Part8
"Amira .... lepas! Sini duduk." Aku menyentak kedua tangannya, lalu menyeretnya pelan ke arah sofa. Amira terheran-heran menatapku.
"Ada apa sih? Mas."
Aku menatap dingin wanita di depanku ini.
"Amira, kamu tau bukan, bahwa Alena mati di bunuh?" ucapku. Amira mengatupkan kedua telapak tangannya ke mulut.
Ia seolah tengah terkejut mendengar ucapanku. Aku menatap lekat mata hitamnya, berusaha melihat kejujuran. Namun ia seakan benar-benar terkejut.
"Kamu jujur sama Mas. Kemaren ngapain kamu berkeliaran di kompleks tempat tinggal mas, dan berdiri melihat rumah yang riuh para pelayat."
"Apa? Jadi rumah mas? Bukan rumah teman?" tanya Amira, ia malah nampak kebingungan.
Aku mendesah berat, menahan gejolak amarah yang seakan ingin meledak.
"Kamu jangan main-main Amira, bukankah kamu senang mendengar berita kematian Alena."
<Part9"Bi, bersikaplah seolah tidak ada apa-apa, namun tetap waspada."Bibi mengangguk, ia pun berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya.Aku pun berjalan cepat, menuju ke dalam kamar kami.Kurebahkan tubuh yang terasa lelah ini, sambil memejamkan mata, berharap Alenaku datang, walau hanya di alam mimpi.__________Ketukan di pintu kamar, membuatku terbangun dari alam mimpi, namun rasa kantuk masih melekat hebat di mata, membuatku sulit untuk bangun.Aku beringsut turun, berjalan gontai, menuju kedaun pintu kamar.Kutarik gagang pintu, dengan mengerjap-ngerjapkan mata.Aku terkejut, melihat Alia berdiri tepat di depanku."Alia, ada apa?" tanyaku, sebiasa mungkin aku bersikap, agar ia tidak berpikir aneh tentangku.Alia tersenyum kecil, sorot matanya terlihat begitu dingin dan sulit kupahami pandangannya itu.
Part10Sudah dua minggu Ibu di rawat, aku pun sesekali menjenguknya ke rumah sakit.Dokter mengatakan, kondisi Ibu Mumun tidak ada perubahan.Mamah menghubungiku, untuk menjemput mereka pulang.Ia memutuskan membawa Ibu pulang, katanya lebih baik rawat di rumah, ia bahkan berniat mempekerjakan seorang perawat, yang akan bertanggung jawab mengurus Ibu.Aku melajukan mobil ke rumah sakit, sementara Papah masih di kantornya. Papah memiliki perusahaan sendiri, yang terbilang masih baru, dan bergerak di bidang property.Sedangkan aku sendiri, bekerja di perusahaan bonafide. Aku memiliki jabatan yang cukup penting di perusahaan raksasa tersebut.Masih dalam masa cuti, yang tinggal sehari lagi. Aku melajukan mobil, menuju rumah sakit.Aku mengurus biaya administrasi, kemudian menunggu Alia keluar bersama Mamah.Alia mendorong pelan kursi roda ibu, sedangka
Part11Pak Arman menghubungiku melalui sambungan telepon, ia memintaku untuk segera datang ke kantor.Aku pun bergegas menuju ke sana seorang diri.Sesampainya aku di kantor, Pak Arman pun mulai menjelaskan kronologi penangkapan Amira."Apakah benar, jika saudara Amira itu kekasih gelap Pak Raka?" selidik Pak Arman.Mati kutu aku, mau tidak mau aku harus mengakuinya, demi kelancaran proses penyelidikan kasus pembunuhan Alenaku.Aku mengangguk lemah, rasanya mendadak ingin pingsan."Kemungkinan besar, saudara Amira lah dalang di balik pembunuhan ini. Semua bukti mengarah kepadanya, kami juga menemukan handphone yang Amira gunakan untuk meneror Alena, dan berkomunikasi dengan dua pembunuh itu."Pak Arman menyodorkan handphone jadul itu.Aku melihat isi percakapannya dengan Alena, sama seperti yang aku temukan di gawai Alena saat itu.
