"Nay, kamu kenapa?" tanya Ratna, saat tangan membuka pintu di ruangannya.
Ini hari pertama Ratna kembali ke kafe setelah dua hari menemani Aldo di rumah.
"Aku nggak tahu, mungkin masuk angin," jawab Nay, wajahnya basah, dan terlihat menahan sesuatu yang sepertinya akan keluar dari mulut Nay.
"Kamu periksa saja, Nay. Jangan jangan kamu hamil." Rafi yang datang di belakang Ratna tiba tiba ikut buka suara.
"Iya, Nay. Periksa aja deh!" Seru Ratna mendukung apa yang di katakan Rafi
"Tapi–"
"Kalau kamu nggak periksa malah fatal, pengin sembuh, terus minum obat anti masuk angin. Eh ... ternyata hamil, gimana? Kan pasti ada resiko dari obat yang kamu minum, Nay." Rafi Langsung memotong pembelaan Nay.
Ada iba menggelantung di dada Rafi, melihat kondisi Nay saat ini.
"Tapi–"
"P
Ratna terus mengulang pertanyaan yang sama hingga membuat dokter Agni sedikit gemas."Hei! Saya serius, Bu! Anda hamil. Selamat ya ...."Masih banyak lagi pesan yang dikatakan oleh dokter di depannya yang sedang membersihkan perut Ratna dari gel tadi. Namun, Ratna hanya bisa menangis sambil terus memandangi layar."Sekarang anda boleh berbalik ke kanan, baru kemudian bangun dengan perlahan," suruh dokter Agni pada Ratna yang ia ikuti."Benarkan apa yang aku bilang." Siska tersenyum sambil terus memainkan ponselnya."Memangnya dokter Siska bilang apa!" tanya dokter Agni yang kemudian pindah ke kursi miliknya dan menuliskan sesuatu di sana."Cuman minta traktiran kalau mereka berdua terbukti hamil," jawab dokter Siska, yang kemudian tertawa terbahak."Ah dokter Siska, ada ada saja!" seru dokter Agni, yang kemudian memberikan amplop co
"Apa tidak sebaiknya kalau kamu, aku antar saja, Yang?" usul Aldo saat melihat istrinya mengambil kunci mobil, pagi itu setelah sarapan bersama."Tidak usah, aku baik baik saja, kok!" jawab Ratna yang mendekat untuk mencium pipi, dan punggung tangan kanan suaminya."Tapi perutmu sudah tak memungkinkan untuk menyetir, Yang ...."Jelas saja Aldo sangat khawatir dengan kondisi Ratna, yang memaksa menyiapkan sendiri acara tujuh bulanan si kembar yang rencananya akan di laksanakan seminggu lagi."Perutku tidak masalah kok, Bang. Asalkan kau tidak lagi terlalu mempermasalahkan," ujar Ratna, yang terus melangkah melewati dapur menuju ruang garasi.Setelah sebelumnya meminta Mak untuk membuka pintu garasi dan juga pintu pagar.Sambil mengikuti istrinya dari belakang, Aldo hanya bisa mengambil nafas panjang dan mengembuskannya dengan kasar.&n
"Mas, baju yang mau di bawa yang mana?" tanya Mak siang itu.Mak sengaja di antar pak Ri untuk mengantarkan baju bersih yang akan di pakai Aldo, di rumah sakit. dan membawa balik baju yang sudah kotor untuk Mak cuci di rumah.Tanpa bicara, Aldo yang dengan wajah sangat menampakkan kesedihan, memberikan baju yang sudah ia lipat dalan paperbag yang lumayan besar pada Mak."Mbak gimana, Mas?" tanya Mak, dengan tangan terulur menerima paper bag dari Aldo."Masih tidur, Mak. Tolong doain, ya. Biar bisa cepat pulang ke rumah." Aldo sedikit tersenyum, senyum yang terlihat terpaksa."Iya, Mas. Saya dan Mak selalu berdoa semoga Mbak dan si kembar cepat pulang, biar rumahnya ramai." Pak Ri yang tadinya hanya terdiam mendengarkan, kali ini ikut membuka suara.Sudah sebulan lebih pasca kecelakaan, Ratna tak sadarkan diri. Terbaring lemah dengan beberapa
Terlanjur, dokter Siska sudah memencet tombol di atas kepala Ratna, memberitahukan bahwa ada sesuatu yang terjadi pada pasien."Apa yang kau lakukan?" tanya Aldo yang masuk ke dalam ruangan dengan raut wajah marah. Tangannya mengepal menahan geram."A-aku ...." jawab Siska yang tergagap, kaget! Wajahnya pucat seketika."Bang ...."Seperti tak percaya Aldo mendengar Ratna memanggilnya, seketika itu juga ia menoleh ke arah istrinya dan baru menyadari kalau perempuan yang ia cintai sudah bangun dari tidur panjang."Yang ...."Aldo mendekat ke arah Ratna, menggenggam tangan istrinya erat, dan menciumi setiap inci wajah perempuan yang sangat ia cintai.Membuat dokter Siska seketika itu juga mundur perlahan menuju pintu.Hampir saja dirinya menabrak beberapa dokter dan perawat yang berdatangan mendekati Ratna, dan mem
"Sudah siap?" tanya Delon, pada Aldo yang memasukkan semua perlengkapan istri dan dirinya ke dalam tas ransel yang Mak bawa tadi dari rumah.Terlihat Aldo menganggukkan kepalanya sekilas. Menjawab pertanyaan Delon.Hari itu hari ke empat setelah Ratna bangun dari tidurnya, dan dokter yang menangani Ratna sudah memberikan izin untuk pulang."Pak Ri, yang tas itu, nanti tolong di bawa ke rumah, ya. Jadi kita cuma bawa tas yang ini aja."Aldo menunjuk tas yang lebih besar untuk di bawa pak Ri yang mengiyakan perintah majikannya, serta langsung membawa pergi setelah sebelumnya pamit lebih dulu pada Aldo dan Ratna."Nanti kau pakai saja mobilku, Do. Aku bisa pakai taxi online nanti."Delon menyodorkan tangannya yang sedang memegang kunci mobil."Terima kasih," ucap Aldo, tangannya ikut maju mengambil kunci yang disodorkan Delon."
