"Mas Anton ingin punya anak, tentu saja aku ingin. Tapi, bukan dari dia, Mas Arkan yang akan memberiku anak," gumamku sambil membayangkan kejadian indah tadi malam bersama Mas Arkan.
Tubuhku selalu bergetar hebat, dan hatiku berdebar kencang, kala teringat, saat lelaki itu menyentuhku, jantungku berdetak hebat kala teringat saat dia menyatukan tubuhnya dengan tubuhku.
Darahku bergejolak kala teringat, saat dia menyusuri seluruh permukaan kulitku dengan bibirnya yang panas dan basah, bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahangnya yang tegas, menempel di indera peraba, menggugah hasratku yang kian menggelora.
Jiwaku meronta kala teringat gigitan-gigitan lembut dan manja di setiap inci tubuhku, dia begitu kuat dan perkasa, tubuhnya yang six pack, lengannya yang keras dan kulitnya yang eksotik.
Aku dan Mas Arkan masih ada di dalam ruangannya, dengan posisiku yang masih duduk di pangkuannya, kedua tanganku melingkar di pundaknya, menggelayut manja. Kutatap wajahnya yang tampan, aku ingin mengatakan sesuatu meskipun agak sedikit ragu, "Mas. tadi, suamiku nelpon," ucapku sambil merengut. Kemudian kedua tangan kuturunkan. "Memangnya kenapa? Kalau Anton nelpon, kok kayak gak suka gitu? Emang dia bilang apa, tadi sama kamu?" tanya Mas Arkan mengernyit tak mengerti. "Dia, ingin segera pulang," "Hm." Mas Arkan tersenyum tipis, "Ya … gak apa-apa. Mas kan sudah tahu, kakak dan suamimu mau pulang nanti malam. Terus apa masalahnya?" Mas Arkan mengapit hidungku gemas. "Mas Anton, pengen punya anak katanya,
"Siapa itu Mas?" tanyaku dengan hati gusar. Gegas kulepas tangan Mas Arkan dari genggaman. "Gak tahu."Mas Arkan menggeleng cepat, "Sebentar ya, sayang!" lanjutnya menatapku, raut wajahnya tak kalah tegang dariku. "Iya. Mas," jawabku cepat, seraya turun dari pangkuannya. Pandanganku mengedar, kepalaku menoleh kanan dan kiri untuk mencari tempat persembunyian, khawatir ada yang melihatku dengan keadaan acak-acakan seperti ini. Aku tak mau reputasi Mas Arkan rusak di depan semua karyawan atau siapa pun, karena kejadian ini. "Intan, kamu sembunyi di situ." Mas Arkan menggerakkan kepala, tatapan matanya mengarah ke kolong meja kerjanya. "Iya." Aku merundukkan tubuh dan berjongkok lalu masuk ke bawah meja. Sem
Aku dan Mas Arkan keluar dari kamar tersebut, kamar pribadi Mas Arkan, jika ia beristirahat. Dan untuk melepas kerinduan kami, yang tak pernah padam. "Intan, kamu duluan keluarnya, ya! Tunggu Mas di depan, kita berangkatnya jangan barengan, takut ada yang curiga," ucap Mas Arkan begitu lembut, jemarinya menyusur keningku lalu menyelipkan anak rambut ke balik telinga. Aku mengangguk mengerti. "Baik Mas, aku tunggu di depan minimarket, samping kantor!" balasku seraya melepas tangannya perlahan, dari pinggangku. "Iya sayang." Aku dan Mas Arkan tak segan lagi, kami saling memanggil sayang, ini memang salah dan akan menyakiti hati banyak orang, tapi hubungan ini benar-benar membuatku bahagia, dan aku puas lahir batin. Aku berderap menuju pintu keluar ruanga
Sebelum Mas Arkan datang aku melepas handuk penutup tubuh, lalu mengenakan kimono putih yang sudah disediakan oleh pihak hotel. Pintu kamar mandi terbuka, Mas Arkan keluar mengenakan handuk putih di pinggang, dan berjalan menuju aku, yang masih duduk di tepian ranjang mengamati dia. "Kenapa sayang, kamu menatap Mas seperti itu?" tanya Mas Arkan, seraya menaikan alisnya. Aku yang merasa canggung mengalihkan pandangan ke arah hidangan yang tersaji di meja. "Gak, aku cuma." Aku bingung harus berkata apa, bahwa aku sangat mengagumi kakak iparku, selalu terbayang di benakku kala ia memperlakukan aku dengan serangannya yang kasar. Tapi, itu sangat luar biasa, dan membuatku puas. "Lagi, gak?" tanyanya sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku, dengan menumpu satu tangannya di
