Share

Kenyataan Menyakitkan

"Apa?" seru ibu mertua nampak shock seraya memegang dadanya yang mungkin terasa sesak setelah tahu kenyataan yang sebenarnya.

Mulai sekarang aku tidak peduli walau dianggap menantu durhaka, tidak punya sopan santun terhadap orang tua. Jika sudah menyangkut resto sampai kapanpun aku tidak akan tinggal diam. Orang tuaku mendirikan resto dengan susah payah lalu dengan gampangnya Selena memfitnah resto.

"Ai, stop," bentak Aksa. "Ibu tidak apa-apa?" tanya Mas Aksa panik.

"Diam kamu, Mas. Aku disini hanya membela resto tempatku bekerja. Dan, ibu tolong sampaikan ke menantu kesayangannya, jika dalam waktu 2 minggu tidak ada pengembalian uang resto, bersiap-siaplah resto akan menuntut Selena," ancamku sengit.

Hilang sudah rasa hormatku terhadap ibu yang sudah melahirkan suamiku.

"Aksa, lihat istri kamu sudah durhaka dengan ibu. Apa kamu mau mempertahankannya," lirihnya sedih. Ibu terlihat berpura-pura lemah untuk menarik simpati putra kesayangannya.

Mas Aksa meremas rambut dengan kedua tangan. Aku yakin dia bingung harus memihak ke siapa. Sungguh aku sudah muak dengan ini, jika memang jodohku dengan Mas Aksa sampai disini aku ikhlas. Untuk apa mempertahankan rumah tangga sedangkan kepala keluarganya saja tidak adil dan sudah berbagi hati dengan wanita lain.

"Bu, aku mohon sekali ini saja jangan ikut campur rumah tanggaku dengan Aira. Aku tidak mau bercerai karena aku mencintai Aira," ucapnya memohon.

Ibu membuang wajah, kesal. Mas Aksa menggandeng tanganku masuk ke dalam kamar meninggalkan ibu yang masih menggerutu di ruang tamu.

"Aksa, kamu bodoh mempertahankan wanita mandul seperti dia!" teriak ibu.

Rasanya hati ini begitu sakit, ibu melabeliku wanita mandul. Pernikahanku baru 1 tahun, diluar sana banyak pasangan yang menikah puluhan tahun belum di karunia malaikat kecil tapi masih bertahan saling menguatkan.

Mas Aksa buru-buru menutup pintu kamar. Suara ibu masih terdengar dengan sumpah serapahnya.

"Ai, maafin ibu, ya. Mas mohon kamu jangan pernah minta pisah." Mas Aksa menangkupkan kedua tangan di kedua pipi dengan mimik menghiba. Kedua tangan ini terkepal, menahan sakit yang kian menyiksa.

Setahun Mas Aksa mengabaikanku, aku terima, berharap dia akan berubah seperti saat awal menikah walau ibu dan juga adiknya memperlakukanku seperti seorang pembantu. Namun, ternyata pengorbananku sia-sia dia membawa madu beracun untukku. Sudah cukup penderitaan ini, aku berhak bahagia.

Aku menepis tangan Mas Aksa. "Mas, aku sudah lelah," balasku dengan perasaan kesal bercampur benci.

"Ai, kamu jangan seperti ini. Apa karena Sean sudah mempengaruhimu lalu kamu minta pisah! Jangan-jangan kalian sudah selingkuh!" tudingnya menebak.

"Mas, cukup. Jangan pernah menyalahkan orang lain, coba kamu intropeksi kesalahan apa yang sudah kamu perbuat. Dan, asal kamu tahu aku tidak akan serendah itu seperti kamu menikah diam-diam dibelakangku!" ujarku dengan suara tinggi.

Mas Aksa mengusap wajahnya kasar, terlihat dia sedang menahan emosi.

"Ai, mas tahu kesalahan hanya karena menikah lagi dengan Selena. Mas minta maaf, tapi mas mohon jangan minta pisah. Mas tidak bisa hidup tanpa kamu, Sayang. Mas sudah janji walau ada Selena kamu tetap yang pertama dihati mas," rayunya.

"Kamu bilang hanya, Mas. Kamu menikahi Selena diam-diam, apa itu yang namanya cinta. Aku yakin sebelum kalian menikah kalian sudah banyak berbuat dosa dibelakangku. Dan, cukup kamu membual tentang cinta karena rasa cintaku sudah habis semenjak kamu membawa pelakor itu ke rumah ini," jawabku semakin emosi sampai ke ubun-ubun.

