, begini saja, pak. Apa Bapak tahu alamat rumahnya dr.Radit?” tanyaku lagi. Sekuriti itu terlihat ragu. Mungkin takut jika kami adalah penipu.
“Saya harus kerja hari ini, jadi saya minta tolong sekali.” Aku tangkupkan kedua tangan di dada. Namun, sekuriti itu masih tampak ragu.
Rasanya kasihan jika harus membiarkan Bu Wati menunggu di sini sendiri. Dokter Radit pasti harus praktek dulu. Bagaimana ini? Pak Sekuriti ini pasti tidak mau sembarangan memberikan nomor ponsel dokter yang bekerja di sini.
“Kalau gitu, begini saja, Pak. Saya titip pesen saja buat dr.Radit.”
Aku langsung mengeluarkan kertas memo juga ballpoint.
Dokter Radit, maaf, ini dengan Yasmin.
Ibu anda saat ini ada di tempat saya.
Saya sedang buru-buru. Jika tidak keberatan, Dokter bisa menjemputnya di kontrakan saya.
Ini nomor W* saya. 0899999111
Aku melipat memo itu dan memasukannya ke amplop kecil yang kebetulan aku bawa di tas. Biasanya untuk jaga-jaga jika hendak ke undangan, aku selalu sedia beberapa di tas.
“Saya titip, ya, Pak. Tolong sekali.” AKu tangkupkan tangan di dada. “Kasihan ibunya dari kemarin ingin ketemu. Beliau kehilangan tas juga hp-nya.” Aku menjelaskan. Sekuriti itu tampaknya paham dan menerima amplop yang aku berikan.
“Bu, tidak apa-apa, kalau Ibu menunggu lagi di kontrakan saya? Biar nanti dr.Radit yang jemput Ibu ke sana. Saya khawatir kalau seandainya Ibu menunggu di sini,” tawarku. Bu Wati tampak ragu. Namun, aku kembali meyakinkan, jika kemungkinan dr.Radit akan lama prakteknya. Lebih baik Bu Wati istirahat dan selonjoran di kontrakanku sambil nonton TV.
Akhirnya Bu Wati menyetujui saranku. Beliau kuantarkan lagi ke kontrakan, lalu aku pun berangkat kerja.
**
Pulang kerja kusempatkan membeli kue basah untuk cemilan Bu Wati, karena aku lihat ke ponsel, sama sekali belum ada kabar dari dr.Radit. Mungkin dia sibuk sekali hari ini.
Sampai di kontrakan, Bu Wati tampak melamun. Matanya tertuju pada televisi tetapi tatapannya kosong. Dia juga tidak menyadari kehadiranku.
“Bu,” sapaku pelan. Bu Wati tersentak kaget.
“Eh, Neng Yasmin sudah pulang? Kok Adit belum datang juga ya?” katanya dengan nada khawatir. Hanya selang beberapa saat, ponselku berbunyi. Ada panggilan dari nomor yang tidak dikenal.
“Halo?” ucapku.
“Halo, Mbak Yasmin? Ibu saya ada di sana?” tanyanya khawatir. Aku mengangguk seolah dr.Radit melihatku.
“Iya Dokter. Ibu Anda ada di sini.” Aku lalu mengaktifkan mode video call dan memberikannya pada Bu Wati.
“Dokter Radit,” ucapku pelan. Bu Wati menerimanya dengan mata berbinar bahagia.
Mereka berbincang sejenak. Bu Wati menceritakan bagaimana dia kena jambret dan akhirnya ikut denganku. Beliau kemudian memberikan lagi ponselnya padaku atas permintaan dr.Radit.
“Bisa tolong minta shareloc?” katanya. Lalu dia mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Bu Wati dan anaknya saling berpelukan erat saat dr.Radit tiba di kontrakanku. Aku mempersilakannya masuk dan menjamunya dengan teh hangat juga kue yang sempat aku beli di jalan.
“Rasanya kita pernah bertemu,” ucap dr.Radit saat kami berhadapan. Aku mengangguk.
“Ah, di bis!” Dokter Radit menunjukku setelah mengingat semuanya. Aku pun tersenyum.
“Sungguh sangat kebetulan,” katanya dengan senyuman manis.
