***
Cinta kepada saudara tentu berbeda dengan cinta kepada kekasih. Saudara ialah bagian dari dirimu yang sebenarnya bukan dirimu. Kita tidak bisa meniru selera saudara kita karena kita berbeda darinya. Tidak enaknya memiliki saudara adalah bahwa kita sering dibandingkan dengannya. Begitulah yang dirasakan Paris Mahendra. Sudah satu jam ini Ibunya mencomel karena ia belum punya kekasih.
"Haruskah Mama mencarikanmu jodoh di situs online? Lihat Ankara. Sudah beristri dan sebentar lagi jadi Ayah. Kau kapan seperti dia?"
Ankara saudara kembarnya lebih baik di mata kedua orang tua Paris. Ankara bekerja di sebuah perusahaan terkenal--yang tidak lain perusahaan perbankan keluarga mereka. Kesuksesan Ankara membuat orang tuanya bangga.
"Aku sibuk bekerja, Ma."
Paris menanggapi malas. Ia mencomot hamburger Belanda buatan chef rumahnya dengan santai. Seperti biasa ia harus siap mendengar ocehan Ibunya di kala pagi hari tiba. Paris bukan pria rajin dan begitulah dirinya, selalu tampil apa adanya.
"Melukis? Apa itu pekerjaan? Kenapa kau tidak bekerja di perusahaan Ayahmu?"
Hendrawan Mahendra, ayahnya Paris punya perusahaan besar yang bisa menjadi tempat Paris bekerja seandainya dia mau.
Keluarga Mahendra pada mulanya punya tambang emas di Sumatra Selatan. Perusahaan itu telah membuat mereka berjaya. Mereka pun melebarkan bisnis di bidang perbankan di New York. Dan selama 10 tahun telah sukses besar sampai mereka pindah ke kota ramai ini.
Paris seharusnya sudah bekerja dengan jabatan tinggi di perusahaan Ayahnya. Namun dia tidak melakukannya. Paris sama sekali tidak suka menjadi pegawai kantoran. Paris juga tidak mendukung nepotisme. Karena bekerja di perusahaan Ayahnya adalah bagian dari nepotisme, mendapatkan kemudahan bekerja hanya karena keluarga atau kerabat.
"Berapa kali harus kubilang, Ma. Aku suka seni bukan bisnis. Aku Paris Mahendra bukan Ankara Mahendra. Tolong ingat hal itu."
Pagi hari Paris tidak terlalu menyenangkan. Dia mau tidak mau harus mengakhiri sarapannya. Diomeli setiap hari rasanya benar-benar memuakkan.
Paris mengambil peralatan melukisnya. Kanvas berukuran medium, kertas serta bahan melukis lainnya yang ia masukkan ke dalam tasnya. Setiap harinya ia menjelajahi tempat wisata di New York seperti Central Park atau bahkan pinggir jalan.
Dia menyalurkan hobi dengan melukis para turis yang secara pribadi meminta untuk dijadikan objek lukisan. Paris akan mendapat bayaran cukup untuk hasil karyanya. Hanya beberapa keping dolar namun itu sudah menyenangkan hati Paris. Dia tidak sedang mencari untung, dia hanya mencintai seninya.
Paris terlalu senang dengan kehidupan seninya sampai lupa mencari pasangan hidup. Baginya seni adalah hidupnya. Dia mungkin tidak butuh orang lain selain seni.
"Sekarang ke mana lagi? Depan bioskop Fifth Avenue? Atau di depan perusahaan Ayahmu?"
Inggrid Mahendra, Ibunya masih mengomel. Paris melukis di mana saja yang ia inginkan sampai membuat Ibu dan Ayahnya merasa cukup malu.
"Aku sudah besar, Ma. Apa Mama juga akan mengurusi dengan siapa aku bercinta? Berhentilah mengaturku. Aku tahu yang terbaik untuk hidupku!"
Paris melangkah malas meninggalkan ruang tengah. Ia berjalan ke garasi lalu beranjak pergi bersama mobil Toyota silver miliknya. Paris melajukan mobilnya cukup kencang, meninggalkan Fourth Avenue menuju Atlantic Ave.
Sasaran selanjutnya adalah depan bioskop di jalan itu. Hari memang masih pagi, dan memang itulah yang ia harapkan. Mengambil gambar yang baik bersama orang-orang beruntung yang menjadi objek lukisannya. Jika pagi hari ia bisa menangkap matahari terbit. Gambar yang ia lukis biasanya akan terlihat bagus dengan adanya pemandangan matahari terbit.
