"Sebesar apa pun perjuanganmu untuk mendapatkannya, sekalipun mendaki gunung himalaya, bahkan mengarungi samudera hindia, jika Tuhan tidak berkehendak, kamu tidak akan pernah bisa memilikinya."***Anna, kenapa gadis yang pernah menjadi saudara tirinya itu ada di sini? Pertanyaan itulah yang pertama kali menyambangi pikiran Rella tatkala masuk ke rumah bak istana milik Gloria. Ia benar-benar terkejut, Abil berbisik padanya bahwa gadis dengan dress selutut itu adalah adik Stella. Adik kandung, tetapi beda ibu. Satu rahasia kembali terkuak. Lantas, kenapa selama ini, Stella bersikap seolah tidak mengenal Anna? Tunggu dulu. Annasterra dan ... Annastella. Kenapa Rella baru sadar, jikalau nama dari kedua gadis itu ada kemiripan? Kenapa ia tidak ngeh sama sekali? Rella tidak habis pikir. Lantas, apa alasan Stella sampai merahasiakan tentang ikatannya dengan Anna? Anna sangat menyukai Alka, apakah Stella mendukung hal itu di belakang Rella? Apakah Stella hanya berpura-pura mendukung per
Wanita berpakaian khas dokter itu menggelung tt dan memasukkannya ke dalam tas khusus. Rautnya tampak berbeda selepas memeriksa keadaan pasien yang terbaring di ranjang king size. Sesaat kemudian, dia melempar senyum kepada orang tng duduk di kursi dekat ranjang, Gloria. "Bagaimana keadaan Stella, San? Dia tidak kenapa-napa, kan?" Kecemasan tergurat jelas di wajah renta Gloria. "Ibu jangan khawatir, Stella baik-baik aja. Dia cuma butuh istirahat untuk memulihkan tenaga, sebentar lagi pasti siuman." Ucapan Santiya, dokter yang biasa menanganinya terdengar meyakinkan, membuat Gloria tersenyum tenang dan bernapas lega. "Entah apa yang Stella kerjakan selain kuliah sampai membuatnya kecapean, tapi syukurlah kalau dia nggak kenapa-napa." Gloria berdiri mendekati Santiya yang telah selesai mengemasi peralatan medisnya. "Kamu nggak makan dulu bareng kita? Sambil nunggu Stella siuman.""Nggak usah, Bu, saya mau langsung balik ke rumah sakit selesai dari sini. Mungkin ... lain kali kalau ng
Cinderella tahu dirinya tak secantik Cinderella yang ada di dalam dongeng. Namun, sebagai sesama ciptaan Tuhan yang brojol dari rahim ibu, bukankah harus saling menghargai? Cinderella, kan, juga termasuk spesies yang berkembang biak dengan cara dilahirkan, bukan dieram seperti telur ayam. Iya, macam si Chickenrella.[Rella, coba, deh kamu ke salon. Meny-pedy, terus kamu ubahlah sedikit gaya norak-mu itu. Mau muntah aku liat gelagatmu yang 'cam anak hilang warasnya. Rambut 'cam lidi, muka 'cam bungkus gorengan, gembrotmu nggak ketulungan. Aduh, rasanya mual perut aku lama-lama di dekat kamu.] -From JojonSeandainya Rella berperangai emosian, pasti sudah ditelan bulat-bulat laki-laki yang satu itu. Jojon, pacar satu minggu Rella di sosial media bernamakan f******k. Namun, setelah pertemuan di malam Ahad kliwon itu, Jojon lari terbirit karena ternyata penampakan sosok Rella yang diidamkannya seperti di kartun disney, hanyalah fatamorgana. Sampai pada akhirnya, Rella rela diputuskan meski
Ini bukan kisah sesosok Tuan Putri dengan paras jelita. Melainkan, seorang manusia biasa yang selalu minder dan menyalahkan diri sendiri akan keberadaannya. Tubuh gempal dengan bobot mendekati angka 100 Kilogram alias satu kwintal, siapa yang tidak meng-capnya sebagai Karung Goni, Gorila, Kudanil, atau bahkan ... Babi? Tega? Alah, di dunia ini, manusia dengan rasa kepedulian tinggi bahkan bisa dihitung jari. Namun bagi Rella, satu cemoohan dan hinaan atas fisiknya, mampu merobohkan 1001 batu-bata kepercayaan diri di dalam dirinya.[Malam ini nggak bisa tidur di kos, Mama kekeuh minta gue tidur di rumah. Sorry, malam ini lo sendiri. Dan, jangan lupa sleep well my princess Ella. Good night] -From StellaRella menghela napas panjang, sama sekali tidak ada guratan senang di wajahnya. Benda gold di tangan terlempar pelan, bagai tiada daya. Kembali mengambil napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan harapan, semua beban pikiran hilang.Menelentangkan tubuh di kasur dengan ukuran dua kal