POV AgusApa benar yang dibilang sama Ibu, kalau pengantin wanita make up-nya jelek menandakan jika dia sudah nggak perawan? Atau bahkan kemungkinan dia lagi hamil?Apa ada penelitiannya? Ataukah hanya pengalaman para orangtua zaman dulu saja?Ah, entahlah. Tapi … aku yakin tak semata-mata Ibu mengatakan itu jika semua itu tidak ada dasarnya. Tidak mungkin Ibu ingin memfitnah Yasmin tanpa sebab.Sebenarnya, malam itu aku ingin membuktikannya. Tapi, aku takut jika Yasmin benar-benar sudah tidak lagi perawan atau bahkan lagi hamil. Aku tidak mau itu hanya menjadi akal-akalannya untuk menjebakku.Dia itu cantik dan banyak yang suka. Bagaimana kalau seandainya di belakangku dia melakukannya dengan orang lain, lalu meminta tanggungjawab padaku. Amit-amit. Secinta-cintanya aku sama dia, tetap saja aku nggak mau kalau harus menanggung perbuatan orang lain.“Bu, besok Agus balik lagi ke Jakarta.” Aku mendekati wanita yang telah melahirkanku itu di ruang keluarga. Dia sedang menonton sinetron
“Oh, ini ibuku.” Dr.Radit menunjuk Bu Wati dengan sopan. Lalu, dia menunjuk ke arahku dan mengatakan, “dan ini Yasmin, calon istriku.”Apa? Mataku terbelalak seketika. Jantungku seakan berhenti. Apa maksudnya ini?Aku benar-benar tercengang dengan pengakuan dr.Radit yang bilang jika aku ini calon istrinya. Aku rasa Bu Wati juga merasakan hal yang sama. Apalagi saat wanita itu mendelik. Sepertinya dia marah atau justru benci padaku. Padahal aku nggak tahu apa-apa.“Calon istri kamu?” tanyanya seolah tidak yakin. Dia menilikku dari atas sampai bawah. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang memakai pakaian mahal.“Ini tempat umum, Vir. Aku mohon jangan bikin keributan. Permisi,” ucap dr.Radit meninggalkan tempatnya. Aku lihat dengan ujung mata, wanita itu mendelik sinis lalu pergi tanpa permisi.Dr.Radit mengajak kami pulang karena Bu Wati terlihat kelelahan.“Saya antarkan dulu Ibu ke rumah ya, karena jarak ke rumah saya lebih dekat dibanding ke rumah kamu,” katanya.“Saya naik angkuta
Duh, mesti jawab apa ya?“Emmh, saya nggak marah. Hanya saja saya sedikit kaget.” Akhirnya kalimat itu yang meluncur dari mulutku. “Wajar saja. Maaf jika membuatmu tidak nyaman,” timpalnya.“Saya kaget, Pak Dokter ngakuin saya sebagai calon istri. Memangnya Pak Dokter tidak malu?”Dia mengernyit sejenak. “Malu? Kenapa harus malu?” katanya. “Kamu wanita, seagama. Lalu apa yang bikin malu?”Duh, begini ternyata kalau ngomong sama orang pinter, bikin susah jawabnya.“Saya … hanya orang biasa. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan Pak Dokter,” jawabku seolah dia sedang melamarku. Kegeeran banget ya, aku ini.Dr.Radit tertawa pelan. “Memangnya saya ini siapa? Saya sama dengan kamu. Manusia biasa,” katanya dan membuatku mati kutu.“Saya hanya ingin berterima kasih karena kamu sudah mau menolong ibu saya dan menyelamatkan saya dari Vira, tadi.”Kata ‘menyelamatkan’ membuatku agak sedikit bingung.“Menyelamatkan?” aku hanya membahas kata itu tanpa mengungkit tentang pertolonganku pada Bu Wa
POV YasminAku meminta dr.Radit untuk masuk dulu ke rumah agar aku bisa mengobati luka di pipi juga ujung bibirnya yang pecah. Bersyukur aku bisa mengusir Mas Agus dengan mengguyurnya pakai seember air bekas ngepel tadi pagi. Kebetulan aku belum sempat membuangnya karena lupa.“Dikompres dulu, Pak Dokter.” Aku mengulurkan tangan yang memegang handuk kecil yang telah direndam air es. Dia meringis saat aku mengusap ujung bibirnya dengan handuk dingin.Tatapan dr.Radit terlihat kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Apakah dia memikirkan hal buruk tentangku? Entahlah.“Mas Agus itu suami kamu?” Akhirnya dr.Radit membuka suara. Aku menghentikan mengompres pipinya yang merah bekas tinju Mas Agus.“Lebih tepatnya … mantan,” ucapku lirih. Entah kenapa aku ingin sekali menceritakan tentang apa yang telah terjadi dengan pernikahanku juga Mas Agus. Aku menceritakan secara garis besar saja.“Apa? Hanya karena make up, dia sampai menuduh kamu tidak perawan bahkan menuduh kamu hamil?” dr.
