Sudah lima bulan sejak pernikahan Nora dan Tian dilangsungkan, setiap pagi Nora selalu menyiapkan makanan untuk sarapan Tian, meskipun Tian hanya menyentuh sedikit dari masakannya, namun Nora tetap menyediakan berbagai santapan pagi hari, bila tidak habis biasanya Nora menyuruh pelayan dan sopir untuk menghabiskannya.
“Bu, apa tidak sebaiknya masak seperlunya saja?” tanya bi Tiyem, asisten rumah tangganya.
“Gak apa-apa bi, bisa saja hari ini bapak sedang mau sarapan banyak,” jawab Nora tak mengindahkan pertanyaan bi Tiyem.
Setiap pagi bi Tiyem selalu mengingatkan hal yang sama pada Nora, namun Nora tetap saja meyajikan Tian sarapan yang bermacam pilihan, meskipun Nora yakin Tian hanya akan menyentuh Kopi dan memakan roti bakar, itupun hanya satu gigitan saja.
Tian sudah bersiap untuk berangkat ke kantor, dia duduk di meja makan dan memandang semua makanan di meja, dia mengambil cangkir kopi yang sudah di sediakan di depannya, lalu berdiri, dia pamit pada Nora, mencium keningnya, lalu berjalan keluar rumah, pak Yono sopirnya sudah menunggu di depan teras.
“Apa kamu tidak pernah mau untuk mencicipi salah satu masakan di meja, atau mau aku bungkuskan untuk bekal?” tanya Nora yang mencoba menghentikan Tian.
“Nggak usah, kamu makan saja ya, aku gak terbiasa makan berat pagi hari Nora,” jawab Tian sambil tersenyum, lalu masuk ke mobil dan meninggalkan Nora yang masih berdiri memandangnya.
Nora memandang makanan di meja, tidak satupun yang di sentuh Tian, begitupun hari-hari sebelumnya, Nora ingin Tian merasakan masakannya, bukan Nora tidak bisa memasak, namun Nora tahu selera Tian berbeda dengan masakan yang suka dimasaknya di kampung, untuk memenuhi selera Tian, Nora mengambil kursus memasak, namun itupun tidak membuat Tian menyentuh masakannya sama sekali.
Tian yang setiap hari pulang larut, membuat Nora merasa kesepian, terlebih dia belum juga mengandung hasil dari pernikahannya, bagaimana bisa Nora mengandung anak bila selama lima bulan mereka menikah tak sekalipun Tian menyentuhnya atau meminta dilayani olehnya,
Nora membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, hatinya di selimuti perasaan rindu oleh keluarganya di kampung, Nora tidak tahu bahwa pernikahannya tidak seindah yang dia pikirkan dulu, Nora selalu merasa Tian tidak pernah mencintainya, namun Nora selalu memaklumi karena mereka menikah dari perjodohan orang tua.
Namun Nora dengan mudahnya mencintai Tian, bukan karena Tian berasal dari keluarga kaya raya, namun perlakuan Tian kepadanya sangat baik hingga Nora tidak punya alasan untuk membencinya, meskipun Nora merasa Tian tidak pernah menganggapnya sebagai istri.
“Tring..tring..tring,” suara handphone Nora berbunyi, dia bangkit untuk mengambil handphonenya, dia melihat pesan masuk di layar handphone, dari Tyas, adik iparnya.
“Ka, ada dirumah?” tanya Tyas.
“Ada yas, kenapa? mau mampir ke sini?” balas Nora.
“Temani aku ke salon yuk ka?” lanjut Tyas.
“Aku siap-siap dulu ya, nanti biar aku aja yang jemput sama pak Yono, sebentar lagi pak Yono pulang kok habis mengantar mas Tian ke kantor,” jawab Nora.
“Aku saja yang jemput ka, sudah mau sampai juga kok,” balas Tyas.
Nora langsung mengiyakan ajakan Tyas, dia bergegas mandi dan bersiap, Tyas melajukan mobilnya ke salah satu mall, mereka biasa ke salon langganan di sana, karena sering di ajak tyas, penampilan Nora sekarangpun sudah banyak berubah, Tyas adalah adik ipar yang sangat baik untuknya, meskipun pertemanan Tyas jauh dari dunia Nora.
“Kak Nora sudah banyak berubah dari pertama aku lihat loh,” kata Tyas memulai percakapan di mobil.
“Oh ya, berubah gimana,” jawab Nora.
“Kalau ka Tian masih gak bisa lihat ka Nora yang seperti ini, nanti dia yang rugi sendiri loh,” balas Tyas.
Nora tersenyum, namun dalam hatinya Nora membenarkan bahwa sampai saat ini Tian tidak pernah melihatnya bahkan menyentuhnya.
