Dendam
Bab25"Maaf," lirihku. Aisyah mendengkus. "Aku ingin bercerai, Mas!" ungkap Aisyah. "Aku tidak ingin diteror lagi, aku tidak mau, anakku dalam bahaya!" papar Aisyah.Aku menggeleng. "Tidak mau!" kataku dengan suara lemah."Mas ...." suara Aisyah meninggi. "Wanita itu bisa membahayakan anak kita, juga aku.""Aku akan melindungi kalian," sahutku cepat. Tidak akan kubiarkan, Alia menyakiti keluargaku. Namun kemana Mama? Ya Allah, mengapa Alia begitu terobsesi menghancurkan hidupku?Aisyah terisak, tubuhnya lunglai, dia bersandar di dinding kayu rumah, dan terus terisak. Sedangkan anak kami, dia terdiam membeku."Kita ke rumahku saja!" kata Aisyah, sambil bangkit dari duduknya. Aku menatap keluar jendela. "Kita tetap di rumah ini, aku yakin, Mama pasti akan pulang.""Mas ...." Aisyah kembali berteriak, aku berbalik dengan wajah sengit."DBab26Alia terisak, dan Mama langsung memeluk wanita itu. Mama menatap tajam wajah Aisyah, dan meminta kami menjauh dari mereka berdua."Kurang ajar! Menjauh kalian dari putriku!" pekik Mama.Aisyah menangis, melihat Mama begitu menyayangi Alia, dan mengabaikan Aisyah, yang jelas-jelas menantunya kini.Aisya pun menjauh, dan masuk ke kamar kami. Aku pun menyusulnya dan mempertanyakan sikap Aisyah tadi."Apa yang terjadi? Mengapa kamu begitu bar-bar tadi?" tanyaku, sambil duduk di sampingnya. Aisyah masih terisak, nampaknya dia begitu sakit hati, dengan perlakuan Mama tadi."Aku ingin kita bercerai, Mas!" pinta Aisyah."Tidak, Mas nggak mau cerai sama kamu. Mas sayang kamu dan anak kita.""Tapi aku merasa tidak aman, Mas. Wanita itu, dia menerorku terus," jelas Aisyah.Kupegang kedua pipinya, dan kutatap lekat wajah istriku itu."Apa yang dia lakukan?""Wanita itu terus mengirimku bangkai binatang,
Part1 "Ada apa? Kenapa ada garis Polisi?" tanyaku pada Amira, karyawan yang bekerja di bagian informasi. "Katanya ada pembunuhan. Barusan mayatnya dibawa pihak kepolisian." "Inalilahi w* inailaihi roji'un." Garis Polisi disamping gedung kantor pun menyisakan tanda tanya untukku. Terlihat buket bunga yang hancur dan seperti kue ulang tahun yang juga terlihat lenyek dilantai bercampur bekas darah. "Korbannya laki-laki atau perempuan? Kok bisa disamping kantor kita?" tanyaku heran. "Perempuan, rambutnya terlihat panjang. Cuma sempat lihat sekilas, sebelum dibawa mobil ambulan." "Mana Satpam? Kok saya nggak ada liat dari tadi?" "Tadi beli sarapan bentar, katanya." "Yasudah, kalian semua masuk dan bekerja seperti biasanya, minta Roland antar rekaman cctv hari kemaren ke ruangan saya!" titahku. Mereka semua pun masuk, dan aku menunggu satpam datang. Lima belas menit, akhirnya satpam kantor yang bernama Ucup pun datang, membawa kantong plastik yang berisi sarapan paginya. "Pagi,
DendamPart2 "Sudah, cukup! Jangan menambah sakit hati Mamah, tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini di depan jenazah Alena." Mamah berkata dengan tangan yang menunjuk-nunjuk ke arahku, serta mata melotot, yang seakan mau keluar dari tempatnya. Aku menatap nanar wajah Mamahku, wanita yang melahirkan aku itu begitu marah kepadaku, pancaran matanya menyorotkan kebencian dan kekecewaan.Sedangkan Ibu mertua, Beliau terus-menerus menyeka air matanya. Aku bersimpuh di depan Ibu mertua, memohon maafnya. Namun Ibu mertua tidak merespon apapun, Ibu bahkan membuang wajah dari pandanganku. "Bu, maafkan saya! Saya memang salah.""Kita tidak bisa mengubah garis takdir seseorang, mungkin inilah yang di namakan janji dirinya, sebelum dia lahir ke dunia." Aku semakin malu, mendengar ucapan Ibu mertua. Selama dua bulan ini, semenjak pertemuanku dengan Amira. Begitu banyak perlakuan tidak mengenakkan dariku untuk Alena. Saat itu .... "Mas, kapan kita jalan-jalan? Aku pengen ke keb
