Share

Cinta Tiga Bidadari
Cinta Tiga Bidadari
Author: Jannah Zein

Bimbang

Bab 1

Sebuah janji yang pernah terlontar dari mulut  seorang Muhammad Abidzar Al Hafiz kepada istri pertamanya, bahwa ia takkan mengambil istri lain lagi setelah menceraikan istri keduanya.

Benarkah janji itu akan di tepati?

Ataukah hanya sekedar janji manis yang untuk selanjutnya kembali ia ingkari?

***

Seandainya Hafiz bisa berlari, itu akan segera dia lakukan. Betapa inginnya menjauh dari tempat ini. Hal yang sangat dilematis tatkala harus berhadapan dengan orang tuanya, sosok tua nan berwibawa yang tengah melontarkan sebuah permintaan.

Permintaan yang mungkin bagi seorang laki-laki mata keranjang, bahkan dianggap sebagai sebuah anugerah!

"Kamu tahu, Nak, tidak mungkin bagi Abah menolak keinginan kiai Nawawi yang ingin menjodohkan putri bungsunya denganmu." Laki-laki tua itu menatap tajam padanya. Hafiz menghela nafas.

"Hafiz tidak mungkin menerimanya, Bah. Hafiz sudah punya istri, sudah punya Azizah." 

"Seorang laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu, Nak," sergah Abah. "Bukankah kau sendiri pernah mempraktekkannya?"

"Poligami itu berat, tidak semudah dan seindah teori. Justru karena pernah praktek, jadi Hafiz tahu bagaimana rasanya. Nyatanya Hafiz sudah gagal, kan?" 

Sejenak ingatannya melayang pada sosok Yasmin, istri kedua yang sudah diceraikannya beberapa bulan yang lalu.

"Rasulullah Saw, para sahabat dan ulama juga banyak yang berpoligami. Poligami itu tidak sesulit yang kamu bayangkan. Selama ini pikiranmu selalu di hantui oleh pemikiran-pemikiran luar yang menganggap poligami itu merendahkan derajat kaum wanita."

"Kalaupun kamu pernah gagal, itu bukan berarti poligami itu salah, tapi cara kamu dalam mengurus istri-istrimu yang perlu di perbaiki," tandas Abah.

"Di dalam sejarah, Rasulullah Saw menikahi Sayyidah Khadijah selama 24 tahun dan beliau berumah tangga tanpa istri yang lainnya selama kurun waktu itu. Pernikahan poligami di dalam sejarah rumah tangga Rasul di mulai setelah Sayyidah Khadijah wafat, menjelang hijrah, lalu berlanjut ke periode Madinah."

"Apakah itu tidak cukup menjadikan bukti, bahwa sesungguhnya Rasulullah lebih cenderung menyarankan kepada para umatnya untuk memiliki istri hanya satu saja?" sahut Hafiz tanpa mengangkat wajah yang sejak tadi terus dia tundukkan

"Lantas bagaimana dengan lamaran kiai Nawawi? Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana mungkin kita menolak putri bungsunya? Nak, urusannya tidak sesederhana pikiranmu. Pikirkanlah baik-baik."

"Hafiz sudah memikirkan semua ini secara baik-baik. Mungkin Abah benar. Kalau seandainya pernikahan ini terjadi, pasti akan membawa manfaat yang besar terhadap pesantren. Namun, jikalau itu gagal bagaimana? Apakah Abah sudah memperhitungkan resiko itu? Ingat, Bah, pesantren kita bukan taruhan dan pernikahan itu bukan kelinci percobaan!"

***

Kata-kata orang yang paling dia hormati di dalam lingkungan keluarga besarnya sungguh membuat kepala Hafiz terasa berdenyut. Abah benar. Menolak lamaran kiai Nawawi untuk putri bungsunya bukanlah urusan mudah.

Apa yang harus dia katakan sekarang kepada Azizah? Sungguh, dia tak sanggup membayangkan harus melihat air mata Azizah yang terus berjatuhan membasahi pipinya. Dia tak sanggup melihat Azizah menangis dan terluka untuk yang kesekian kali.

Menerima pernikahan dengan Yasmin saja sudah terasa begitu berat bagi Azizah. Meskipun pada akhirnya dia dan Yasmin bercerai, tapi sisa luka itu masih begitu terasa. Lantas bagaimana dengan lamaran kiai Nawawi? Haruskah dia menerima putri bungsunya untuk menjadi istri yang ketiga?

Ya Allah, betapa peliknya. Di satu sisi, Hafiz tak mau mengecewakan harapan Abah dan kiai Nawawi, tapi di sisi lain dia juga tak mau menghancurkan hati Azizah. Tak ada perempuan yang mau berbagi, apalagi untuk berkali-kali.

Ah, Hafiz merasa dirinya seperti pengkhianat!

