Share

CHAPTER 5. SENIOR HIGH SCHOOL

Jakarta, 2021

Tahun demi tahun berlalu, banyak yang berubah.

Air, dia bukan lagi seorang anak kecil yang ‘ingin main terus’. Dia juga bukan lagi anak nakal yang suka mengganggu anjing tetangganya. Tapi, kini, penampilannya malah seperti anak nakal. Ralat, remaja nakal. Rambut yang dipotong dengan jalan tikus di samping, ditambah anting bulat di telinga.

Masa pertumbuhan membuat fisik Air juga banyak berubah. Tubuhnya yang dulu pendek dan kurus, kini tinggi dan lebih berisi. Tangannya berurat, pun lehernya. Wajahnya… semakin tampan. Tidak heran, kini dia menjadi laki-laki paling diincar oleh kaum hawa di SMA-nya.

Sikap dan sifatnya juga berubah. Dia yang dulunya cerewet dan banyak bicara, kini jadi malas bicara—kecuali pada Mika. Dia lebih tertutup sekarang—kecuali pada Mika, lagi. Dia juga tidak peduli pada hal-hal tidak penting—lagi-lagi kecuali pada Mika, sebab Mika adalah orang paling penting di hidupnya.

Air yang dulu ingin punya banyak teman, ingin bermain bersama semua orang, kini tidak lagi demikian. Dia lebih memilih menyendiri—menyendiri bersama Mika. Dia menjadikan Mika teman satu-satunya. Teman, sahabat, saudara, dan cintanya.

Sedangkan Mika…, dia juga banyak berubah. Mika bukan lagi anak perempuan penakut—walau sampai sekarang dia masih hanya bisa tidur dengan bantuan Air. Dia bukan lagi anak lemah, dia sudah bisa melindungi diri sendiri sekarang. Tapi, sikap dan sifatnya tidak banyak berubah seperti Air. Dia tetap Mika yang tidak bisa bergaul dengan orang lain, selain Air. Dia tetap Mika yang malas berinteraksi dengan orang lain, selain Air. Dia tetap Mika yang masih takut berlebihan terhadap ‘kehilangan’.

Hari itu, Air baru menginjakkan kakinya di rumah pukul 21.00. Dia baru selesai dengan kegiatan futsalnya. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah. Keningnya berkerut. Rumahnya terlihat sangat sepi.

Di mana semua orang?

Dia mengedikkan bahunya, berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Satu tangannya memeluk bola, sedangkan satunya lagi menggulir layar handphone-nya. Dia membaca rentetan pesan dari Mika yang dikirim hari ini, tepatnya pukul 00.00.

Mika

Happy birthday, Airrrrrrrr!

Happy birthday, happy birthday to you!!!

Love u, hehe.

Laki-laki itu menggigit bibir atasnya, menahan senyum. Dia tidak mau CCTV di rumahnya menjadi saksi bisu ketidakwarasannya. Pesan Mika yang satu itu benar-benar membuatnya tidak waras.

Love you too, Mika.

Dia baru akan membuka pintu kamarnya sebelum matanya menangkap secarik kertas di depan kakinya. Ujung bibirnya tertarik sedikit. Dia tahu itu adalah sebuah surat. Tanpa buang-buang waktu, dia meraih kertas tersebut dan membaca isinya.

Jakarta, April 2021

Dear My Dearest Air,

Hai! Happy birthday, Isa Airlangga! Selamat ulang tahun, Air, komponen tak hidup tapi hidup yang paling penting dalam hidupku. Selamat ulang tahun, cowok taurus!! Selamat 18 tahun, ya…

Mmm… mau bilang apa, ya? Hehehe. Mau bilang terima kasih, deh. Terima kasih karena udah mau bertahan hidup sampai sekarang. Aku nggak tahu gimana aku kalo kamu nggak ada. Aku hidup karena kamu hidup.

Sehat selalu, ya. Panjang umur! Jaga aku selalu :) Jangan pergi.

I love youuuu. So much.

Mika

Kali ini Air tidak bisa menahan senyumnya. Senyumnya merekah begitu saja. Mika… selalu punya cara membuat Air semakin mencintainya.

Surat itu dia lipat serapi mungkin, kemudian dia masukkan ke dalam saku celananya. Surat-surat dari Mika selalu dia kumpulkan di dalam sebuah kotak. Dia mengingatkan dirinya berkali-kali untuk memasukkan surat barusan ke dalam kotak tersebut.

Tangannya bergerak membuka pintu kamarnya.

Gelap gulita.