Enak sekali dia bilang hanya dan menganggap masalah menikah lagi hal kecil.

Mas Aksa membuang napas kasar. Wajahnya memerah dengan rahang mengeras.

"Kamu sekarang berani melawan, Ai. Jangan karena kamu sudah bekerja dan bertemu Sean lalu kamu berani melawanku!" bentaknya.

"Kamu kenapa membawa Sean. Apa ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan, Mas?" tanyaku sinis. Aku menatap nyalang, Mas Aksa yang salah tingkah.

"Kamu itu bicara apa, Ai. Sudah nanti kita bicaranya, aku capek mau tidur," sangkalnya gugup. Dia berusaha mengalihkan pembicaraan lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Aku menghela napas untuk mengurangi emosiku. Baru saja membuka sepatu hak tinggiku terdengar suara pintu digedor.

"Mbak Aira, keluar," teriak Ratu.

Ya Tuhan, ada apa lagi. Apa tidak bisa sehari saja keluarga ini membuat hidupku tenang. Semakin aku menghiraukan Ratu gadis itu semakin beringas menggedor pintu. Dengan malas aku membuka pintu kamar, gadis berusia 20 tahun itu berdiri sambil berkacak pinggang.

"Mbak Aira, kamu apakan ibu? Lihat ibu menangis kesakitan dadanya, aku tidak mau tahu mbak harus bertanggung jawab. Cepat buatkan makan malam untuk kami!" perintahnya.

Aku menghela napas panjang. Ibu dan anak sama-sama membuatku emosi. Apa mereka lupa Selena sudah menggantikan tugasku sebagai istri Mas Aksa. Kemana wanita itu sejak aku pulang belum melihat batang hidungnya, apa dia tidak melakukan tugasnya memasak dan membereskan rumah. Aku mengedarkan ruangan dan baru sadar rumah dalam keadaan berantakan seperti kapal pecah.

"Ratu, kamu itu sudah dewasa. Seharusnya kamu bisa memasak untuk makan kamu dan ibu, aku bukan babu kalian. Dan, asal kamu tahu tugasku sudah digantikan Selena," jawabku dengan tangan dilipat di dada.

Wajah Ratu memerah. "Kamu jangan kurang ajar, ya, Mbak. Nanti aku adukan ke Mas Aksa biar Mbak Aira dicerai kakakku!" ancamnya.

Aku terkekeh mendengar ancamannya. Memang dulu aku takut jika gadis itu mengadu ke kakaknya tapi sekarang aku tidak takut lagi, justru aku bahagia bisa lepas dari keluarga toxic seperti mereka.

"Silahkan kamu mengadu ke kakak kamu, Ratu. Aku tidak takut," jawabku meremehkannya.

Bola mata gadis itu membeliak, dia pasti kaget karena aku sudah bisa melawannya.

"Oh, Mbak Aira sudah tidak takut jadi janda. Mentang-mentang sudah kerja, baru juga kerja jadi pelayan resto sudah sombong," ejeknya.

"Memangnya kenapa kalau aku jadi pelayan resto? Yang penting aku tidak mengambil hak orang lain contohnya uang Mas Aksa," sindirku pedas.

"Apa maksud Mbak Aira? Mbak menuduhku merampas hak mbak dari Mas Aksa?" tanyanya.

"Kamu pikir sendiri," balasku sinis.

"Heh, Mbak. Mas Aksa itu kakakku kewajiban dia memberi yang aku mau. Mbak itu orang lain yang baru masuk di rumah ini jadi yang lebih berhak dengam gaji Mas Aksa itu aku dan ibu," jawabnya dengan wajah geram.

Yes, akhirnya dia masuk perangkapku jadi aku bisa membalikkan ucapannya.

"Karena aku hanya orang lain di rumah ini, jadi aku juga tidak punya hak memasak dan membereskan rumah ini apalagi harus melayani kamu dan juga ibu. Jadi, mulai sekarang kamu dan Selena yang menggantikan tugasku," jawabku santai.

Ratu semakin emosi. "Mbak Aira kamu itu, ya ...." Gadis itu menghentakkan kakinya dengan kesal.

"Ratu, ada apa kamu marah-marah?" tanya Mas Aksa yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Mas, Mbak Aira nggak mau memasak untuk kami. Tadi dia juga sudah menghinaku," adunya. Pintar sekali gadis di depanku memutar balikkan fakta.