“Kak Nora itu cantiknya alami, pake make up tipis aja udah cantik banget, gak kaya wanita-wanita kebanyakan di sini, makeupnya tebal baru keliatan cantik hahahha,” kata Tyas menambahkan.
Mereka sampai di salah satu mall besar di tengah kota,Tyas dan Nora berjalan menuju salon langganan mereka, saat berjalan Tyas melihat toko yang menjual keperluan wanita, lalu menarik tangan Nora ke sana.
“Kak mampir kesini dulu yuk,” kata Tyas.
“Loh gak jadi ke salon?” jawab Nora.
“Kesini dulu, kita beli lingerie untuk kak Nora,” jawab Tyas enteng.
“Lingerie? untuk apa?” balas Nora.
“Ya untuk kak Nora pakai nanti malam,” jawan Tyas.
Mereka memilih dua pakaian lingerie, Nora yang melihatnya jadi malu sendiri, Nora tidak mau memilih lingerie yang terlalu terbuka, dia hanya memilih baju lingerie yang kelihatan masih normal-normal saja, namun tidak meninggaklan kesan seksinya, Tyas menyuruh Nora untuk memakainnya nanti malam.
Tyas tahu bahwa kakaknya tidak akan pernah menyentuh Nora meskipun mereka sudah menikah, karena Tyas tahu Tian adalah laki-laki yang gemar gonta ganti wanita, dan Nora tidak tahu itu. Tyas merasa kasihan pada Nora, terkadang kebaikan dan kepolosan Nora membuat Tyas kesalah setengah mati dengan kakaknya Tian, apalagi saat Tyas mendengar dari teman-temannya bahwa mereka melihat Tian sedang berada di berbagai macam tempat dengan wanita lain.
Tyas sengaja mengajak Nora untuk pergi ke mall, membeli lingerie dan ke salon seharian, Tyas diam-diam mengambil handphone Nora dan mengirimkan pesan kepada Tian untuk tidak pulang terlalu larut, namun tidak pernah ada balasan dari Tian, tapi Tyas yakin kalau Tian membacanya.
Setelah seharian pergi dengan Tyas, Nora merasakan letih yang amat sangat, Nora masih tidak habis piker bagaimana Tyas bisa keliling mall seharian tanpa merasakan capek, Nora berjalan ke kamar mandi, dalam benaknya dia mengingat membeli baju lingerie, namun Nora hanya tersenyum, sekalipun dia memakai baju seperti itu akankah Tian akan menyentuhnya meskipun hanya satu malam saja, Nora merasa membuang-buang waktu untuk baju lingerie itu.
Selesai mandi, Nora memutuskan untuk mencoba salah satu baju lingerie yang tadi dia beli, lingerie warna hitam, dengan belahan dada yang cukup terbuka, baju yang hanya sampai di atas lututnya terlihat pas di tubuh Nora, namun rasa letih Nora yang membuat matanya mengantuk memaksanya untuk merebahkan tubuhnya di tempat tidur, dia memejamkan mata untuk sebentar saja.
Nora merasakan sedikit sentuhan di lehernya, namun matanya masih belum mau membuka, Nora merasakan lagi sentuhan yang cukup dalam di tubuhnya membuatnya sedikit terjaga, namun dia melihat wajah Tian yang berada di atas tubuhnya, menciumi lehernya dan menatap matanya, namun Nora masih setengah sadar untuk menadari apakah itu mimpi atau kenyataan.
Nora merasakan ganggaman tangan Tian di pergelangan tangannya, Nora membiarkan Tian mencumbui satu persatu bagian tubuhnya, meskipun ini hanya mimpi Nora sudah cukup bahagia, mungkin hatinya sudah haus akan dekapan Tian.
Nora merasakan Tian membuka satu persatu baju yang dia kenakan, dia melihat Tian pun membuka baju yang dikenakannya satu persatu, dan membiarkan kulit mereka bersentuhan dengan intim, untuk pertama kali Nora merasakan semuanya terasa nyata, apakah Tian benar-benar sedang berada di pelukannya mala mini.
Tian yang baru pulang kerja melihat Nora terbaring dengan baju lingerienya berdiri terdiam, Tian mengacuhkan pandagannya, namun rasa penat Tian membawa Tian mendekat ke tubuh Nora yang sedang terlelap, Tian memandangi wajah Nora dan tersadar, sejak kapan wanita ini menjadi cantik seperti ini, lalu tangan Tian mengusap pipi dan leher Nora, dia melihat Nora menggeliat membuat Tian ingin menyentuhnya.
