Dia menyentuh kepalanya yang menerima pukulan dari Winona. Untung cuma sedikit berdarah.Dia membasuh bagian tubuhnya yang kotor dengan air bersih dan menata rambutnya sebelum keluar.Semakin mereka berharap dia menghilang begitu saja, semakin tidak ingin dia mengabulkan harapan mereka itu."Bagaimana keadaanmu?" Suara di luar pintu mengagetkan Yara.Dia berbalik dan melihat ternyata itu Tanto."Paman, kenapa nggak pergi berdansa dengan pasanganmu? Kamu ingin mendapat kursi paling depan melihatku dipermalukan?"Tanto mendesah ringan. "Kamu masih bisa bercanda, sepertinya kamu baik-baik saja."Dia berjalan perlahan di belakang Yara dengan tangan di belakang punggung."Paman, aku baik-baik saja. Pergilah berdansa bersama pasanganmu.""Jangan khawatir. Wanita seperti dia cuma mencari tiket masuk ke pesta semacam ini. Siapa pun pasangan dansanya, dia nggak peduli sama sekali."Benar saja, Yara melihat dari kejauhan wanita yang baru saja membantunya sedang memeluk pria lain dan menari denga
Semua orang menengok.Ekspresi di wajah Yara sedikit berubah. Dia tidak menyangka Silvia akan datang.Logikanya, Silvia tidak akan diundang ke acara seperti ini. Kecuali ... dia datang sebagai ibu mertua Yudha.Benar saja, Agnes maju menyambutnya."Bu Silvia, Ibu mertua Yudha, selamat datang!"Jika Yara tidak salah ingat, ini pertama kalinya Agnes menyebut Silvia seperti itu."Bu Agnes, lama nggak ketemu." Silvia tampak penuh rasa terima kasih.Yara tidak tahu trik apa yang coba dimainkan Silvia dengan kemunculannya sekarang. Dia menatap Melanie dan melihat senyuman tipis di bibir Melanie.Setelah Silvia menyapa Agnes, dia menoleh ke arah Kakek."Pak Susilo, saya nggak bisa menerima uang 1 triliun ini, tolong ambil kembali."Kakek Susilo mengerutkan keningnya. "Uang ini bukan untukmu."Tanpa diduga, Silvia justru berlutut di depan semua orang. "Pak Susilo, Bu Agnes, kejadian tahun itu karena kesalahan saya dan Rara. Saya minta maaf kepada keluarga kalian."Seluruh ruangan menjadi gempa
Matanya berangsur-angsur semakin dingin. "Silvia Damara!"Begitu membuka mulut, dia memanggil Silvia dengan namanya secara langsung."Mau bikin masalah apa lagi kamu?"Silvia merasa tidak enak. Mungkinkah Yara berani putus hubungan dengannya di depan banyak orang?Yara sudah tidak takut malu?"Bukan aku yang membuat masalah, tapi kamu, yang seharusnya ibuku."Yara tersenyum pahit. Suaranya sedikit lebih keras."Entah itu kejadian tahun lalu atau hari ini, wanita yang mengatasnamakan dirinya ibuku ini nggak pernah menanyakan keinginanku.""Setahun yang lalu, dan bahkan sejak dulu, aku menanggungnya dengan lapang dada karena dia adalah ibuku.""Tapi sekarang aku sadar, nggak ada ibu yang akan menyakiti anaknya seperti ini. Jadi ....""Hari ini, dengan kesaksian Kakek Susilo, semua orang dari keluarga Lastana, dan semua orang yang hadir. Aku, Yara Lubis, dan Silvia Damara, telah memutuskan hubungan antara ibu dan anak."Bisikan-bisikan terus terdengar. Tidak ada yang mengira akan terjadi
"Kakek." Yudha jelas tidak ingin menjelas. "Aku sudah memutuskan untuk masalah ini, jadi jangan bertanya lagi."Ekspresi Kakek Susilo berubah. "Ya sudah, aku nggak akan tanya lagi."Perlahan dia merebahkan tubuhnya, memunggungi Yudha. "Kalian pergilah, pindah dari rumah ini besok.""Kakek ....""Pergi!"Yudha hanya bisa keluar dulu dan kembali ke kamarnya.Setelah Yara mandi, dia merasa luka di kepalanya semakin sakit. Jadi, dia duduk di depan cermin rias dan membuka-buka rambutnya, ingin membersihkan lukanya.Begitu menemukan lukanya, dia mendesis kesakitan. Yudha tiba-tiba membuka pintu dan berjalan masuk.Yara spontan merapikan rambut dan menutupi lukanya, melihat ke cermin rias dengan wajah kaku.Meski cintanya kepada Yudha begitu rendah diri, dia tidak ingin Yudha melihat lukanya.Dia tidak tahan menerima tatapan kasihan dari Yudha.Yara bangun hendak pergi tidur, tapi tak disangka Yudha menahan bahunya."Kamu mau apa?" tanya Yara gugup.Yudha tidak berkata apa-apa dan mengulurkan