Tapi, ada beberapa titik cahaya oranye di depannya.

Dia mengernyit, kemudian menekan saklar lampu kamarnya. Matanya melebar kaget begitu lampu menyala. Bola di tangannya jatuh.

Di depannya, Mika dengan kue di tangannya, Papanya, dan Damian—kakak pertama dan saudara satu-satunya—berdiri. Mereka bertiga sontak menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun. Air terkekeh, dia terharu.

Mika menyodorkan kue dengan lilin-lilin yang menyala itu padanya. Dengan sigap, dia meniup lilin-lilin tersebut hingga padam. Tepuk tangan menyusul.

Thank you, Mikaaa. Thank you, Papa. Thank you, Dam—sejak kapan, sih, lo datang? Gue kaget.”

“Sejak tadi,” Dami menjawab pendek. Sejak Mama mereka meninggal, dia memutuskan untuk sekolah di luar negeri, tepatnya di San Francisco—tempat kelahiran Mamanya. “Udah selesai, kan, ‘birthday party’ lo? Gue mau tidur. Ngantuk.”

Air mengangguk, membiarkan Dami beranjak keluar dari kamarnya. Dia tahu, Dami pergi bukan karena mengantuk, tapi karena kakaknya itu tidak tahan berlama-lama di dekat Papanya. Dia menatap Papanya yang melemparkan senyum maklum.

Mika yang sadar suasana berubah, menyenggol lengan Air. “Lihat, dong, kue buatan aku!” Dia menunjuk kue yang sudah dia letakkan di atas meja belajar Air. “Seminggu yang lalu, waktu aku ulang tahun, kamu bikinin aku kue sendiri, kan? Aku nggak mau kalah, jadi aku bikinin kue sendiri juga buat ulang tahun kamu.” Kue hasil tangan Mika terlihat sederhana dan rapi, tidak seperti kue buatan Air waktu itu—berantakan, walau rasanya lumayan enak.

Air tersenyum geli. Dia menarik Mika ke dalam pelukannya. Puncak kepala gadis itu dia kecup gemas berulang kali, membuat Papanya melotot.

“Kalo mau cium-cium, tunggu Papa keluar dulu, lah,” protes Bimawa.

“Iyaaa, iya. Ribet, deh, orangtua.”

Bimawa mengelus dadanya, mencoba sabar dengan kelakuan anak bungsunya itu. “Papa keluar, nih. Eh, tapi sebelum itu, kamu beneran nggak mau hadiah apa-apa tahun ini? Mungkin mau mobil?”

“Nggak. Hadiah yang Air mau, masih sama kayak tahun-tahun sebelumnya, Pa. Air cuma mau Mika.”

Bimawa tersenyum mengerti. Dia segera meninggalkan kamar Air. Anaknya itu… benar-benar sedang jatuh cinta.

***

“Kamu nginep di sini?” Air bertanya sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Dia melirik Mika yang masih sibuk dengan handphone di tempat tidurnya. Sepertinya gadis itu tidak mendengarkan pertanyaannya. “Mikaaaa,” panggilnya.

“Hah?? Apaaa?”

“Kamu nginep di sini??” dia mengulang pertanyaannya.

“Nggak tahu. Kalo kamu nggak mau aku nginep, berarti kita tidur di rumahku.”

Air terkekeh mendengar itu. Setelah dirasa rambutnya sudah kering, dia segera bergabung dengan Mika di tempat tidur. Tangannya melingkar di pinggang sahabatnya itu. Dia menggunakan kesempatan ini untuk menghirup dalam-dalam wangi rambut Mika. Wangi bunga dan buah bercampur menjadi satu.

“Kamu lagi ngapain, sih??” tanya Air penasaran. Dilihat-lihat, sedari tadi Mika tak melepaskan matanya dari handphone-nya.

“Lagi lihat info jurusan kuliah.”

“Kamu udah mikirin kuliah?”

Mika menoleh. “Emang kamu belum?”

“Udah, sih. Aku, kan, mau masuk arsitektur.”

“Nah, aku yang belum. Dari SMP sampai SMA aku selalu ngikut kamu. Tapi kuliah nggak bisa lagi. Aku nggak minat masuk arsitektur, nggak bisa gambar.”

Air mengangguk paham. Dia tersenyum. Tangannya mengusap lembut pipi Mika. “Mika-nya Air udah dewasa, ya.” Jika dulu Mika mati-matian harus duduk di bangku sekolah yang sama dengannya, kini tidak lagi demikian. Mika sudah bisa menentukan pilihannya sendiri. Lebih tepatnya, dia sudah berani untuk ‘sedikit jauh’ dari Air.