Entah karena apa, Tian mulai mencumbui tubuh Nora, dia membuka baju Nora satu persatu, Tian tahu ini untuk pertama kalinya dia menyentuh istrinya setelah lima bulan menikah, entah apa yang membuat Tian merasa malam ini Nora seakan menariknya untuk merasakan tubuh wanita kampung ini, Tian tidak henti-hentinya mencium aroma wangi tubuh Nora.
Malam ini Nora mendapatkan apa yang sudah lama dia inginkan, untuk pertama kali dia menyerahkan sesuatu yang berharga pada Tian, dan itu seharusnya sudah Tian ambil lima bulan yang lalu, Nora merasakan sentuhan Tian yang membuatnya seperti pergi ke alam mimpi, namun bagi Tian Nora tidak lain seperti wanita yang pernah tidur dengannya, namum bagi Nora sentuhan tangan dan bibir Tian di bibir dan tubuhnya adalah hal yang tidak akan Nora lupakan.
Nora bersiap untuk pergi ke rumah keluarga Winata setelah menemani Tian sarapan dan berangkat kerja, meskipun tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Tian, Nora yakin Tian sadar yang apa yang telah mereka lakukan semalam, Nora pun masih tidak percaya sampai saat ini, saat dia terbangun, Tian sudah berada disampingnya dan sama-sama tidak ada satu helai pun benang yang menempel di tubuh mereka, Nora terbangun dan terduduk di tempat tidurnya, dia diam terpaku, membereskan rambut dan menatap Tian yang masih tertidur. Nora dengan cepat bangkit dari tempat tidurnya, dan sedikit berlari ke kamar mandi tanpa mengetahui bahwa Tian mengintip dari tempat tidurnya, Tian pun tidak percaya yang telah dia lakukan semalam pada Nora, bukankah dia hanya menganggap Nora sebagai alat untuk mendapatkan warisan ayahnya, namun entah mengapa semalam dia melihat Nora begitu cantik, dan tidak bisa menghentikan tubuhnya untuk tidak menyentuh Nora.
Nora terbangun, dia melihat jam di sebelah tempat tidurnya, sudah jam delapan pagi, dia melirik ke samping kanannya, tempat Tian biasa tidur namun tidak ada tanda-tanda orang tertidur di sana, Nora melihat lantai kamarnya berserakan dengan barang-barang yang baru dia beli kemarin, Nora ingin beranjak dari tempat tidur, namun kepalanya masih terasa berat dan pusing, dia tidak tahu berapa kali dia menangis semalam hingga terbangun jam delapan pagi, Nora berusaha untuk bangkit dan mendinginkan kepala, Tian tidak pulang ke rumah, batin Nora. Setelah membereskan mandi dan membereskan kamarnya, Nora bersiap untuk keluar rumah, dia memutuskan untuk jalan-jalan membeli perlengkapan lukis yang banyak, lebih baik dia menyibukan diri dari pada harus menunggu Tian yang hanya menganggapnya sebagai alat, Nora menahan rasa sakit di dadanya agar air matanya tidak tumpah lagi bila mengingat kata-kata itu. Nora meminta supirnya mengantarkan dia ke t
“Kenapa kamu bisa bersama Tomi,” suara Tian meninggi setelah menarik dan melempar Nora ke atas tempat tidur, Nora tersungkur dan memegang pergelangan tangannya yang kesakitan karena genggaman Tian. “Hanya kebetulan bertemu, aku sedang membeli alat lukis di dekat situ, lalu mas Tomi mengajakku minum kopi,” jawab Nora. “Kebetulan bertemu? memang kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?” tanya Tian yang terlihat marah. “Kami bertemu pertama kali saat aku datang ke kantormu kemarin,” jawab Nora sambil menundukan wajahnya, dia tak berani melihat wajah Tian, dia tahu Tian marah besar padanya “Apa? aku bilang sama kamu dan tolong dengarkan baik-baik, aku mohon kamu jangan pernah muncul di kantorku atau di hadapan teman-temanku lagi,” balas Tian. Nora yang mendengar apa yang diucapkan Tian tersentak
Nora masih memandangi foto-foto yang dikirimkan pengirim tanpa nama tersebut, dia perhatikan satu persatu, wajah Tian yang tak pernah dia lihat sebahagia itu saat bersamanya. Banyak pertanyaan yang terlintas di kepala Nora, apakah wanita yang bersama Tian di foto ini adalah Citra, orang yang mengirimkan foto itu padanya. Jam menunjukan pukul sepuluh malam, Nora tida bisa memejamkan matanya, gambaran foto itu terus datang saat dia memejamkan matanya, Nora sudah berjanji tidak ingin menangis lagi, untuk bertanya pada Tian, Nora tidak punya keberanian setelah mereka bertengkar semalam, tapi Nora tidak akan tenang sebelum tahu kenyataannya. “Apakah aku harus menemui mas Tomi ataukah Tyas,” gumam Nora dalam hati. Nora mengambil handphone yang berada di meja samping tempat tidurnya, dia mulai mengirikan pesan kepada seseorang, Nora memutuskan untuk bertemu besok pagi setelah Tian berangkat kerja, dan pesan Nora