Suasana area parkir kampus tampak sepi, hanya ada cctv bergentayangan merekam setiap kejadian di tempat yang penuh dengan kendaraan roda dua dan empat. Termasuk kecelakaan kecil yang terjadi antara sedan merah dengan hitam.Selepas parkir-memarkir selesai, laki-laki semampai berjaket hitam yang baru saja keluar dari sedan hitam, tampak mendesah kesal tatkala melihat bumper mobilnya lecet karena kecelakaan kecil beberapa detik lalu. Aura kemarahan terpancar jelas di wajah ovalnya. "Bokap pasti marah besar kalau sampai tau. Aish!"Mata tajam itu beralih pada dua perempuan yang keluar dari kendaraan penyebab kerusakan bumper mobilnya. Mengetahui siapa gerangan mereka, Yongki Gabriel, alias Abil tampak mengeratkan rahang. "Yang megang kemudi, gue minta tanggung jawabnya." Tatapannya dingin, tetapi menyeramkan.Rella dan Stella, kedua gadis itu terlihat ketakutan dengan salah satu tangan mereka saling mengait. Lidah terasa kelu saking takutnya, bahkan Rella sampai berkeringat dingin karena
Para pelajar membubarkan diri, beberapa di antaranya masih sibuk mengemasi peralatan, termasuk Stella dan Rella."El, lo jadi ketemu sama Kak Abil, 'kan?" tanya Stella seraya menyampirkan tali tas ke bahu kanannya.Menutup resleting tas, lalu mengenakan benda berwarna biru muda tersebut, Rella menjawab, "Jadi, kok. Kamu juga ikut, 'kan?""Aduh, gimana, ya? Sebenernya gue baru aja di-chat sama Bokap, hari ini keluarga besar kumpul di rumah. Lo juga taulah, mau ngebahas apa. Pastinya tentang perjodohan gila itu," balas Stella, lantas mengembuskan napas berat."Jadi, kamu tidak ikut. Begitu?""Ya ... mau gimana lagi? Soalnya kata Bokap, dia bakal kecewa kalo sampe gue nggak hadir, dan gue paling nggak bisa nolak kalau urusannya udah sama Bokap. I am so sorry .... Lo sendirian, nggak pa-pa?"Menghela napas pendek, Rella mengangguk samar. "It's okey, Stel. Aku tidak pa-pa, lagi pula orangnya, kan, cuma Kak Abil, bukan dosen killer."Terkekeh, Stella mencubit pipi gembul Rella dengan gemas,
Cuaca di sore ini terasa dingin. Angin berembus pelan, membelai pepohonan, hingga daun-daunnya menari tanpa beban. Deru kendaraan di jalan terdengar bersahutan. Debu-debu trotoar beterbangan bagai berusaha lari dari kenyataan yang sebentar lagi akan menghempaskan mereka.Kesedihan Rella juga dimengerti oleh langit. Rintik mulai berjatuhan, bersamaan dengan orang-orang berteduh di bawah naungan. Kecuali Rella, gadis yang menghentikan langkah di tengah guyuran hujan. Tidak peduli dingin menembus tulang. Ia merasa, hujan tengah memberinya rahasia terbesar. Ya, walau berjatuhan dari tempat yang teramat tinggi demi menyuburkan bumi, tetapi ia tidak pernah merengek ataupun menolak takdir Tuhan. Ia sangat tegar."... Marah aja tiap hari, biar gue nggak bosen liat wajah lo yang penuh lemak itu.""Orang tua lo pinter banget, ya, ngasi nama. Terus pangerannya segede apa kira-kira kalo tuan putrinya kayak lo?"Suara Abil terus berputar keras di telinga Rella. Kedua kaki yang memijak bumi tidak ma
"Gue, sih, nggak masalah lengser dari jabatan ketua BEM sama gelar mahasiswa teladan, tapi masalahnya ada sama bokap gue, Al. Kalau sampai bokap tau, tamat riwayat gue! Aduh, Al ... please bantuin gue mikir. Gue nggak tau musti ngapain sekarang!"Racauan sang teman dari lima belas menit lalu hanya ditanggapi kekehan olehnya, laki-laki penyandang gelar dosen termuda. Ialah, Muhammad Alka Marshal, si tuan rumah sekaligus pendengar setia curhatan panjang dari seorang teman yang datang bertandang di malam hampir larut. Tautan jari tangan di atas meja dari awal sesi curhat, kini beralih disedekapkan depan dada.Wajah kusut laki-laki yang tidak lain adalah milik Abil, semakin kusut tatkala mendengar kekehan Alka. "Gila lo, ya, ketawa di atas penderitaan gue. Bukannya kasih solusi, atau apa, kek, malah ketawa."Sebelah tangan Alka memperbaiki kacamata yang membingkai iris berwarna abu dengan bentukan sipit. Lalu, kata demi kata bernada halus teralun merdu melewati bibir tipis kemerahannya. "