Ruangan di JCC Plenary Hall yang menjadi tempat acara resepsi Dokter Martin Bintoro dan Rihanna Annelika Razak dipadati lautan manusia karena undangan yang disebar berjumlah seribu dari kedua keluarga mereka.Keluarga kecil Cherry bersama tetangga mereka Bu Murni dan Bu Sundari baru saja sampai di sana. Mereka mengisi buku tamu lalu memasukkan amplop sumbangan. Penerima tamu berparas cantik dengan balutan dress anggun yang berwarna hijau pastel dari pihak wedding organizer menyerahkan cenderamata kepada mereka."Wah, pestane geden ya, Mbakyu!" seru Bu Sundari yang berasal asli dari Banyumas, Jawa Tengah. (Wah, pestanya besar-besaran ya, Kakak Perempuan!) "Iya. Wajar soalnya Rihanna putri bungsu terakhir yang menikah dan Martin juga jadi pewaris tunggal keluarga Bintoro, Jeng Sundari!" jawab Bu Inah maklum. Sebenarnya jika dibandingkan dengan acara pernikahan dengan putrinya dulu, ini menjadi hal yang miris untuk diperbandingkan. Jelas sudah status sosial mereka berbeda perlakuan.And
"Mencintaimu seumur hidupku, selamanya setia menanti. Walau di hati saja, seluruh hidupku. Selamanya. Kau tetap milikku."Lantunan lagu pamungkas di pesta pernikahan Martin dan Rihanna terasa mengharu biru. Rihanna memang merequest lagu yang dipopulerkan oleh Krisdayanti itu. Dia sempat menitikkan air matanya ketika berdansa di pelukan suaminya, cinta pertama yang awalnya bertepuk sebelah tangan."Jangan nangis dong, Sayang!" bujuk Martin sembari berdansa dengan langkah perlahan mengikuti irama lagu yang sedang dilantunkan biduanita bersuara bening di atas panggung dengan iringan home band.Tatapan mata Rihanna berkaca-kaca, dia menyunggingkan senyum sendu sembari menatap Martin. "Malam ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan buatku, Tin. Dahulu kupikir aku nggak akan pernah bisa menjadi wanita yang kau pilih menjadi istrimu. Cintaku itu hanya bisa kunikmati sendiri dalam diam!" ujarnya masih berdansa penuh perasaan.Martin menghela napas lalu menjawab, "Maafkan karena sadarku yang t
Dua puluh tahun kemudian.Carrisa yang sedang bersantai sore menikmati secangkir teh di patio backyard mansion house mewah keluarga Jansen di Jurong, Singapura dikagetkan oleh sebuah undangan via email. Perlahan dia membaca dengan teliti isi undangan via online itu lalu menghela napas panjang. "Kenapa, Mom? Kok wajahnya tiba-tiba kayak nggak enak gitu sih?" tegur Pedro yang kini telah menjadi pemuda tampan berusia 20 tahun. Genetik Kaukasoid dari keluarga daddynya nampak semakin jelas di perawakan tinggi gagah dan hidung mancung serta bola mata cokelat madu yang melelehkan hati kaum Hawa itu.Istri Nicky Jansen yang masih nampak awet muda tersebut tertawa kering seraya menjawab, "Ada undangan reuni SMA di Bandung, Indonesia!""Ohh ... pantas!" tukas Pedro paham, kunjungan mereka ke Indonesia memang sangat dibatasi oleh Nicky, ayahnya. "Tapi kalau untuk acara yang langka dan berkesan begitu masa sih nggak boleh, Mom?" lanjut Pedro berusaha memberi secercah harapan.Carrisa menaruh can
"Iya, Om. Nama saya Luther, maaf ... Om ini siapa ya?" Putra sulung Cherry tak mengenali ayah biologisnya sendiri. Pedro dan Justin saling sikut seraya memperhatikan kemiripan wajah kakak mereka dengan pria yang menyapa Luther barusan."Aku papa kandungmu, Luther. Apa nggak ingat? Kita pernah ketemu puluhan tahun lalu!" jawab Martin yang membuat pemuda di hadapannya mundur beberapa langkah lalu segera menaruh piring ke meja karena takut menjatuhkan benda itu hingga membuat heboh di tengah acara ramai.Luther menolak dengan keras karena kenangannya tentang Martin nyaris tak ada, "Om, tolong jangan ngaku-ngaku. Saya lebih baik panggilkan dad and mom, tunggu di sini!" Dia bergegas mencari Nicky dan Carrisa yang sedari tadi hanya ditemani Chrissy, si bungsu.Seolah menahan lara hatinya karena kesalahan di masa mudanya, Martin tetap di tempatnya menunggu putra kandungnya bersama Cherry dulu memanggil orang tuanya untuk menemui dia.Pedro menebak-nebak bahwa pria di hadapannya adalah sosok