"Aku ingin menikah lagi." Sore itu sepulang kerja, Rizal mengutarakan keinginannya pada Ratna, dengan mengulurkan sejumlah uang yang ia letakkan di atas meja, tepat di depan tangan sang istri yang sedang memegang ponsel. "Aku sudah tahu, dan aku siap?" jawab Ratna, dengan wajah tenang. Bahkan tanpa memandang wajah suaminya yang baru saja pulang kerja. "Apa maksudmu?" tanya Rizal yang tak menyangka istrinya akan setenang itu. Dahinya mengernyit, seolah sedang berpikir tentang sikap yang istrinya tampakkan. "Aku siap kau ceraikan." "Tidak, aku tidak ingin kita bercerai, aku janji akan bersikap adil." Rizal sedikit kaget dengan keputusan yang diambil Ratna, di luar perkiraannya. "Adil? Kau tak akan bisa? Aku tahu berapa uang yang sudah kau berikan pada perempuan itu tiap bulannya, dua kali lipat dari yang kau berikan padaku." Rizal sedikit tersentak, tak mengira kalau Ratna bisa tahu apa yang dia lakukan. "Dia seorang
Mendengar teriakan suaminya dari dalam kamar, Ratna meletakkan ponselnya di atas meja dan segera berlalu ke dapur, membuatkan sesuatu untuk suaminya."Mana kopiku?" tanya Rizal untuk kedua kalinya, saat keluar dari kamar dengan penampilan yang berbeda, tampak segar dengan air yang masih menetes di ujung rambutnya."Tidak ada kopi, hanya sisa teh itu pun tawar, gulanya habis," jawab Ratna, dia menunjuk satu-satunya gelas berisi teh di atas meja."Kau keterlaluan! Aku tidak bisa minum sesuatu yang tawar, kamu tahu itu!" sahut Rizal, dengan nada meninggi."Aku tahu, tapi bukan aku penanggung jawab rumah tangga bukan? Uangnya ada di tanganmu, jadi silahkan belanja sesuai dengan keinginanmu." Ratna kembali berkata dengan wajah datar, tangannya kembali memegang ponsel, satu satunya barang berharga yang di miliki, pemberian dari Nita, sahabatnya."Jangan lupa, sisakan uang untuk listrik dan air, dan untuk air minum." Ratna lagi-lagi menambahi apa y
"Jodoh itu sudah ada yang ngatur, Bu. Jangan terlalu di ambil hati,""Ratna--"Bunyi motor masuk ke dalam pagar membuat ibu memilih berhenti berkata, pandangannya beralih ke pintu, seakan sedang menunggu.Rizal masuk ke dalam rumah dengan wajah kesal. Di tangannya tergenggam satu kresek besar berwarna merah dengan logo sebuah toko, yang kemudian ia letakkan dengan kasar di lantai dekat kaki Ratna."Ada apa, Zal. Kamu sepertinya sedang kesal." Ibu bertanya saat melihat muka masam putra kesayangannya.Rizal terdiam, dia hanya menggelengkan kepalanya berulang kali sambil mendengus, tatapan matanya menatap tajam ke arah Ratna yang juga sedang menatapnya dengan tenang. Sepertinya tak ada niat untuknya menjawab pertanyaan sang ibu suri."Habis belanja di mini market, Zal? Waah banyak uang rupanya, biasanya di pasar, nyari yang murahan," ujar sang ibu, yang sepertinya sedang menyindir sang menantu. Tak perduli meski pertanyaannya tadi