Hingga malam itu ... aku makan malam dengan Ibu dan juga Yasmin. Dia masih secantik dulu, tapi rasa dalam hatiku sudah memudar. “Apa dia wanita yang pernah kamu ceritakan itu, Dit?” pertanyaan Ibu membuyarkanku dari lamunan. Aku menoleh. “Ah, iya,” jawabku singkat. “Sangat cantik,” gumam Ibu dan aku pun setuju dengannya. “Ibu tidak ingin menghancurkan masa depanmu, Dit. Jika kamu memang mencintainya, pergi dan kejarlah. Ibu ini sudah tua, tidak perlu kamu pikirkan. Kamu justru harus memikirkan masa depanmu yang masih panjang. Kamu pasti lebih maju jika di kota,” katanya. Tapi, bagiku itu justru membuatku semakin yakin jika aku harus merawatnya. Umur Ibu entah sampai kapan, dan aku ingin membahagiakan di sisa umurnya. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban kalau aku tidak bisa memutuskan sesuai keinginannya. “Lalu, kenapa kamu justru mengenalkan Yasmin sebagi calon istri?” tanyanya dengan wajah yang serius. Aku tertawa tanpa suara. Mungkin memang ide itu sedikit gila. “Apa kamu m
POV YasminMas Agus pasti masuk kerja hari ini. Aku harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Mungkin dia akan melakukan kekerasan, menghina atau entah apa.Melihat mobilnya saja sudah berasa seekor kelinci melihat elang. Aku mengendap, mudah-mudahan tiak bertemu dengannya di gedung yang tidak begitu besar itu. Apalagi posisiku selalu berada di depan karena menerima tamu dan telepon.“Sstt, Yasmin, sini,” bisik Tina office girl di sini. Aku mendekat.“Pak Agus udah masuk kerja. Tadi udah dateng,” katanya. Tina mungkin mengkhawatirkanku karena aku sudah menceritakan semua padanya juga pada beberapa teman yang heran karena aku pulang sebelum waktu cuti habis, juga pulang tanpa Mas Agus. Mereka saja merasa heran dengan mitos yang terlalu mengada-ada.“Ya sudah, nggak apa-apa. Aku mau pura-pura nggak lihat aja kalau dia lewat,” jawabku. Mau gimana lagi, kami berada di satu gedung yang sama.“Si Dini seneng banget paas tau kamu cerai sama Pak Agus. Kamu tau sendiri, kan, kalau dia
Dia tidak menjawab, malah semakin menarikku dengan semua kekuatannya.“Mas, apa-apaan ini?” ucapku setengah berteriak. Namun, dia menarik tubuh dan membekap mulutku. Kemudian menyeretku masuk ke rumah itu.“Lepaaass,” ucapku tidak jelas karena mulut masih dibekap.“Kau bisa menyerahkan tubuh pada siapapun. Aku juga mau mencicipi tubuhmu,” katanya menjijikan. Aku semakin berontak.“Aku sudah habis uang banyak untuk menikahimu kemarin. Karena itu aku mau menikmati tubuhmu sekarang.”Astagfirulloh. Kerasukan setan apa lelaki ini?Dengan sekuat tenaga aku membuka mulut dan menggigit tangan yang membekapku. Mas Agus mengaduh dan melepaskan tangannya dari mulutku. Aku berusaha lari, namun dia mengejar dan menraik tanganku. Setelah itu mengempaskanku hingga kepalaku terantuk ujung meja. Penglihatanku berkunang-kunang.Kembali kurasakan tangan Mas Agus menarikku agar kembali berdiri. Dia menarik tengkuk dan menciumku dengan brutal. Dengan sisa kesadaran aku menendang selangkangannya dengan lu
POV YasminAku diminta membawa barang-barang yang benar-benar diperlukan saja. Semua perabotan aku tinggalkan atas permintaan dr.Radit. Lagian memang repot juga kalau aku bawa perabotan, walaupun sayang rasanya. Semua aku beli dengan jerih payahku selama bekerja.“Nanti saya ganti yang baru dan lebih bagus,” kata dr.Radit yang sepertinya bisa menebak apa yang aku pikirkan. Aku bisa apa kalau sudah begini?Sekeranjang buah dan makanan yang dibawa dr.Radit akhirnya dibawa lagi. Aku menatap sedih pada rumah kontrakan yang selama beberapa tahun ini menjadi saksi perjuanganku mencari nafkah. Namun, kini aku berpindah ke rumah yang seumur-umur pun tidak pernah aku memimpikan akan menginjakan kaki di rumah sebagus ini. Sangat luas dan bersih. Padahal selama ini katanya dr.Radit hanya tinggal sendiri. Kapan dia membersihkan rumah sebesar ini, jika pagi-pagi sudah berangkat dan sore baru pulang.Dr.Radit menempatkanku di kamar yang bersebelahan dengan kamar yang ditempati Bu Wati. Mataku kemba