"Horeee kita lulus!" teriak pemuda jangkung berparas rupawan itu kepada gadis yang ada di sebelahnya sembari memeluknya erat. Martin mencuri sebuah kecupan yang numpang lewat di bibir ranum merah muda pacarnya.Binar kegembiraan bercampur kelegaan menghiasi raut-raut wajah belia pelajar SMA Negeri 1 Perintis. Sorak sorai dan derai tawa membahana di lapangan sekolah. Mereka merayakan kelulusan SMA dengan saling menyemprotkan pilox warna warni dan menulisi seragam putih abu-abu rekannya menggunakan spidol.Sebuah tulisan dengan pilox warna merah jambu 'Martin LOVE Cherry' itu menghiasi punggung seragam putih gadis berambut hitam panjang yang diikat model ekor kuda. "Iiihh ... kamu nulis apaan sih, Tin?!" rajuk Cherry dengan pipi bersemu merah muda sambil mengulum senyumannya. Dia membalik badannya untuk menatap wajah kekasihnya yang menyengir bandel ke arahnya."Ada deh ... ntar bacanya kalau kamu sudah sampai rumah dong biar surprise!" jawab Martin lalu merangkul bahu Cherry. Dia meng
"JAMBREET!" Teriakan salah satu ibu-ibu penumpang bus itu mengejutkan Cherry yang berdiri di tengah di antara 2 lajur kursi bus kota yang penuh. Seorang pria bertato dengan tubuh kekar berotot dengan kaos hitam tanpa lengan menubruk keras tubuh kurusnya.Pria itu bergegas turun dari bus yang langsung melaju kembali. Sedangkan, seisi bus kota masih riuh memperbincangkan siapa yang menjadi korban jambret tadi. Si ibu-ibu yang berteriak tadi pun sudah turun dari pintu belakang bus. "Cibiru ... Cibiru!" seru kondektur bus kota memberi tahu nama halte pemberhentian berikutnya. Cherry pun menyahut, "Turun, Mang!"Bus itu pun berhenti untuk menurunkan beberapa penumpang termasuk Cherry. Dia pun merogoh tas selempangnya yang terbuka kaitnya dengan jantung mencelos. "Ehh ... kok kebuka sih tasku?!" Dan benar saja ada yang raib dari dalam tasnya, ponselnya tak ada di situ. Sambil bergegas menuju ke warteg ibunya, Cherry bergumam sedih bercampur gelisah, "kayaknya jambret yang nubruk aku tadi
"Jadi nama kamu, Cherry? Coba nyanyi buat saya sekarang. Bisa lagu barat?" ucap Merlino Branson, pria keturunan blasteran Amerika-Indonesia yang memiliki Merlino Cafe and Bar. Dia duduk santai menggoyang-goyangkan kursinya menatap gadis belia di hadapannya.Cherry berdehem dua kali melancarkan tenggorokannya lalu menghela napas panjang sebelum mulai melantunkan sebuah lagu pop barat yang sering dinyanyikannya untuk Martin. "And even if the sun refused to shine. Even if romance ran out of rhyme, you would still have my heart until the end of time. You're all I need, my love, my Valentine!" nyanyi Cherry dengan suaranya yang merdu. Itu lagu legendaris romantis karya Jim Brickman yang dipopulerkan oleh Martina McBride, judulnya My Valentine."Prok prok prok. Bravo ... good voice! Cher, kamu boleh nyanyi di tempatku mulai malam ini ya. Ehh ... ada tapinya nih, ganti baju kamu sama kostum manggung penyanyi di sini, jangan kayak orang udik begitulah. Kesannya kayak waitress jadinya!" tutur
"Berapa? Dua juta ... lima juta? Tinggal sebut, Om punya banyak duit asal kamu nurutin keinginan Om Antony," desak pria hidung belang itu menowel-nowel dagu Cherry yang berwajah imut."Nggak mau, Om! Saya nggak jual diri kok. Saya hanya penyanyi di tempat ini. Permisi ya, sudah larut malam!" tolak Cherry mengumpulkan segenap keberaniannya. Dia buru-buru bangkit dari sofa berlapis vinyl merah cerah itu.Namun, sejurus saja lengannya ditangkap dan disentakkan oleh Antony Razak hingga tubuh Cherry yang mengenakan high heels tinggi limbung lalu terjatuh di dekapan pria tersebut. Sontak gadis itu meronta-ronta dan berteriak minta tolong karena tangan pria mesum itu mulai menggerayangi tubuhnya di mana-mana."TOLOONG ... TOLOOONG!" Seorang pria muda tak dikenal yang juga pengunjung Merlino Cafe and Bar tanpa pikir panjang bergegas menolong Cherry. Kepalan tinjunya menghajar rahang Antony Razak hingga jatuh terkapar di sofa. Dia segera menarik tangan Cherry seraya bertanya, "Apa kamu nggakp