Part12"Kami akan menuntut anak kalian, yang sudah menghamili Amira.""Silahkan, Raka pantas menerima itu semua! Dan kamu harus ingat, saya akan membuat anakmu membusuk di penjara."Wajah orang tua Amira semakin menegang, rahang Bapaknya mengeras menatap Mamah penuh kebencian."Keluarga sialan," maki Tante Nita, Mamah Amira.Mata Mamah berkaca. "Apakah harus saya buat kalian merasakan hal yang sama? Betapa hancur dan terlukanya hati saya dan Ibunya. Kehilangan menantu yang amat saya sayangi, dan itu perbuatan anak kamu, yang hanya wanita simpanan anak saya!"Mamah berkata dengan suara lirih."Jangan hina anak kami, kamu tidak tahu apa-apa tentang hidupnya."Tante Nita tidak terima dengan hinaan Ibu, bahkan suaranya bergetar, seiring dengan tatapan matanya yang mulai berembun.&nb
Kado Terakhir IstrikuPart13Alia diam, ekspresi wajahnya kembali berubah tenang."Mas akan keluar dari kamar ini, setelah melihat isi lemari itu."Alia tidak menyahut, ia tersenyum, menatapku dengan pandangan dingin. Entah kenapa, aku merasa takut dengan pandangan Alia seperti itu."Al, Alia ..., dimana kamu? Nak." Terdengar suara Mamah memanggil-manggil Alia.Alia beranjak dari duduknya, kemudain berjalan ke arah luar kamar, wajahnya datar melewati aku dan bibi tanpa suara.Aku berjalan cepat ke arah lemari, kubuka cepat daun pintunya. Aku memekik, dua tikus berlarian mengejutkanku, sial.Untung saja Bibi juga ikut keluar, jika tidak, maka aku akan malu.Aku pun berjalan cepat ke arah luar, menghampiri Mamah dan Alia yang masih berdiri di dekat Mamah."Mamah tunggu ya! Nak."Alia mengangguk, ia pun berjalan menuj
Part14"Berani sekali kamu menuduh Alia, untuk apa? Raka. Apakah kamu berniat membebaskan gundikmu itu? Dan menjadikan Alia kambing hitamnya?"Tatapan penuh amarah Mamah layangkan kepadaku."Mah, Raka tidak menuduh, Alia sendiri yang mengakuinya. Dikamar Alia, bau amis darah, banyak mata pisau dan foto-foto keluarga kita.""Omong kosong macam apa, Ini Raka?"Mamah kembali menghardikku."Al, buka kamar kamu!" pintaku, Alia menatap datar ke arahku, kemudian ia tersenyum."Jika mas menuduhku, dan tidak menemukan bukti apa-apa, bagaimana?"Wajah Alia begitu tenang, bahkan ia berkata diiringi sunggingan senyum kecil di bibirnya."Tidak mungkin, kecuali kamu menyembunyikannya.""Menuduh tanpa bukti itu, jatuhnya fitnah."Alia berkata santai, tatapannya tajam dan dingin.
Part15Terdengar suara gaduh dari dalam, membuatku semakin panik. Akhirnya aku memutuskan untuk mendobrak pintu kamar Ibu Mumun."Alia .... benar-benar keterlaluan kamu!" bentakku.Alia membalikkan badannya, ia menyunggingkan senyum, seraya menggendong kucing milik Mamah."Al, kenapa kucing Mamah kamu bawa kesini?" tanyaku, berusaha tenang.Alia mengelus-elus bulu kucing milik Mamah, namanya Brodi. Kucing lucu, berbulu tebal berwarna abu-abu."Kamu mau nyusul Puse nggak?" ucapnya, sambil menatap tajam Brodi, ia bahkan mengabaikan kepanikanku sedari tadi.Ia mengelus leher Brodi dengan sebilah pisau, yang sedari tadi ia mainkan."Alia, kamu jangan gila, bisa ngamuk nanti Mamah."Alia tersenyum kepadaku, matanya tajam, pandangannya seolah kosong."Kamu tau, itu yang aku suka! Melihat kalian menangis dan berduka.
Part16"Mang, silahkan balik ke Pos," titahku."Baik, Pak!" sahutnya."Sebentar, Pak, Tuan. Bukan maksud saya menebar gosip atau membual. Hanya saja, kemarin saya melihat non Alia menari di depan rumah, tepat tengah malam."Mamang menunduk."Saya sebenarnya ngeri melihat semua itu, apalagi wajah non Alia, begitu mirip non Alena.""Mamang yakin itu Alia?" tanya Papah."Yakin, Tuan.""Raka juga baru lihat, malam tadi. Pah, tolong jaga Mamah, Alia sangat mencurigakan."Aku hanya berkata seperti itu, aku berkata dengan hati-hati, takut Papah malah tidak percaya denganku seperti Mamah."Papah akan minta orang, menyelidiki siapa Alia sebenarnya.""Berhati-hatilah, Pah. Jangan sampai Mamah menjadi sasarannya.""Apa maksud kamu? Raka.""Alia, dia psikopat.