"Abang." Suara lembut itu membuyarkan lamunannya.

"Ada apa, Bang? Adek lihat semenjak Abang pulang dari rumah abah, wajah Abang terlihat murung. Abang ada masalah dengan Abah?"

Azizah duduk disampingnya. Hafiz mengecup punggung tangan istrinya sekilas.

"Adek, maafkan Abang ya. Abang belum bisa membahagiakan kamu. Selama ini Abang selalu membuatmu bersedih dan meneteskan air mata."

"Adek bahagia bisa bersama dengan Abang. Memangnya kenapa, Bang? Abang ada masalah apa? Cerita sama Adek ya," bujuknya. Azizah menatap Hafiz dengan lembut yang kemudian di balasnya dengan mendaratkan sebuah  kecupan di kening Azizah.

"Sungguh, apakah Adek mau mendengarkan cerita Abang?"

"Iya, Abang. Adek kan istri Abang. Kenapa Abang harus merasa sungkan untuk bercerita kepada Adek?"

"Abang tidak tega, Sayang."

"Abang kenapa sih?" Hafiz membiarkan telapak tangan Azizah membelai pipinya. "Apakah ini menyangkut soal Adek?"

"Sebenarnya Abang tidak tega mengatakan hal ini kepadamu, Sayang. Namun, kamu harus mengetahuinya," ucapnya sembari berusaha menahan nafas.

"Dek, kalau seandainya Allah menghendaki di dalam hidup Abang harus memiliki tiga orang bidadari, apakah Adek ikhlas?"

"Tiga bidadari?" Azizah terdiam sejenak.

"Abang mau nikah lagi ya? Astagfirullah ... Abang!" pekik Azizah. Dia menurunkan jemarinya yang semula bergerak menyusuri lekuk pipi laki-laki itu.

"Tadi Abah bilang, kalau kiai Nawawi menawarkan putri bungsunya untuk Abang."

"Dan Abang menerima begitu saja?" ketus Azizah. Wajahnya seketika merah padam. Gemuruh di dadanya laksana badai yang menghempas dunianya. Sakit sekali, sampai ke ulu hati.

"Abang tidak menerima, Sayang. Namun, kamu kan tahu siapa sebenarnya kiai Nawawi? Sekarang yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana cara menghadapi beliau agar penolakan kita tidak menyakiti hati keluarga mereka," ucap Hafiz hati-hati. Dia tidak mau Azizah bertambah marah.

"Kiai Nawawi yang pengasuh pondok pesantren Darul Falah itu, kan?" tanya Azizah memastikan.

"Iya, Dek." Hafiz menghela nafas panjang.

Azizah membeku. Sebagai seorang wanita dia sudah tahu jawabannya. Secara perasaan, pasti dia tidak mau dimadu apalagi dimadu untuk yang kedua kali. 

"Abang sudah tahu jawabannya, kan? Adek ini manusia. Adek bukan malaikat atau pun bidadari yang bisa menerima dengan begitu mudah suaminya hidup dengan perempuan lain dan bisa menerima perempuan lain ada di disisi suaminya. Adek hanya manusia biasa, Bang. Hanya manusia lemah, perempuan yang memiliki perasaan cemburu!" pekik wanita itu.

"Abang paham dan Adek juga sudah tahu jawabannya. Abang hanya ingin bertukar pikiran denganmu, bagaimana cara menghadapi kiai Nawawi dan putri bungsunya. Dia itu juga perempuan lho, Dek. Bagaimana rasanya jika seandainya kamu yang menawarkan diri kepada seorang laki-laki, tetapi laki-laki itu menolak?" Hafiz kembali menghela nafas panjang.

"Lalu bagaimana kalau seandainya kita berada di posisi kiai Nawawi dan keluarganya?"

"Apa yang harus kita lakukan, Abang? Apakah Abang nekat menerima tawaran dari kiai Nawawi? Apakah Abang tega mengorbankan Azizah untuk yang kedua kali?" Tangisnya tumpah seketika.

"Bang, Allah memang memperbolehkan laki-laki untuk berpoligami dengan syarat-syarat yang jelas. Abang pernah menikah dengan Yasmin. Namun, apa yang terjadi? Akhirnya Abang malah bercerai. Apakah itu kurang cukup untuk menunjukkan kapasitas diri Abang yang belum memungkinkan Abang untuk memiliki istri lebih dari satu?"

"Azizah tidak pernah menolak konsep poligami, tetapi Azizah ingin agar Abang lebih jauh berpikir. Kita boleh saja bermaksud baik, tidak mau mengecewakan orang lain. Akan tetapi, bagaimana kalau di antara kalian tidak ada kecocokan? Apakah Abang akan bercerai lagi?"

"Apakah Abang tidak malu kalau nantinya orang-orang menyebut diri Abang sebagai lelaki tukang kawin?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status