Dengan tubuh yang terasa berat, aku berusaha untuk bangkit, mencoba berdiri dan melangkah, kaki ini seakan terkunci di tempat sulit untukku gerakan. Melangkah dengan gontai menuju ruangan dimana Intan berada, tubuhku terseok-seok saat berjalan memasuki ruangan tersebut.
Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu menatap adikku yang sudah terbujur kaku, tak kuasa lagi kaki ini untuk melanjutkan langkah. Melihat seluruh tubuh Intan tertutup oleh kain putih, hanya wajahnya saja yang nampak.
Wajah dan bibirnya begitu pucat, matanya tertutup rapat. "Intan," lirihku menatap nanar pada tubuh Intan yang sudah tak bergerak.
Yang kulihat di depan mata, hanya tinggal raga tak bernyawa, dadaku kian sesak melihat adikku, dan kenyataan pahit ini. Mulai hari ini dan seterusnya, aku takkan pernah melihat lagi senyuman yang terbit dari bibir Intan. Takkan ada lagi yang bisa aku marahi dikala ia sudah berbuat salah, kini jasadnya sudah terpisah dari ruh-Nya.
<"Mas Arkan, tolong aku! Aku sangat takut ...," teriakku sambil berlari menuruni tangga dengan langkah hati-hati, menuju kamar Kakak iparku yang berada di lantai dasar. Karena keadaan sedang mati lampu, rumah menjadi gelap gulita, tak ada cahaya sama sekali, hanya cahaya dari lampu flash light ponsel yang kupegang. "Ada apa sih, Tan? Teriak malam-malam begini? Kaya melihat hantu saja," tanya Mas Arkan cemas. Karena kegaduhan yang ditimbulkan oleh ku, hingga membuat dia terbangun dari tidurnya dan keluar kamar seraya berdiri di ambang pintu. "Mas, aku takut petir, aku gak suka gelap ...," rengekku menghambur padanya, aku menjatuhkan tubuh ke dada Pria berkumis tipis, bertubuh tegap yang dibalut piyama warna coklat lengan pendek itu. "Sini. Tenang ada Mas!" ucap Mas Arkan lembut seraya merengkuh tubuhku, lalu ia mengusap-usap puncak rambut menenangkanku. Kami berdua masih berdiri di depan kamar, tepatnya di ruang tengah, dengan posisi saling berpelukan. Di dalam sangatlah gelap sedan
"Mas, apa yang sudah kita lakukan?" ucapku panik, setelah tersadar dari kekhilafan. Aku terlonjak dan menyambar selimut yang teronggok di lantai dengan segera, dan menariknya untuk menutupi tubuhku yang polos tanpa sehelai pun, tanganku meraba seluruh tubuh yang basah dengan keringat, dan sisa cairan yang ditumpahkan oleh Mas Arkan. Aku memicingkan mata, sambil menggigit bibir, kedua tanganku mencengkram erat selimut yang menutupi seluruh tubuh hingga area dada, duduk menyandar punggung di kepala ranjang. Takut dan gusar berkecamuk di dalam hati, yang kini kurasakan. Bahwa aku telah melakukan hubungan terlarang dengan kakak iparku, dan sudah menghianati dua orang sekaligus. Kakakku Novi dan suamiku Mas Anton. "Ma'af Intan! Mas gak sengaja," balasnya tak kalah panik denganku, dia duduk disampingku menekuk lutut sembari mengusap wajahnya kasar, kepala Mas Arkan tertunduk, dengan raut wajah yang tak bisa kuartikan. "Mas, aku takut, aku tak percaya apa yang sudah kita lakukan malam ini
"Dengan jarak yang dekat, menatap wajahmu seperti ini. Mas begitu bangga dan mengagumi, kecantikan yang kamu miliki," puji Mas Arkan, yang tak lepas memandang wajahku sedetikpun. Kami bisa saling menatap satu sama lain. Karena listrik sudah menyala, ruangan menjadi terang benderang, memenuhi seluruh kamar ini, kini aku bisa memandang wajah Mas Arkan yang tampan dengan jelas. Terbaring berdua di atas ranjang, tempat peraduan beberapa saat lalu, memadu kasih dengan penuh cinta dan kasih sayang. Bahkan tubuh kami masih polos, hanya seutas selimut yang menutupi tubuhku dan Mas Arkan. "Intan, sebaiknya kamu tidur dulu! Ini baru jam setengah lima pagi. Masih ada waktu beberapa jam untuk kita istirahat! Kamu pasti capek, kan?" ucap Mas Arkan, dia berbaring menghadap ke arahku, satu tangannya menopang di bagian kepala, tangan satunya membelai pipiku dengan lembut. "Iya Mas, aku memang sudah lelah, kamu terlalu hebat," pujiku. Kutatap wajahnya yang tampan dan kharismatik, seraya mengusap-n
