Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La
Hari itu di sebuah hutan sunyi yang terdiri dari ratusan pohon pinus mengitari tubuh lelaki muda itu. Dia menoleh ke kanan kirinya, mencari lambaian suara yang terdengar memanggil di telinganya. Bernada dan berirama, membuat indra pendengaran lunak sampai ke ulu hati saking merdunya. Askara ... Laki-laki itu terperanjat seraya mengedarkan penglihatannya, berusaha mencari sumber panggilan itu. Namun yang ia tangkap hanyalah batang pepohonan pinus yang semakin atas semakin rimbun daunnya. Tiba-tiba hempasan kabut membuat ia sedikit menggigil, dinginnya meresap ke dalam kulit. Bayangan hitam merambat di ranting-ranting pohon membuat suasana hutan pinus itu mendadak gelap dan berkabut dalam sekejap. "Dimana ini?" Askara mengosok-gosok tangannya karena kedinginan. Pakaian dari kulit rusa miliknya tidak mampu menghangati tubuhnya. Semenjak kabut menghempas yang membuat kayu dan ranting berembun, Askara kehabisan akal untuk me
Cukup lama mereka memecah batu penjadi puing-puing kecil. Pekerjaan ini bukanlah hal yang mudah, perlu tenaga lebih dan kesabaran tinggi pula. Penjual batu sudah menjadi mata pencaharian mereka sehari-hari, demi beberapa gunduk garam yang bisa mereka gunakan untuk menyambung hidup. Seusai memecah batu dan tenaga terkuras habis, mereka berdua makan terlebih dahulu sebelum beranjak ke kota. Sang kakak menyiapkan bahan untuk membuat makanan, sedangkan sang adik bertugas untuk membuat api. Ashoka memanggang daging rusa kering itu sembari menabur garam supaya lebih berasa. Askara hanya diam melihat apa yang dilakukan kakaknya. "Kau tidak sayang dengan garamnya? Kita bisa beli kapak baru dengan garam itu." "Aku sengaja sisakan sedikit untuk bumbu makanan. Lagipula kita akan jual batunya. Setidaknya kita akan mendapatkan lagi garam, jangan khawatir." Ashoka menghidangkan makanannya diatas daun pisang, dan menyodorkannya kepada Askara untuk mereka makan bersama.
Hampir setengah hari dua saudara itu menghabiskan waktu untuk berniaga. Sang surya sedikit demi sedikit turun guna mendarat di ufuk barat. Membuat sinarnya tidak terlalu panas menyengat, bahkan terasa hangat. Menemani mereka menarik gerobak kosong dan beberapa gundukan garam. Senang rasanya karena puing-puing batu mereka habis terjual, sekarang gililan keduanya mencari bahan makanan ke hutan. Hanya saja binatang buruan tidak ada satupun yang terlihat hari itu. "Shoka, ini aneh. Biasanya para sekumpulan rusa ada disini, kancil juga biasanya sering terlihat. Sekarang rusa maupun kancil, tidak ada dua-duanya." Askara menyimpan kembali anak panahnya. Ia memilih jongkok dekat semak-semak bersama Ashoka. "Aku juga berfikir begitu, ini tak biasa." Ashoka masih mengintai di balik semak-semak. Sejeli apapun ia menajamkan penglihatannya, nyatanya tidak ada satu pun buruan di hutan itu. Pemuda itu mulai cemas, ka