Toyota milik Paris berhenti di depan bioskop Atlantic Ave. Ia pun mengeluarkan kanvas di bagasi. Mempersiapkan segala peralatan lukis. Lalu mengambil posisi duduk di pinggir jalan. Ia mulai menggambar, kuasnya menyentuh kanvas, menciptakan pemandangan abstrak yang belum bisa dinikmati. Paris melukis alam Brooklyn pagi ini.
Paris masih sibuk menggambar saat seorang gadis menghampirinya. Rambut coklat bergelombang, mata berwarna biru. Gadis itu memakai gaun seksi berwarna merah, dia berjalan sangat cepat sampai rambutnya beterbangan. Paris mengamati pergerakan rambut gadis itu. Bisa diakui Paris bahwa gadis ini sangat cantik.
Gadis itu melihat Paris seolah mereka sudah kenal lama. Mereka saling memandang cukup lama seakan mereka bicara dalam tatapan mata mereka.
Gadis itu mengintip lukisan Paris seraya berujar, "Gambarmu bagus. Apa kau bisa melukis gambar diriku? Aku akan cantik saat berada di bawah matahari terbit dan kanvasmu." Paris menyimak ucapan gadis itu sembari matanya melirik paras cantiknya.
"Ya. Berdirilah di sana!"
Paris menunjuk tempat terbaik untuk mengambil gambar. Si gadis menurut, ia berjalan sembari menyunggingkan sebuah senyuman. Paris sungguh terpesona melihat senyumnya. Sebuah energi besar mendadak mengalir dalam tubuh Paris. Kehadiran si gadis membakar semangat seninya.
Paris mengubah pemandangan yang ia gambar sebelumnya dengan menambahkan gadis itu di dalamnya. Jari tangan Paris lincah melukiskan apa yang ada di hadapannya. Gadis cantik itu lebih mirip model terkenal seperti Rosie Hungtington Whitely. Lihat saja, dia berpose dengan sangat sempurna. Pemandangan bagus ditambah gadis cantik merupakan sebuah perpaduan sempurna.
"Selesai, Nona...."
Paris mengatakan itu sepuluh menit kemudian. Dia masih memandangi gadis itu ketika gadis itu mengulurkan tangannya. "Jessica Flowers. Panggil aku Jessica," katanya. Paris menjabat tangannya tanpa bicara.
Gadis itu mendekati Paris. Bibir merahnya bergerak dengan sangat lembut. Jessica melihat hasil lukisan lelaki itu.
"Siapa namamu?"
Jessica bertanya dengan santai. Paris gugup, ia salah tingkah ketika dada gadis itu tanpa sengaja berada tepat di depan matanya. Gadis itu tidak menyadarinya.
"Paris Mahendra," jawabnya tegang.
Jessica tersenyum. Dia mengibas rambutnya seraya bercanda, "Hm, Paris? Milan? Austin? Cameron? Brooklyn? Warren? Dakota? Yang mana saudara kembarmu? Jika kutebak namamu Paris karena kau lahir di Paris ia 'kan?" Jessica menyebut semua nama kota terkenal di dunia.
"Kau salah," sahut Paris.
"Saudaraku bernama Ankara. Namaku Paris karena Mamaku begitu mengagumi Paris. Aku lahir di Jakarta tapi beruntung tak dinamai Jakarta." Paris merasa nyaman menjelaskan. Hadirnya Jessica memunculkan gejolak yang baru kali ini dirasakannya. Dia menyukai gadis itu.
Cukup semenit Jessica mendelik ketika mendengar nama Ankara. Nama itu familiar di telinga Jessica.
"Hei, kenapa kau diam?" tanya Paris. Jessica menggeleng kepalanya pelan. Ia beralih pada topik lain.
"Aku akan mengambil gambarku. Aku tak punya uang sekarang tapi punya sesuatu yang spesial untukmu. Nomor ponselku, kau bisa menghubungiku kapan saja."
Jessica menyodorkan kertas berbentuk segi empat kepada Paris. Itu kartu nama. Jessica menyadari bahwa mereka saling cocok satu sama lain.
Paris mematung, mengamati kepergian Jessica. Gadis itu menyinari hidupnya yang gelap. Pertemuan pertama ini saja ia sudah menemukan kecocokan. Gadis yang ia dambakan hadir ketika Ibunya mendesak supaya dia punya kekasih.