"Ratu kamu sudah dewasa untuk urusan makan kamu bisa memasak sendiri," jawab Mas Aksa.

Ratu terperanjat kaget sebab kakaknya membelaku. Aku menjulurkan lidah untuk mengejeknya.

"Mas Aksa, kenapa berubah? Kalau Mbak Aira enak-enakkan saja di rumah ini buat apa Mas Aksa mempertahankannya. Lebih baik kakak iparku Mbak Selena saja, sudah baik, cantik, berpendidikkan dan juga kaya."

"Kalau kamu mau Selena yang jadi kakak ipar kamu satu-satunya. Kenapa kamu nggak suruh dia yang memasak, membereskan rumah melayani kamu seperti nyonya di rumah ini," sahutku sarkas. Enak sekali dia mau dilayani, tetapi tidak pernah menghargaiku sebagai kakak iparnya.

"Mas, kamu dengar sendirikan Mbak Aira tidak menghormatiku lagi."

"Ratu apa yang dikatakan Aira benar, mulai sekarang Selena yang menggantikan tugas Aira karena sekarang dia sudah bekerja. Kamu juga sudah dewasa, kamu bisa bantu Selena membersihkan rumah. Jangan hanya maunya dilayani saja," tegas Mas Aksa.

"Mas Aksa, jahat. Aku akan adukan ke ibu." Ratu menghentak-hentakkan kakinya lalu membanting pintu kamar dengan kencang.

Aku memenggang dada karena terkejut. "Kamu liat, Ai. Aku sampai membuat Ratu marah hanya demi membela kamu."

Aku mendelik tajam mendengar perkataan Mas Aksa. Apa dia bilang? Bukankah tugas suami membela istrinya saat istrinya dizolimi.

"Aku tidak memintamu membelaku, Mas. Itu sudah tugas suami membela istrinya saat dizolimi," tukas.

Mas Aksa mendekatiku. "Ai, sudah jangan marah lagi, ya. Mas minta maaf, ya. Oh, iya, Ai. Kita sudah lama tidak melakukan itu, mas kangen, Ai. Siapa tahu kali ini kamu hamil," bisiknya merayu. Dia mengedip-ngedipkan salah satu matanya, nakal.

Tubuhku seketika merinding. "Maaf, Mas. Aku sedang datang bulan," tolakku.

Aku mendorong dada bidangnya agar menjauh dariku. Jujur sebenarnya ada yang berdesir di dalam dada, tidak bisa kupungkiri aku wanita normal menginginkan hal yang sama tetapi jika mengingat Mas Aksa sudah banyak berbagi peluh dengan wanita lain rasanya aku tidak rela.

"Ai, kamu jangan bohong." Mas Aksa menarik tanganku kasar. Wajah manisnya saat meminta jatah kini berubah kesal.

"Aww, sakit mas," pekikku. Karena terlalu kencang dia menyakiti kulit tanganku.

"Kamu kenapa menolakku, Ai. Dosa kamu menolak suami," bentaknya dengan rahang mengeras.

"Mas sudah aku katakan aku sedang datang bulan. Kenapa kamu tidak meminta jatah ke Selena, bukankah kalian masih masa bulan madu," balasku emosi.

"Tapi aku sedang bosan dengan Selena, Ai. Kamu masih istriku, aku berhak meminta jatah ke kamu," ucapnya ngotot.

Apa! Dia bilang bosan. Mereka baru menikah sudah mengatakan bosan, enak sekali jadi Mas Aksa jika sedang bosen dengan salah satu istrinya dia bisa meminta dengan istri yang lain. Pria egois.

"Mas bilang bosen? Apa dulu juga mas bosen denganku sampai kamu menikahi Selena?" tanyaku sembari menatap tajam kearahnya.

"Ai, bukan itu maksudku. Aku hanya sedang tidak ingin mintah jatah ke Selena karena dia akan melayaniku jika aku memberikan dia uang yang banyak," ungkapnya dengan suara pelan.

Aku terperanjat kaget. Jadi, selama ini dia menghambur-hamburkan uang hanya agar dilayani Selena. Ya Tuhan, kurangnya apa selama ini aku selalu melayaninya dengan baik, apa pun yang dia minta aku berusaha memberikan yang terbaik. Baik itu dari makanan sampai di atas ranjang. Kamu pria tidak punya hati, Mas.

Awas saja, aku akan membuat kamu membayar semuanya, Mas.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status