Cindaku!? 'Tidak mungkin, monster itu benar-benar ada? Ini mimpi. Ini pasti mimpi!' Askara melangkah mundur. Jantungnya berpacu dua kali lipat lebih cepat dari biasanya. Lelaki itu beradu netra dengan mosnter itu. Askara kian mundur seiring apa yang di depanya melangkah maju. Saat badannya terjerembab karena tanaman rambat yang membelit, disana Askara merasakan sakit. Berarti ini bukan mimpi. Sialan! Kenapa kejadiannya sama persis dengan mimpinya semalam? Dimana dirinya mencoba lari dari cindaku namun tanaman lilit menjadi penghambat karena membelit kakinya. Tiba-tiba anak panah melesat dan mendarat tepat di bola mata makhluk itu. Seketika terdengar raungan yang menggelegar di seisi hutan. Bersamaan dengan itu, Ashoka datang menghampiri adiknya sambil memotong tanaman rambat yang melilit kakinya. "Ayo lari!" pekik Ashoka menyeret Askara supaya lari menjauhi monster itu yang sepertinya benarlah
Ashoka banyak memuntahkan darah, saat cindaku memotong sebagian organnya. Gigi-gigi itu maju perlahan mengunyah tubuh Ashoka dari kaki hingga ke perutnya, menyisakan dada, kepala, dan dua tangan yang menggelantung. "La--ri ... A-as-ka ..." rintih Ashoka saat kondisinya sedang sekarat. Sedikit demi sedikit kesadarannya mulai menghilang. Meskipun begitu, ia masih mengingat Askara dan berusaha menyerunya dalam bentuk rintihan yang mustahil terdengar langsung oleh adiknya. Glek ... Tubuh Ashoka yang tersisa ditelan bulat-bulat dalam mulut makhluk itu. Darah sang kakak terlihat bercipratan di mulut cindaku itu. Seperti tidak menyia-nyiakan makanan lezatnya, cindaku itu menjulurkan lidah panjangnya dan menjilat bercak darah di wajahnya. "T-tidak mungkin ... Sho--ka ...?" Askara membisu, dadanya terasa sesak sampai tak sanggup berkata kala melihat jasad sang kakak tewas tepat deapn matanya. Sampai air m
Setelah melalui kehampaan yang diselimuti gelap, Askara berhasil terbangun. Ia merasakan pegal-pegal dan nyeri di sekujur tubuhnya. Beberapa detik kemudian dia menyadari punggungnya tengah terbaring di atas kayu, terasa agak geli karena kulitnya menyentuh langsung pembaringan keras nan padat itu. Askara terhentak sesaat setelah melihat kondisinya yang tak mengenakan pakaian atas. Telanjang dada sampai ke pusar. Pemuda itu mengedarkan pandangan guna mencari apapun untuk menutup tubuh kurusnya. Hanya saja setiap sendi bergerak, otot-ototnya terasa sakit sampai-sampai dirinya tak mampu bangkit bahkan untuk duduk sekalipun. Askara meringis kesakitan, tulang-tulang tubuhnya serasa remuk, menggerakan kepala pun harus disertai tenaga. Lelaki itu berakhir menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya, ia putus asa dan siap mati kapan saja. "Jangan banyak bergerak, Nak. Kau belum pulih." Askara sedikit terke
Kali ini Askara menggeleng sembari beranjak mundur. Ia merasa aneh dengan sikap pria dewasa ini, apakah benar semua itu diberikan secara percuma? Pasti ada bayarannya. "Kenapa kau ... Memberikan semuanya padaku? Makanannya? Pakaiannya ... Sebenarnya apa yang anda inginkan dari saya?!" Suara Askara sedikit bergetar. "Aku hanya minta kau menjawab pertanyaanku," ujar Dwara dengan tenang. "Apa itu?" Dwara mengambil nafas. "Apa sebelumnya kau bertarung melawan cindaku?" Bola mata Askara terbuka lebar. Sama sekali ia tidak berfikir jika pria bernama Dwara ini berfikir sampai ke sana. Pemuda itu ragu menjawab, karena sampai saat ini pun dia berusaha menolak keberadaan cindaku. Sekalipun makhluk itu ada, dia harus membantai monster itu dengan tangannya sendiri. "Kenapa anda bertanya seperti itu? Apa menurut anda makhluk itu ada?" Askara sengaja berkilah. Lagi-lagi Dwara ters