DendamPart3 Semua pelayat pun telah pulang ke rumah masing-masing, aku memapah Ibu mertua yang tidak mampu berdiri.Tubuhnya lemah, teramat lemah, ia bahkan seolah hilang tenaga. Lantunan ayat suci berulang kali ia rapalkan dengan bibir gemetar, berdosanya aku, sungguh berdosa. Andai saja malam itu aku tidak ke apartemen Amira, andai saja aku memilih pulang. Mungkin Alena saat ini masih di rumah, bercengkrama bersama Mamah dan tersenyum riang menyambut kedatanganku pulang bekerja. Sesampainya kami semua di rumahku, yang bersebelahan dengan rumah Mamah. Aku merebahkan ibu mertua dalam kamarnya, ia memang tinggal bersama kami selama ini. Aku berjalan menuju dapur, dimeja makan tertata rapi berbagai hidangan yang terlihat begitu lezat. Namun kini telah basi, dan dihiasi beberapa bunga mawar merah yang amat cantik, serta lilin berwarna warni. Hatiku seakan di hantam pisau belati, perih dan sakit melihat betapa Alena begitu sempurna mempersiapkan segalanya. Ia pasti menyiapkan semua
DendamPart4Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Mamah kembali sadar, namun Mamah teramat membuat aku dan Papah semakin khawatir.Mamah terus meracau dan menyebut-nyebut nama Alena, perasaan hati ini semakin tidak karuan."Alena ..., Alena, jangan tinggalkan Mamah, Nak. Jangan ..., Mamah tidak kuat, tidak kuat jika harus kehilangan kamu, Nak." Kata-kata itu berulang kali ia ucapkan, membuatku semakin frustasi dan tertekan, tidak henti-hentinya aku merutukki diri sendiri yang bodoh ini.Sepanjang perjalanan itu pula, Amira terus-menerus menghubungiku. Sesampainya di rumah sakit, aku meminta Papah untuk duluan masuk ke dalam membawa Mamah."Raka mengangkat telepon dulu, soalnya tadi pagi meninggalkan kantor begitu saja! Mana tau ada masalah." Papah mengangguk, dan menggandeng Mamah yang begitu lemah masuk ke dalam rumah sakit.Aku menghubungi balik nomor Amira."Kamu kemana saja sih, Mas? Susah banget di hubungi, aku kan kangen." Amira berkata di sebrang telepon dengan suara yang
Part5Aku mengusap kasar wajahku. Begitu banyak yang Alena pendam seorang diri, aku sebagai suami merasa sangat tidak berguna.Aku kembali teringat Amira, selama ini tidak ada satu pun musuh Alena, apa mungkin ini perbuatan Amira? Agrh .... rasanya aku benar-benar tidak kuasa, jika semua ini benar perbuatan Amira.Kupandangi wajah pucat Mamah, betapa menderitanya Mamah, kehilangan Alena.Kuseka pelan air mata, aku tetap harus berusaha kuat.---------Menghilangkan rasa jenuh, aku berselancar di aplikasi berwarna biru.Terlihat beberapa akun menshare berita tentang pembunuhan yang di alami istriku.Dering panggilan masuk, dari nomor tidak di kenal. Aku pun menerima panggilan itu."Hallo," ucapku, dengan menempelkan benda pipih itu ke telinga."Hallo, dengan Bapak Raka Sebastian.""Benar, saya
Part6"Ibu, bibirnya miring dan tangannya sedikit bengkok, seperti orang yang terserang stroke, Pak.""Astagfirullah." Aku langsung mematikan telepon.'kenapa Ibu mendadak tiba-tiba begini.'"Ada apa?" tanya Papah."Ibu Alena, katanya seperti terserang gejala stroke. Raka mau membawanya ke rumah sakit, dulu."Papah mengangguk, aku berlari cepat meninggalkan ruangan menuju parkiran.Kupacukan mobil dengan kecepatan tinggi, hingga sampai di depan rumah dengan cepat.Aku memarkirkan mobil di teras depan, lalu keluar dan mendorong kasar pintu.Aku dengan sigap membuka kamar Ibu, aku takut ia benar-benar stroke.Saat aku membuka kamar, Alia dan bibi menatap ke arahku.Aku tercekat, melihat kondisi Ibu yang begitu memprihatinkan."Al, kamu ikut saya! Kita bawa ibu ke rumah sakit."Alia m
Part7Aku tidak tahu masa lalu wanita ini, yang jelas, sorot matanya menampakan amarah yang terpendam.Namun masih tertutup oleh wajah cantiknya."Masuk dan istirahatlah, nanti kamu juga ikutan sakit kalau begini."Alia mengangguk, namun ia tidak berkata apapun lagi. Aku masuk mengekor Alia, memperbaiki selimut Ibu, dan menggenggam telapak tangannya."Bu, jangan terlalu banyak pikiran, nanti Ibu tambah sakit, disini sudah ada Alia. Ibu harus sehat lagi, Alia butuh ibu."Aku berkata pelan, namun pancaran mata Ibu menyorotkan kepanikan dan ketakutan, sulit untuk aku pahami."Bu, jangan khawatirkan apapun, Raka janji, akan menjaga Alia untuk Ibu. Cukup kita kehilangan Alena, Raka akan menjaga Alia untuk Ibu."Aku berusaha menenangkannya, mungki saja Ibu takut Alia mengalami hal yang serupa, seperti yang di alami Alena.