Yudha hanya menatapnya, seolah menunggu dia mengatakannya sendiri.Namun, sebagai seseorang yang akan bercerai dengannya besok, apa lagi yang bisa Yara katakan? Untuk apa?Dia memalingkan mukanya dan tidak menatap Yudha lagi. "Lupakan saja."Yudha seperti ingin mengatakan hal lain, tetapi tiba-tiba terdengar ketukan cemas dari luar pintu.Keduanya merasa jantung mereka berdebar kencang pada saat yang bersamaan.Yara segera pergi membuka pintu dan melihat perawat Kakek Susilo di luar."Pak Yudha, Bu Yara, Pak Susilo ...." Perawat itu sangat cemas hingga tidak dapat bicara dengan jelas. Air matanya mengalir tanpa henti. "Bawa ke rumah sakit, cepat ...."Yudha bergegas berlari keluar seperti angin.Kakek Susilo terkena serangan jantung dan pingsan.Yudha segera membawanya ke dalam mobil."Aku ikut." Yara spontan mengikutinya."Masuk." Mobil mewah itu keluar dari garasi bawah tanah. Yudha menginjak pedal gas dan melesat keluar.Agnes segera menelepon Tanto, meminta sopirnya membawa mobil l
"Kritis, masih belum bangun."Yudha mendesah panjang dan hendak mengatakan sesuatu ketika Tanto meninjunya.Dia mengelak sambil memegangi kepalan tangan Tanto. "Paman, apa maksudmu?"Agnes langsung melangkah maju dan menampar lengan Tanto. "Mau bikin masalah apa lagi kamu? Apa menurutmu Ayah sudah hidup terlalu lama?""Benar, Paman, tolong bicara baik-baik saja. Kakek sedang sakit ...." Melanie pun membantu."Diam!" Tak disangka, Tanto menatap tajam ke arah Melanie.Dia menatap Agnes dan Yudha. "Kalian lebih tahu dari aku kenapa Ayah tiba-tiba jatuh sakit."Keduanya menundukkan kepala dan tidak berkata apa-apa.Mereka sangat menghormati dan mengagumi Kakek Susilo.Agnes bahkan mulai merenung apakah dia memang terlalu buru-buru ingin menceraikan Yara dari Yudha. Padahal dia tahu umur Kakek sudah tidak lama lagi.Dia tanpa sadar melirik Yara di sudut.Yara berjongkok sambil memeluk lututnya. Wajahnya sedikit pucat dan matanya kosong.Tentu saja, Tanto tidak akan membuat keributan di ruma
Kedua orang ini sangat kasihan.Setelah sampai di kamar Zaina, Gita memberi beberapa instruksi dan meminta Yara untuk menjaga Zaina.Di tempat lain, Agnes mengerutkan kening tidak senang saat melihat Yara pergi."Ada apa? Ke mana Yara?""Nggak tahu." Melanie menggelengkan kepalanya. "Sepertinya dia kenal perawat itu. Mungkin mereka berteman."Wajah Agnes semakin jelek, tapi dia juga sangat waspada."Lalu ada apa perawat itu memanggilmu?""Oh, dia dari kamar ibuku. Aku memintanya untuk membantu menjaga ibuku. Dia cuma bilang, keadaan ibuku nggak ada masalah.""Baguslah kalau begitu." Agnes mengangguk puas. "Malah kamu yang berbakti kepada kakek. Kakek pasti mengerti nanti."Sambil berbicara, pintu ruang gawat darurat terbuka, dan dokter yang merawat serta yang lainnya keluar.Semua orang segera berkumpul."Dokter, bagaimana kondisi Ayah saya?" tanya Agnes."Masa-masa kritis sudah terlewat untuk saat ini. Tapi seperti yang kalian semua tahu, dia terkena serangan jantung. Jangan sampai em
"Yudha, maafkan aku."Melanie tidak punya pilihan selain menggunakan satu hal untuk menutupi hal lain.Dia menatap Yudha memohon, "Aku memberi tahu Silvia kalau kamu pasti akan menikah denganku dan memintanya pergi makan malam untuk membuat keributan. Aku menjanjikan sesuatu padanya, jadi dia bersedia membantuku."Yudha membuangnya, tatapan matanya semakin dingin dan menakutkan."Kenapa kamu menjadi seperti ini?"Melanie jatuh ke lantai dan menangis."Entahlah, aku cuma terlalu takut. Aku terlalu takut kehilangan kamu.""Aku dulu masih kecil, belum mengerti apa-apa. Tapi setelah tumbuh dewasa, aku mengerti, aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga."Dia mengangkat kepalanya dan meraih celana Yudha dengan wajah berlinang air mata."Yudha, kamu bukan perempuan. Kamu nggak ngerti apa arti anak bagi kami. Nggak bisa punya anak ... sama saja merampas hak-hakku sebagai perempuan. Yudha, aku cuma punya kamu."Yudha menunduk menatapnya, memikirkan masa lalu, dan akhirnya mendesah.Dia mengu