Dengan perasaan ragu dan jemari pun masih mengambang di atas layar ponsel. Panggilan Video call dari Mas Anton aku alihkan ke panggilan suara, seperti yang diperintahkan oleh Mas Arkan. Aku menempelkan ponsel di telinga, dengan perasaan yang tak karuan, lalu duduk di tepian ranjang, menjuntai kaki mencari ketenangan, kuraih selimut yang ada di ujung tempat tidur, untuk menutupi tubuh yang masih polos dan tanpa penutup sama sekali. Sementara Mas Arkan langsung beranjak ke kamar mandi, sebelum panggilan teleponku terhubung. "Halo Mas," ucapku pelan, meski gugup dan gusar namun aku harus tetap tenang. "Halo Sayang, kok panggilan Mas di alihkan sih, emang kenapa? Padahal Mas kangen loh, pengen memandang wajah kamu!" ucap Mas Anton. Aku menggigit jari telunjuk, seraya berpikir untuk mencari alas
"Nah, gitu dong tersenyum. Mas bahagia melihat kamu tersenyum kembali," ujarnya, seraya mengacak rambutku pelan, kutatap wajah tampannya yang tak lepas dari senyuman, terpancar jelas kebahagiaan dari raut wajah Mas Arkan. Selama ini aku belum pernah melihat wajahnya seceria sekarang, aku pun sama merasa bahagia bisa melewati waktu bersama dia. Cinta terlarang ini sungguh membawa kenikmatan dan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan bahkan tak pernah kubayangkan sebelumnya. "Sayang, andaikan Mas bisa menghentikan waktu. Mas ingin kita di sini selamanya, memadu kasih tanpa ada yang mengganggu." Mas Arkan menaikan satu kakinya dan melipatnya di sisi tubuhku. Kemudian ia memelukku dengan erat dari belakang. "Iya, Mas, aku pun sama denganmu," ja
"Mas," panggilku seraya mengguncang bahunya pelan, kulihat ponsel miliknya yang ada di atas nakas bergetar, mungkin dari kak Novi. Aku bangkit dan mencondongkan tubuh melintasi Mas Arkan, tanganku menggapai benda pipih tersebut yang tak berhenti bunyi. "Benar, dari kak Novi. Untuk apa dia nelpon lagi? Ganggu aja! Bukannya dia sudah mengabari Mas Arkan, dia gak bisa pulang sekarang," gerutuku. Kemudian membuka laci dan kumasukkan benda itu ke dalam. Agar tak mengganggu tidur Mas Arkan, yang terlihat begitu lelah kehabisan tenaga, setelah menghabiskan waktu beberapa jam bersamaku, memuaskan aku hingga terkapar. "Mas, andaikan saja kita ini suami istri, takkan pernah ada rasa bersalah di hati ini, karena telah melakukan dosa besar, pada pasangan kita," ucapku sambil berbaring menghadapnya satu tangan dilipat di bawa
Ku tarik nafas lalu memilin bibir seraya menundukkan wajah, lalu memejamkan mata, enggan rasanya untuk mengungkapkan semuanya pada Mas Arkan tentang masa laluku. "Kenapa?" Mas Arkan merangkul pundakku, sambil menatapku dalam. Aku hanya menggeleng, "Ya sudah, kalau kamu gak mau cerita, Mas gak akan tanya, dan juga gak akan maksa!" lanjut Mas Arkan mengusap rambutku lembut. "Iya," jawabku dengan suara rendah, bukannya aku tak ingin menceritakan kehidupanku dahulu, tapi, Mas Arkan juga sedikit tahu tentang sikap Mama Sofia terhadapku. Apalagi jika ada Mas Arkan, di antara kami, Mama selalu ingin menunjukkan ketidaksukaannya kepadaku di depan semua orang, bahkan memojokkan aku. Entah kenapa sebabnya, aku pun tak tahu. Masih ingat dulu, sewaktu Kak Novi baru resmi m