Share

Diajak si Tuan Muda

'Kenapa dia mirip ...?' Airi tiba-tiba teringat sesuatu.

Di sebuah rumah makan dengan private room. Airi bergabung bersama para anggota polisi lainnya. Pria yang menjemputnya mengatakan mereka semua dari tim 1 yang bertugas memecahkan kasus kematian Keiko.

Namun sedari tadi, mata Airi sering mencuri pandang ke si pria yang selalu memisahkan diri.

"Tuan Oya, ya?" Airi bergumam, membuat orang yang duduk di sebelahnya bertanya.

Namun Airi gadis yang cerdik, jadi hanya menjawab jika itu hanya gumaman kekaguman.

Airi merogoh ponselnya karena lagi-lagi si tuan Oya menggangu pikirannya. Dia memandang sebuah potret pria tampan yang terpampang sebagai wallpaper. Foto yang ditemukan dari berkas penting sang papah.

'Ini mirip.'

Beberapa kali gadis itu melakukan peralihan mata menoleh dari ponsel ke si tuan Oya.

'Aku harus tahu siapa dia.' Airi kembali membatin, bertekad untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang sering bergulat manja di pikiran.

Selesai mengisi perutnya dengan beberapa potong sushi, Airi beranjak dan berjalan mendekat ke pria si penyendiri itu.

"Apa aku bisa mengajakmu minum teh, Oya–san?" tanya Airi memberikan tawaran.

"Hanya minum teh?" Tuan Oya mengangkat kepalanya, menatap Airi yang berdiri di dekat dia duduk.

Airi menggerakkan kepalanya seirama anggukan kecil.

"Baik. Di mana Nona Airi akan mengajukan tempatnya?" Sumpit yang sedang dipegang dia taruh lebih dulu. Tatapannya tidak teralihkan dari wajah Airi.

"Eum, aku punya tempat rekomendasi. Tapi jauh dari sini, apa Oya–san masih akan bersedia?" Airi memasang topeng ketenangan di wajahnya.

"Ya," jawab singkat si pria.

"Baik. Boleh aku minta kartu nama Oya–san?" Airi mengulurkan tangannya. Lagi dan lagi dia tak tahu malu.

Melihat si pria hanya memberikan tatapan datarnya, Airi bergegas menggunakan cara kedua. Dia jadi menyodorkan ponsel.

"Atau nomor yang bisa aku hubungi?"

"Menarik." Komentar si pria.

Tuan Oya ini mengangguk-anggukkan kepalanya. Tak ada senyuman di wajah itu. Flat saja. Namun terkesan tegas.

"Apa Nona Airi bisa menemani aku di sini?" Pria itu berdiri.

Airi mengambil langkah mundur dengan segera. "Untuk saat ini?"

"Ya."

"Baik, aku bisa."

'Kenapa aku merasa ada yang salah?' Airi membatin, namun tetap memasang senyuman tipis di wajahnya. Tidak lupa topeng ketenangan agar tak terkesan bahwa dia merasa di intimidasi.

"Silakan," ucap Tuan Oya.

Airi menaruh bokongnya tepat di sebelah Tuan Oya. Matanya membulat saat tangan seseorang mengukung dirinya. Wajahnya maju mendekat. Semakin terlihat oleh Airi ketampanan milik wajah itu.

Sampai akhirnya Airi memejamkan mata. Dia sudah tidak sanggup dengan pesona yang ditebarkan Tuan Oya. Terlena. Bibirnya bergetar terbuka tipis.

"Jangan jatuh cinta padaku," bisik si pria. Lalu berdiri dan mengayunkan langkahnya kembali ke kursi.

Masih dengan degupan jantung yang tak beraturan, Airi membuka mata. Tangannya meraih gelas kecil di depannya. Lantas meneguk habis dengan cepat air di dalam gelas itu.

Uhuk, uhuk!

Gadis itu terbatuk. Merasakan pahit dan asam di lidahnya. Tenggorakannya sangat tidak nyaman.

"Minum dengan hati-hati." Tuan Oya menuangkan kembali minuman yang tersedia.

"Dan jangan minum jika tidak ada aku," sambungnya.

Kali ini tatapan yang diperlihatkan Tuan Oya tampak berbeda. Lebih lembut dan menghangatkan.

"Kenapa?" tanya Airi segera. Pipinya sudah memerah. Sepertinya alkohol langsung mempengaruhi kesadaran Airi.

Kedua telapak tangan Airi kini memangku dagunya. Membentuk mangkuk pada wajah bulat itu.

"Tuan Oya." Seorang berseragam polisi datang mendekati kedua muda-mudi itu.

"Siapa kamu?" tanya Airi dibarengi jari telunjuknya yang tak sopan.

"Kamu mau mengambil kekasihku?" tanyanya tanpa rasa bersalah.

"Tuan." Si polisi tampak ketakutan.

"Kalian bisa pergi tanpa aku," kata Tuan Oya. Pandangannya tak teralihkan dari Airi.

Semua orang berpamitan, berlalu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Tersisa mereka berdua dalam ruangan yang begitu luas.

"Ini kedua kalinya kamu terpengaruh alkohol?"

"Kenapa?" Airi menjawab, membusungkan dadanya. "Apa aku tidak boleh menyentuh alkohol?"

"Ya, sangat tidak boleh jika itu tanpa aku."

"Huh! Memangnya kamu siapa? Kekasihku?"

"Bukannya kamu yang bilang aku ini kekasihmu?"

"Kapan aku berkata seperti itu? Jangan berani-beraninya ambil manfaat dari gadis kecil, ya!"

"Bukannya tiap pertemuan kita kamu yang selalu mengambil manfaat saat bersamaku?"

Airi menggeleng. Menolak ingat tentang kejadian apa pun yang bersangkutan dengan pria di depannya.

"Sebenarnya kamu ini siapa?" tanya Airi, meracau. "Kenapa sekarang harus kamu yang ada di mimpi aku?"

"Apa kamu beranggapan ini mimpi?" tanya Tuan Oya.

"Jika bukan mimpi, apa aku berani menyentuh pipimu?"

Jari telunjuk yang nakal itu sudah sejak tadi menusuk tepat pada bagian lesung pipi Tuan Oya.

"Seperti ini sangat menyenangkan!" ucap riang Airi. "Ha ha ha ...."

Gadis itu tertawa terbahak-bahak. Seolah bahagia memang sedang menyapanya.

Namun semua itu tak berlangsung lama. Sedu sedan mulai terdengar. Dan racauan bodoh serta tak jelas kembali si pria dengar dari gadis yang sama.

"Kamu sungguh-sungguh menarik." Dagu Airi dalam pegangannya. Mata mereka bertemu.

Senyuman terbit di bibir Tuan Oya. "Hanya kamu yang berani menatapku seperti ini," katanya lagi.

Merasakan getaran di telinganya, ekspresi pada wajah Tuan Oya langsung berubah datar. Dia menghubungkannya.

"Bos, ada kabar dari forensik." Suara dari earpiece menghadirkan senyuman kematian dari bibirnya.

"Mari kita hadapi ini." Bukan sekadar ucapan, melainkan perintah.

Begitu mematikan sambungan, Tuan Oya melakukan peregangan otot. Dia ingat jika harus mengembalikan pulang terlebih dulu gadis yang saat ini bersamanya.

"Atau mungkin aku akan mengajaknya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status