Paris menghentikan kegiatannya pagi itu. Ia mengambil replika dari gambar Jessica. Paris mengulang-ulang nama gadis itu. "Jessica Flowers, namanya Jessica. Baiklah, Jessica. Aku akan menaklukkanmu. Aku akan mendapatkanmu!"Nama wanita itu seindah wajahnya. Jessica seperti bunga mawar merah mekar, sangat sempurna terlahir sebagai perempuan.Paris bertekad. Ia memilih untuk mengakhiri sesi pengambilan objek lukisan hari ini. Ia terus memikirkan Jessica. Hanya Jessica. Tatapan polos gadis itu, gerakan rambutnya, serta penampilan menawannya tak bisa dihapuskan di kepala Paris. Ia telah jatuh dalam pesona gadis baru bernama Jessica.Paris pulang. Dia menyadari penampilannya cukup berantakan. Dia mencukur rambutnya dan melihat-lihat pakaiannya. Dia berencana mengajak Jessica berkencan karena sudah mendapatkan nomor teleponnya.Tidak ada jas di dalam lemarinya. Jadi, dia berniat belanja di supermarket. Debaran jantungnya tak berhenti berdetak, ia terus m
***Ibu adalah dia yang selalu mengkhawatirkan dirimu, mencemaskanmu, atau bahkan mendikte dirimu bagaimana cara hidup yang menurutnya baik. Begitulah Ankara, ia tumbuh atas perintah Ibunya, membuat lelaki tampan itu tak bebas untuk menikmati hidup.Ankara masih mengetik di komputernya saat mendapat panggilan telepon dari Ibunya, Inggrid Mahendra. Ibunya memberitahu kalau Paris Mahendra saudaranya pergi dari rumah. Ya, dialah Paris. Tak pernah dipandang sebagai lelaki dewasa. Selalu merepotkan dan hanya merusak nama keluarga Mahendra Orlando.Mahendra adalah nama kakek mereka dari pihak Ayah, Hermawan Mahendra. Sementara Orlando merupakan nama kakek mereka dari pihak Ibu, Inggrid Mahendra Orlando. Mata Ankara berwarna biru, tak mengusir fakta kalau mereka punya keturunan darah Orlando, mereka blasteran."Biarkan saja, Ma. Aku rasa Parro butuh dunianya sendiri. Mama tidak usah mencemaskannya."Ankara tak pernah sedikit pun mengadu domba atau bahkan
***Paris pergi dari rumah. Jadi dia tidak punya tempat untuk tinggal. Dia terlalu marah terhadap perlakuan Ibunya. Paris sudah sangat muak selalu dibandingkan dengan Ankara. Pada akhirnya Paris memilih untuk tinggal di rumah kenalannya Travis."Ayolah, Bung. Kau tidak akan menghabiskan waktumu seharian di sofa itu."Travis mengajak Paris ke klabmalam. Namun Paris merasa cukup malas. Dia cukup paham dirinya saat mabuk. Paris tidak mau mempermalukan Ibunya seperti bertengkar dengan orang baru, persis yang sering ia lakukan.Meskipun dituding selalu membuat masalah, sebenarnya Paris selalu mencoba menahan diri."Aku tidak mau merusak nama baik keluargaku," ujar Paris.Itu mungkin terdengar lucu karena Travis sudah menertawainya. "Persetan dengan nama baik keluargamu itu. Ayolah, Bung. Neraka tidak akan membeku hanya karena kau mabuk," tegas Travis.Paris sungguh tidak ingin pergi. Namun karena Travis terus mendesaknya.