"Sayang, bangun!" Suara Mas Arkan samar terdengar. Dia berbisik sambil menepuk-nepuk pipiku pelan, disusul satu ciuman yang mendarat di bibirku. "Eum ...." Aku bergumam, dengan mata terpejam, "Masih, ngantuk Mas," ucapku, lalu membalikan badan, dan membelakanginya. "Udah pagi, kita bangun yuk! Kita mandi bareng," ajak Mas Arkan. Dia memelukku dari belakang, mencium bahuku kemudian menggesekkan pipinya yang ditumbuhi jambang. "Jangan gini Mas, geli!" sergahku, sembari menggerakkan tubuh agar tak terlalu rapat dengannya. Mas Arkan malah merapatkan tubuhnya ke punggungku. Dia meletakkan dagunya di ceruk leherku, satu kecupan mesra dari bibirnya yang hangat, membuat bulu roma meremang, dan seluruh tubuhku terasa panas kembali, napasku terasa sesak meski ruangan ini begitu luas, dan darah pun mengalir begitu deras seketika. "Intan, lagi yuk!" ucap Mas Arkan. Satu tangannya menggapai pipiku, dan menarik tubuhku hingga kami saling berhadapan. "Katanya sudah pagi, kenapa minta lagi?" san
"Mas, aku pakai baju dulu ya! Tar aku bikin sarapan untuk kita," ucapku, seraya melepaskan tangannya, dari pinggangku. "Iya sayang. Mas tunggu di bawah ya!" jawab Mas Arkan diakhiri kecupan kilas di keningku. Aku mengangguk, dia pun berderap menuju pintu kamar dan membuka pintu, lalu keluar dari kamarku, aku menatap punggungnya saat dia melangkah meninggalkan ruangan ini. Masih terbayang di benakku saat ia memperlakukan aku dengan penuh cinta. Kubuka lemari pakaian, dan kuambil salah satu setelan formal, yang menurutku sangat cocok untuk tubuh body goals yang kumiliki, kemeja hitam dan blazer warna abu-abu juga celana bahan warna senada. Wajahku cantik menurut semua orang, kupoles dengan make-up natural, tak berlebihan. Rambutku yang lurus dan
"Intan, kita duduk dulu yuk, sebentar! kita nonton TV, sambil ngobrol!" ajak Mas Arkan, sore itu di akhir pekan, sementara Kak Novi dan Mas Anton sudah berangkat untuk menjalankan tugas ke Surabaya senggang waktu tiga hari. Sehingga aku dan Mas Arkan hanya berdua, di dalam rumah besar dua lantai peninggalan orang tua kami, aku tinggal satu atap dengan Kak Novi dan suaminya. Karena permintaan dari almarhum Papa, tiga bulan lalu, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, tak lama setelah aku di pinang oleh Mas Anton, dan menjadi istrinya. Mas Anton adalah rekan kerja kak Novi sejak empat tahun lalu. Pesan Papa! Kami tak boleh meninggalkan rumah ini, meskipun sudah berumah tangga, dan harus saling menjaga satu sama lain, karena kami tak punya sanak saudara lagi. Ta
"Selamat pagi, Bu Intan?" sapa salah seorang staff. Wanita cantik bertubuh mungil dengan setelan formal bernama Kirana. Dia berdiri hormat saat aku melewati dia. Hendak masuk ke dalam ruanganku. "Pagi juga, Kiran," balasku di barengi dengan anggukan, dan senyuman manis untuknya, aku memang terkenal ramah tamah kepada semua orang dan karyawan. Dengan santai aku melenggang masuk ke dalam ruangan. Kududuk di kursi empuk ruang kerjaku, lalu kubuka lembar demi lembar dokumen, dan mulai menginput data-data penting. Entah berapa lama aku berkutat dengan keyboard komputer. Dan rasanya lumayan capek, mataku pedas menatap layar komputer, tubuhku pun mulai lelah, karena semalam aku kurang tidur, menghabiskan waktu bersama Mas Arkan. Aku menyandarkan punggun
"Mas Anton ingin punya anak, tentu saja aku ingin. Tapi, bukan dari dia, Mas Arkan yang akan memberiku anak," gumamku sambil membayangkan kejadian indah tadi malam bersama Mas Arkan. Tubuhku selalu bergetar hebat, dan hatiku berdebar kencang, kala teringat, saat lelaki itu menyentuhku, jantungku berdetak hebat kala teringat saat dia menyatukan tubuhnya dengan tubuhku. Darahku bergejolak kala teringat, saat dia menyusuri seluruh permukaan kulitku dengan bibirnya yang panas dan basah, bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahangnya yang tegas, menempel di indera peraba, menggugah hasratku yang kian menggelora. Jiwaku meronta kala teringat gigitan-gigitan lembut dan manja di setiap inci tubuhku, dia begitu kuat dan perkasa, tubuhnya yang six pack, lengannya yang keras dan kulitnya yang eksotik.