Nora mematung di depan kanvas lukisnya, tangannya memegang kuas yang yang catnya sudah mengering, hampir satu jam lamanya Nora hanya memandang kanvas kosong, tidak seperti biasanya, bila di depan kanvas Nora dengan gamblang melukis dan memainkan kuasnya sehingga menjadi lukisan yang indah, hati Nora bimbang, dia merasa seperti perempuan bodoh yang hanya menurut dan akhirnya harga dirinya terinjak-injak. Foto-foto Tian dengan wanita lain masih terbayang dalam benak Nora, bahkan dia istrinya tidak pernah berpose seperti itu dengan suaminya sendiri, selama berbulan-bulan dia menikah baru kemarin Tian benar-benar menyentuhnya, itu pun mungkin bukan karena Tian mencintai dirinya. Nora meletakan kuasnya, dia berjalan ke kamar, membuka lemari bajunya, namun wajahnya terlihat ragu, Nora ingin pulang sejenak ke kampungnya, bertemu ayah dan ibunya, menangis dan bercerita dengan puas dengan adiknya hingga beban di pundaknya berkurang meskipun sedik
“Tian, aku mau bicara,” isi pesan singkat Tomi di handphone membuat Tian bertanya, tidak seperti biasa Tomi mengirimkan pesan hanya untuk bicara padanya, sepertinya kali ini dia ingin berbicara serius, batinnya dalam hati. Lima belas menit kemudian Tomi sudah berada di depan ruangan Tian, dia membuka pintu dan melihat Tian sudah duduk dan meracik kopi untuk mereka berdua, Tomi duduk di sofa sambil melihat ke arah Tian, setelah Nora menceritakan kejadian di museum tadi, Tomi langsung pergi menemui Tian. “Katanya mau bicara, kok malah diam aja sekarang,” tanya Tian pada Tomi. “Tapi sebelumnya aku tidak ada maksud apa-apa, aku hanya mau bertanya sesuatu padamu Ian, dan ini demi masa depan dan warisanmu itu,” jawab Tomi. “Ha ha ha sejak kapan jadi serius begini sob, kita sudah lama kenal, jangan tegang begini lah,” balas Tian yang memandang wajah Tomi, ad
Jam menunjukan pukul sepuluh pagi, kamar Nora masih terlihat gelap, dan Nora masih terbaring di tempat tidurnya, matanya tak mau terpejam hingga jam empat subuh, kata-kata wanita kemarin siang yang menemuinya masih terbayang di kepala Nora. dia tidak membayangkan Tian menghamili wanita itu, apakah mereka sudah menikah siri di belakang Nora, sesaat Nora merasa sebagai istri yang tak berguna, bagaimana tidak, harusnya dia yang mengandung anak Tian bukan wanita lain, rasa sesak kembali memenuhi dada Nora. Nora mencoba bangkit dari tempat tidur, dia menyandarkan punggungnya dan mengambil handphone yang dia letakan di dalam laci, Nora sengaja menyimpannya di sana, selepas pulang dari museum dia tidak ingin berbicara dengan siapapun, dia melihat layar handphone, tiga puluh dua panggilan tak terjawab dari Tian dan Tomi, Nora kembali meletakan handphonenya, dia tak menggubris semua panggilan yang masuk. Nora mencoba membuat dirinya sibuk untuk m
Almeera memandangi layar handphonenya, dia mencoba menghubungi Tian berulang kali, tidak ada jawaban, panggilannya tak di jawab dan pesannya tak di balas, Almeera gelisah, tidak pernah Tian melakukan hal ini padanya, setiap telephone dan pesannya selama ini tidak pernah menunggu lama, Tian pasti langsung membalasnya, namun saat ini tak ada balasan apapun dari Tian, Almeeran tidak bisa menunggu lagi, dia bergegas mengambil tasnya dan bergegas untuk pergi menemui Tian. “Tring…tring…tring,” bunyi pesan masuk di handphonenya membuat Almeera mengehntikan langkah kakinya, dia membuka pesan, berharap Tian yang membalas salah satu chatnya. “Nora sakit, dia pingsan kemarin malam, maaf sayang aku tidak sempat membalas pesanmu,” kata Tian di pesan itu. Raut wajah Almeera berubah kesal, semalaman perasaannya tidak tenang menunggu Tian, dia tidak pernah absen untuk datang ke apartemennya, namu