“Jadi, kamu mau ambil jurusan apa?”

“Sastra Indonesia. What do you think?

Cool!” Jurusan yang benar-benar cocok dengan Mika. Sebab, gadis itu suka menulis, juga suka membaca.

“Kamu udah bilang ke Ayah dan Bundamu? Gimanapun juga, mereka yang bakal biayain kuliah kamu. Ya… siapa tahu mereka nggak setuju kamu ambil jurusan itu?”

Pertanyaan Air membuat Mika terdiam. Air mukanya berubah. Dia menghela napas panjang. Topik ini sangat sensitif untuknya. “Kamu emang bener, mereka yang bakal biayain kuliahku. Tapi, mereka nggak bakal peduli aku ambil jurusan apa, Air. Yang penting di otak mereka adalah mereka udah ngirim uang buat hidupku. Kan, selama ini juga gitu.”

“Mika…, kamu masih benci mereka?”

Mika mengangguk tanpa ragu.

“Kamu ngingetin aku sama Dami. Dami masih benci Papa sampai sekarang. Dia belum rela dan ikhlas. Dia terus-terusan nyalahin Papa atas kecelakaan pesawat Mama. Emang benar, kalo waktu itu Papa nggak berantem sama Mama cuma karena hal sepele, mungkin Mama nggak bakal sakit hati terus milih pergi dari rumah buat pulang ke San Francisco dan akhirnya jadi salah satu penumpang pesawat yang jatuh itu. Memang itu salah Papa. Tapi bukan salah Papa kalau pesawat itu jatuh. Udah takdirnya begitu.” Air menarik napas dalam.

“Awalnya aku sama kayak Dami, nyalahin Papa dan benci Papa. Tapi itu cuma berlangsung satu minggu. Lama-lama aku belajar merelakan. Karena, kalau aku nggak rela, aku bakal mimpi buruk terus seperti tiga hari pertama setelah kepergian Mama. Aku bakal mimpi buruk terus tentang pesawat yang jatuh, dan Mama yang berteriak minta tolong dengan tubuh yang hampir hancur lebur. Itu nyakitin, banget, Mika.”

Dia memeluk Mika semakin erat. “Kenapa aku bilang ini ke kamu? Karena aku tahu, kamu selalu nggak bisa tidur karena bayangan orangtuamu yang kamu benci itu selalu muncul. Kalo kamu bisa merelakan mereka pelan-pelan, pasti bagus.”

“Apa yang harus aku relakan dari mereka, sih, Air? Merelakan perlakuan mereka ke aku? Nerima diriku yang faktanya dibuang sama mereka?” Mika bertanya dengan getaran samar di suaranya.

“Iya. Persetan dengan mereka yang memperlakukan kamu dengan nggak baik. Persetan dengan mereka yang ngebuang kamu. Kamu harus rela dan terima fakta itu. Dengan gitu, kamu bakal mulai terbiasa. Kamu nggak usah fokus sama orang-orang yang menurutmu nggak baik. Nggak ada gunanya, cuma bikin kepikiran. Cukup fokus sama orang-orang yang sayang sama kamu. Ada aku, ada Papa. Ayah dan Bunda kamu emang ninggalin kamu, tapi aku… nggak akan pernah.”

Mika mengangguk, air matanya yang sedari tadi tertampung di pelupuk matanya, hampir meluruh. “Kamu udah janji soal itu.”

“Iya. Dan aku nggak bakal ingkarin itu. Kamu juga, nggak boleh tinggalin aku.”

“Kamu suka aku, Air?”

Air mengangguk.

“Kamu sayang aku, Air?”

“Selalu.”

“Kamu cinta aku, Air?

“Selamanya.”

“Terus kenapa kita nggak pacaran?” Mika bertanya, iseng.

Air mendelik. “Kan, kamu yang nggak mau.”

Mika terkekeh pelan. “Emang, sih. Kalo pacaran terus putus, nanti nggak bisa temenan lagi, sama kayak anak di kelas aku, tuh. Lagian, kita nggak pacaran aja, kelakuannya udah kayak orang pacaran.”

Tawa Air meledak. “Itu tahu. Nggak pacaran juga kamu udah milik aku, kok.”

“Sampai kapan?”

“Sampai bumi berubah jadi matahari, Mikaaa. Udah, ah, ayo tidur.” Laki-laki itu mengecup pelan bekas jahitan di pelipis Mika. “Selamat tidur. Thank you for today. Mimpiin kita, ya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status