***Sudah terlalu larut apabila Jessica pulang. Pada akhirnya ia memilih menginap di apartemen Travis. Dia tidur di dalam kamar tamu sementara Paris tidur di atas sofa.Travis belum pulang. Pria itu tampak menikmati malam bersama seseorang. Dia memberitahu Paris kalau dia tinggal di rumah cewek bernama Ester malam ini. Alhasil, hanya ada Paris dan Jessica di apartemen lelaki itu.Jessica bangun saat jam menunjukkan pukul empat. Dia sangat haus jadi dia berjalan ke dapur. Jessica merasa tidurnya lebih nyenyak setelah mengobrol banyak bersama Paris. Dia merasa ada beberapa kesamaan antara dia dan pria itu."Apa kau tidak bisa tidur?"Jessica bertanya saat melihat Paris di ruang tengah sedang membaca majalah sport. Ada gambar Christiano Ronaldo di sampul majalah itu. Kedua tangan Paris memeluk bantalan sofa yang bermotif polkadot.Jessica sudah berhasil mengambil air minum ketika menyadari Paris tampak gelisah di sofa. Jessica berhasil me
***Jessica tersenyum setiap kali menyaksikan lukisan dirinya yang dibuat oleh Paris. Dia tidak menyangka kalau lukisan Paris begitu indah--sangat nyata. Jessica sempat memotret lukisan itu lewat ponselnya."Aku terlihat seperti remaja polos dalam lukisan. Orang-orang tidak akan tahu kalau aku seorang penari strip," jelas Jessica."Kau terlihat sangat menarik baik di dalam lukisan atau pun kenyataan."Paris mendekati Jessica. Keadaannya sudah lebih baik setelah dia menghangatkan tubuhnya di depan perapian. Jessica benar-benar mengurusnya dengan sangat baik."Trims. Kau selalu memuji aku."Jessica tersenyum. Dia menyentuh lukisan itu. Dia terpukau akan kemampuan Paris melukis."Kau bisa membuka galeri. Lukisanmu sangat bagus. Aku yakin akan banyak orang yang membeli lukisanmu."Jessica menyadari bakat Paris. Lelaki itu bisa mendapatkan lebih banyak uang kalau memiliki galeri pribadi ketimbang jadi pelukis kelilin
***Semua orang memiliki cara berbeda mengatasi masalah yang dialami. Bagi pria semacam Paris, ia tak bisa melakukan banyak hal. Dia melampiaskan kemarahannya pada Ankara dengan cara yang baik, yaitu dengan melukis. Paris menjadi lebih produktif ketika Ankara meledek karya seni ciptaannya."Apa kau butuh semacam kopi?"Jessica bertanya saat melihat Paris masih setia di depan kanvasnya. Beberapa pria di New York sibuk dengan komputer, sangat berbeda dengan Paris. Pria itu menjadikan kuas sebagai wadah menghasilkan uang, bukan dengan komputer."Tidak. Aku sedang tidak dalam mood yang baik." sahut Paris.Jessica mendekatinya, melihat Paris sedang melukis suasana di kelab malam--tempat di mana ada banyak sekali penari tiang bergoyang di depan pengusaha kaya.Jessica tidak percaya Paris bisa mengingat setiap detail saat itu. Dia percaya bahwa Paris merupakan lelaki cerdas. Hanya orang jenius yang mampu menggambarkan situasi deng
***"Kau tidak akan pernah memanggilku Parro."Paris meringis. Dia masih membuka buku tahunan Jessica sampai tersadar kalau Ankara juga alumni UNY, ia menatap serius ke arah Jessica. "Kau--, apa kau mengenal Ankara? Kalian berada di Universitas yang sama."Jessica menggeleng. "Aku tidak terlalu aktif kuliah, jadi sangat jarang mengenal orang, aku ke kampus kalau sudah ujian akhir," katanya.Paris merasa lega, ia senang karena gadis yang ia kencani bukanlah orang yang dikenal Ankara, atau setidaknya sekaranglah saatnya membuktikan kalau ia mampu mendapatkan gadis cantik, setara dengan Chantelle Grace, istri Ankara."Kau bisa disebut sebagai wanita berpendidikan. Mengapa kau memutuskan jadi penari--, kau tahu aku tidak bisa menyebutnya."Paris tidak tahu apakah dia sopan menanyakan itu. Paris sempat minta maaf karena takut Jessica tersinggung."Selama kuliah aku sudah jadi penari tiang. Dan setelah lulus, aku sama sekali tak b
"Komedi yang tidak lucu wahai Putra Mahkota!"Paris tersenyum miring untuk beberapa waktu lamanya. "Berhenti menghalangiku berkencan dengan Jessica sebelum aku curiga kau menyukai kekasihku. Ini sungguh bukan dirimu, Ankara!"Mendengar kalimat Paris, Ankara mendelik. Dia diam, mempertahankan gerakan kesombongannya. Ia tak akan menampakkan sisi lemahnya sebagai pria.***Ankara tertawa lepas, mengejek pernyataan kembarannya, Paris. Pria itu tidak terima dengan kalimat yang menyebutkan bahwa dirinya menyukai Jessica."Aku menyukai Jessica?" Ankara bertanya dengan nada meremehkan. Dia bertingkah seakan-akan Jessica bukanlah wanita berharga.Dia pun mendekati Jessica lalu menegaskan, "Wanita ini tidak akan sanggup menyaingi seorang, Grace. Dia hanyalah wanita penghibur. Jadi selir pun dia tak cocok untukku." Tatapan jijik berusaha dia tunjukkan ke arah Jessica. Namun, tatapan itu berubah dalam sekejap ketika Jessica melototkan