Share

BAB 2 - Mahluk Ghaib Itu Senang

Tujuh tahun berselang, awal Februari 2020. Gara-garanya Nana bertemu teman baru di medsos. Dia seorang Indigo, namanya Intan. Usianya beberapa tahun lebih muda dari Nana. Mereka berdua sama-sama menyukai film Dilan. Jadi obrolan mereka ya seputar film remaja tersebut dan tentu saja tentang para pemainnya dan gosip seputar Sasha dan Iqbaal. Kalau ngegosip, bisa sampai berjam-jam!!

Namun, ntah mengapa sore itu pembicaraan lain. Mereka berbincang melalui sambungan seluler. Karena Intan di Semarang sedangkan Nana di Bali. Ternyata di salah satu kehidupan sebelumnya, Nana adalah teman seperjuangan Intan saat di jaman penjajahan Jepang. Jadi, ketika ngobrol mereka layaknya teman lama yang tidak ketemu. Kebetulan Intan dapat karunia mampu melihat dan berkomunikasi dengan mahluk halus. Tiba-tiba Nana teringat perihal mahluk hitam yang mengikutinya.

“Dek … boleh minta tolong, ga? Coba kamu lihat apa ada mahluk yang mengikutiku,” pinta Nana. Lantas Intan minta waktu beberapa saat untuk “melihat”.

“Iya, ada Mba. Dia hitam tinggi besar, matanya merah!” jawab Intan di telepon. Mendengar jawaban Intan, entah mengapa sekarang Nana langsung tertarik untuk membahasnya.

“Tanyakan kenapa dia mengikutiku dan bagaimana dia bisa mengikutiku?” tanya Nana benar-benar penasaran. Lagi-lagi Intan minta waktu beberapa saat. Nana menunggunya dengan tidak sabar.

“Waduh, dia judes banget, Mba! Katanya itu bukan urusanku! Jangan banyak tanya, katanya!” papar Intan sejurus kemudian, sambil ketawa.

“Diiih, kok malah ketawa sih?” protes Nana yang sama sekali tidak bisa melihat kelucuan atas hal itu.

“Aku tuh suka geli sama mahluk-mahluk ghaib ngambekan,” terangnya ringan. Seolah menceritakan sesuatu yang sangat biasa. Buat Nana mengetahui diikuti oleh mahluk ghaib, membuatnya kesal dan frustrasi. Sudah tidak ada rasa takut lagi.

“Beneran dia ga mau, Dek?” Nana masih kurang puas. Mungkin Intan punya cara lain untuk membujuk mahluk itu untuk berbicara lebih banyak.

“Namun …” lanjut Intan  “Mba Nana beruntung. Ada leluhurmu yang melindungi sehingga si judes ini tidak bisa masuk ke dalam tubuhmu. Dia hanya bisa membayangimu beberapa meter di belakang agak sebelah kiri,” jelasnya panjang lebar.

“Hah?! Leluhur?” Nana terperangah. “Apa lagi ini?”, bantinnya.

“Iya, setiap orang biasanya dilindungi oleh roh leluhurnya,” jelas Intan tanpa diminta. Seolah bisa membaca pikiran Nana.  “Leluhur yang melindungimu itu seorang ibu paruh baya berpakaian seperti wanita dari kerajaan kuno, warna pakaiannya keemasan. Auranya bagus, warna putih. Dia sangat menyayangimu, Mba,” tambahnya lagi.

Kali ini-pun Nana tidak menceritakan kepada Intan jika sebelumnya sudah ada 3 orang yang memberitahunya tentang mahluk yang mengikutinya itu. Baru setelah Intan melihat si judes (demikian Intan menjuluki mahluk hitam tinggi besar bermata merah itu),  Nana mengatakan bahwa Intan adalah orang yang ke-empat yang mengatakan hal yang sama.

Ntah mengapa setelah Intan menjelaskan tentang si judes itu, Nana mulai menaruh perhatian dengan lebih serius.

“Energi gelap si judes sangat kuat dan besar. Aku ga bisa membuatnya pergi. Mba Nana cari orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi untuk mengusir si judes,” sarannya. Saran yang sama dengan tiga orang sebelumnya.

Saat itu Nana marah sekali menyadari bahwa memang benar si judes itu telah mengikutinya selama bertahun-tahun!

“Benar-benar kurang ajar!” umpat Nana tanpa sadar.

