Share

DIPANDANG HINA KARENA JANDA
DIPANDANG HINA KARENA JANDA
Author: DV Dandelion

Lamaran yang Tidak Diharapkan

"Kedatangan saya kemari karena diutus oleh Haji Muklis. Beliau bermaksud meminang Ibu Sabrina sebagai ... ehm, istri kedua," kata seorang laki-laki berperawakan kurus setelah memperkenalkan diri.

Perempuan yang umurnya belum genap 26 tahun itu kaget bukan main. Baru saja masa iddahnya selesai, orang paling kaya di daerahnya tersebut sudah berani melamar. Konon, istrinya sudah sakit-sakitan dan tak sanggup melaksanakan kewajiban.

Sabrina duduk dengan gelisah. Menolak pinangan pengusaha sembako tersebut tentu akan membuatnya dicap sebagai perempuan tak tahu diri. Pak Muklis dikenal sebagai sosok terpandang dan dermawan. Namun, menerimanya begitu saja juga bukanlah keputusan yang bijak. Dia masih sangat mencintai suaminya. Lagipula, dia juga memikirkan perasaan Bu Muklis.

"Sebelumnya terima kasih atas niatan baik tersebut. Hanya saja ...." Sabrina menggantung ucapannya.

"Haji Muklis bilang, tidak perlu dijawab sekarang. Saya bisa kembali ke sini tiga hari lagi," sahutnya sambil berdiri, bersiap untuk pamit.

Sabrina mengantarkan tamunya sampai ke teras. Sebelum menaiki motornya, laki-laki itu kembali menengok sambil berkata,

"Tolong dipertimbangkan baik-baik. Anak Ibu masih kecil, pasti butuh figur seorang ayah. Kehidupan Ibu akan terjamin jika menikah dengannya."

Setelah mengucap salam, laki-laki itu menyalakan mesin lalu melajukan motornya meninggalkan pekarangan.

Sabrina tidak lekas masuk karena dari kejauhan, dia melihat anaknya mengayuh sepeda dengan riang menuju rumah. Senyumnya terkembang tatkala Alifa, anak berusia empat tahun itu, memarkirkan sepeda di samping pot bunga.

"Sudah pulang, Nak?"

"Iya, Ma. Kata Om Baik, mainnya jangan jauh-jauh. Ya udah, deh, aku pulang aja," jawabnya sambil mengeluarkan es krim dari kantong plastik.

"Om Baik?" Sabrina mengernyit karena tidak tahu siapa laki-laki yang dimaksud anaknya tersebut. "Yang kasih es krim juga Om Baik?"

Gadis itu mengangguk dengan mulut yang sudah belepotan oleh cokelat.

Aneh sekali. Sejak lahir, Alifa tinggal di lingkungan tersebut. Jika ada laki-laki yang mengenalnya dan tahu rumahnya, bukankah seharusnya Alifa juga tahu siapa namanya? Panggilan 'Om Baik' itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka baru kali ini bertemu.

"Ma, nanti sore aku boleh ke masjid? Kata Kak Yumna, mulai hari ini ada guru mengaji baru. Semua anak boleh ikutan."

Suara Alifa membuyarkan lamunannya. Dia kembali memusatkan perhatian kepada sang buah hati.

"Boleh, Sayang. Kalau gitu, cepat habiskan es krimnya terus mandi. Nanti Mama antar ke masjid."

"Tapi, Ma ...."

Alifa terlihat ragu-ragu melanjutkan ucapannya. Sabrina mengerutkan kening dan bertanya apa yang sedang dipikirkan oleh putrinya tersebut.

"Kerudung temenku bagus-bagus, Ma. Bajunya juga baru. Aku mau punya kerudung kayak gitu."

Sabrina menelan ludah. Jangankan membeli baju dan kerudung baru, untuk makan sehari-hari saja Sabrina harus mengencangkan ikat pinggang. Dia hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak bekerja. Ketika sang suami berpulang, perekonomiannya pun terguncang.

"Begini saja, Sayang. Hari ini kamu pakai baju yang ada dulu. Nanti malam, Mama jahitkan baju dan kerudung. Spesial buat Alifa karena enggak akan ada yang nyamain."

Mata gadis itu berbinar. Dia mengangguk senang dan berceloteh sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa baju buatan ibunya.

Setelah es krimnya tandas, Alifa bergegas mandi. Sabrina membongkar tumpukan baju di lemari. Namun, yang dia temukan hanya baju-baju lusuh yang berbau apak. Hal itu membuat dadanya sesak.

Sabrina kembali teringat ucapan utusan Pak Muklis. Benar, Alifa masih kecil dan butuh figur seorang ayah. Mereka butuh sosok tulang punggung untuk mencukupi kebutuhan. Namun, benarkah caranya jika harus menjadi istri kedua?

Sabrina menggeleng keras untuk menghalau pikiran yang tidak-tidak. Mulai saat itu, dia bertekad untuk menjadi ibu yang kuat. Dia tidak mau mengemis dengan menjadi madu hanya karena desakan ekonomi.

Alifa memasuki kamar setelah mandi. Sebuah setelan gamis dan kerudung merah muda sudah disiapkan oleh Sabrina. Meski tidak baru, baju itu terlihat cocok dengan kulit putih Alifa.

Anak dan ibu itu berangkat ke masjid saat jam dinding menunjukkan pukul setengah empat sore. Sepanjang perjalanan, Sabrina bukannya tidak tahu kalau dia jadi bahan omongan tetangga. Dia hanya pura-pura cuek meski hatinya terluka.

Banyak tetangga yang menggunjing Sabrina sebab dia sangat cantik dan masih muda. Setelah menyandang status janda, beberapa tetangga lelaki terang-terangan menunjukkan ketertarikan kepadanya. Para ibu takut jika wanita itu nantinya menjadi pelakor yang akan merusak rumah tangga mereka.

Suasana masjid sudah cukup ramai saat Alifa dan Sabrina tiba. Beberapa anak perempuan mengerubuti Alifa karena itu adalah hari pertamanya ikut TPA. Sabrina terharu karena di antara orang-orang yang membenci, masih ada anak-anak berhati murni yang bersedia menerima Alifa tanpa membedakan latar belakang keluarga.

Riuh rendah anak-anak berganti hening saat terdengar suara seseorang berseru cukup kencang.

"Anak-anak, kita mulai ngajinya, yuk!"

Semuanya menoleh ke arah sumber suara.

"Lho ... itu, kan, Om-om baik yang kemarin beliin Alifa es krim. Jadi dia guru ngajinya, Ma?" celetuk Alifa.

Karena terdorong rasa penasaran, Sabrina menoleh juga. Ibu-ibu lainnya terperangah menatap seorang lelaki tampan berpeci hitam. Dengan cepat, Sabrina membuat kesimpulan bahwa Om Baik adalah guru mengaji yang baru. Namun, siapakah dia sebenarnya?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
EstrianaTamsir
Om baik, mau juga dong dibeliin es krim
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status