“Si judes senang lho kalau Mba Nana marah. Sekarang dia malah menyeringai senang, karena akhirnya kamu menaruh perhatian akan keberadaannya,” ucap Intan lebih lanjut tanpa aku minta. Bagi Intan, “membaca” seseorang itu seperti scene berjalan di layar pikirannya. Sangat jelas terang benderang!

“Busyet deh!! Sialan bener si judes ini!” Nana semakin frustasi.

“Kemarahanmu itu menambah energinya lho, Mba!” Intan mengingatkan.

”Jadi aku harus bagaimana?!! Mengirimkan energi cinta kasih?!”

“Santaaaaiiii … mba. Sabaaaar. Nanti pasti ada jalan.” Intan mencoba menghibur Nana.

"Tapi aku tidak mau pergi ke sembarang orang pintar, Dek. Takutnya malah ketambahan yang aneh-aneh."

"Iya, aku paham. Memang harus hati-hati." Intan menyetujuinya. Mereka lantas berdiskusi tentang beberapa tokoh agama yang dianggap mampu membantu Nana.

"Kalau pergi ke Ustad Brama, menurutmu gimana?" Nana menyebut seorang Ustad selebriti. Tapi Intan seperti kurang menyetujuinya..

"Beliau bagus, tapi sudah terlalu tersohor. Tarifnya mahal pula. Nanti mba Nana mesti nunggu beberapa bulan untuk sesi konsultasi. Mending yang lain, saja." saran Intan. Mereka terus mencari tokoh-tokoh yang bisa dipercaya yang sekiranya bisa membantu Nana. Namun, sampai larut tidak ketemu juga. Pembicaraan merekapun berakhir tanpa solusi karena handphone masing-masing sudah panas. Bagaimana tidak? Mereka ngobrol di handphone hampir 3 jam!

⸙⸙⸙

Beberapa hari berselang, Nana bertemu Rahma di pantri kantornya. Mereka sedang membuat capuccinno. Dulu sekali, Rahma pernah mengatakan sesuatu kepada Nana, tapi tidak ditanggapi dengan serius.

Saat itu mereka sedang duduk makan siang berdua, tiba-tiba Rahma nyeletuk. “Kayaknya seperti ada yang menutup auramu?” Nana hanya terdiam menatapnya. Tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

“Maksudmu?” tanya Nana setelah diam beberapa saat?

“Ya, seperti tertutup. Suram. Kamu ga merasa?” Ditatapnya sahabatnya lekat. Nana tampak cuek dan hanya mengangkat bahu, tidak peduli. Rahma tidak bisa menjelaskan lebih rinci. Dia sungkan dan takut sahabatnya salah paham. Akhirnya Rahma memutuskan untuk diam saja, kecuali kalau Nana tertarik ingin mengetahuinya. Dan sejak itu, mereka tidak pernah membicarakannya lagi.

“Rahma, masih inget ga dulu kamu ngomong kalau ada yang menutupi auraku?” tanya Nana tiba-tiba.

“Iya, masih. Sekarangpun juga auramu masih ketutup. Kok sekarang kamu menaruh perhatian?” Rahma heran. Ditatapnya temannya dengan lebih lekat.

“Karena sekarang aku sudah mendengar dari empat orang berbeda mengatakan hal yang sama tentang apa yang terjadi padaku. Ke-empatnya kebetulan Indigo.”

Rahma membelalakkan mata. “Jadi apa yang terjadi?”. Nana langsung menceritakan semuanya.

“Sebenarnya sudah begitu banyak petunjuk dari orang-orang di sekitarku tentang keberadaan si judes.  Tapi aku memang bandel seperti tidak tergerak untuk minta pertolongan. Ntahlah.” Nana mengangkat bahu

“Atau kamu memang sengaja “dipengaruhi” untuk tidak pergi ke orang pintar,” bisik Rahma. Takut seolah-olah si judes mendengar pembicaraan mereka.

Tiba-tiba Nana terpekik kegirangan. Rahma sampai kaget dan menumpahkan capuccinnonya.

“Ada apa?! Apa yang membuatmu girang?!” cecar Rahma. Tapi Nana cuma senyam-senyum sambil meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya.

“Nanti, aku ceritain kalau sudah semua berlalu!”

Walau penasaran, Rahma mengangguk setuju dan bergegas mengikuti Nana kembali ke ruang kerja mereka masing-masing.

Yang membuat Nana girang, karena sebentar lagi dia akan mengikuti meditasi tapa brata selama 12 hari. Dia berharap bahwa dengan teknik meditasi yang bekerja di tataran energi, mampu mengusir si judes. Lihat saja nanti!

(bersambung)

⸙⸙⸙

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status