Mobil Khanza memasuki halaman rumah Rain. Setelah mobil itu berhenti, terlihat Rain dan Khanza keluar. Khanza segera menuju kursi belakang, sementara Rain menunggu Khanza yang mengambil barangnya. Khanza menutup mobilnya setelah mengambil sebuah koper kecil dan juga tas sekolahnya. "Rumah Chandra dimana Ra?" tanya Khanza ketika ia sudah berada di sebelah Rain. "Tuh di seberang." Khanza melihat rumah yang berada tepat di depan rumah Rain. "Pantesan Chandra nempel mulu sama lo." Rain tidak mendengarkan, ia melangkahkan kakinya ke dalam. "Tunggu Ra!" Khanza berjalan menyusul Rain dan mulai memasuki rumah Rain, sesekali ia menoleh ke kanan dan kiri, melihat-lihat sekitar rumah Rain. Rumah Rain yang sekarang terlihat lebih besar, meski tak sebesar rumahnya. Tak banyak yang berubah, barang-barang di sana masih sama hanya tata letaknya yang berbeda. "Khanza." Khanza menoleh saat seseorang memanggilnya. Ia tersenyum mengetahui bunda Rain yang memanggilnya. "Bunda." Khanza segera mengha
Chandra terlihat sibuk menata dan memindahkan barang di kamarnya. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, namun lelaki itu masih berbenah. Ini adalah kebiasaan Chandra ketika merasa stress. Ia akan menata ulang barang di kamarnya untuk mendapatkan suasana baru, tak peduli malam ataupun siang. Chandra melakukannya sesuka hatinya. Tadi siang mamanya kembali ke Singapura untuk urusan pekerjaan. Itu yang membuat Chandra berani menata ulang kamarnya, jika ada sang mama pasti ia akan dimarahi habis-habisan. Mamanya akan berkata Chandra buang-buang waktu untuk hal yang tidak berguna. Chandra merasa sedikit bersyukur mamanya kembali ke Singapura, namun ia juga sedih. Bagaimanapun mamanya adalah orang yang melahirkannya, ia kadang rindu pada mamanya. Apalagi Fani yang sangat butuh kasih sayang seorang ibu. Di tengah kegiatan Chandra, tiba-tiba Fani muncul dan berdiri di pintu. "Bang, pembalut gue habis." Chandra menoleh sekilas ke arah Fani lalu melanjutkan kegiatannya. Ia hanya mengangguk dan me
"Fani gak ada di rumah gue Chan, emang kenapa?" Setelah mendengar jawaban dari Rain, Chandra terlihat cemas. Fani bukanlah anak yang terbiasa keluar malam, jika terpaksa keluar pasti Chandra yang mengantarnya. "Chan?" Chandra baru tersadar bahwa sambungan teleponnya masih menyala. "Enggak apa-apa Ra," ucapnya sebelum mematikan sambungan telepon itu. Tidak hanya menelepon Rain, Chandra juga menelepon teman-teman Fani, namun jawaban mereka semua sama, Fani tidak ada di sana. Chandra tetap mencoba berpikir positif, mungkin saja Fani berjalan-jalan di sekitar komplek. Chandra akhirnya berjalan menuju garasi dan mengeluarkan motornya. Setelah keluar dari rumahnya, Chandra mengendarai motornya dengan perlahan dan melihat ke kanan dan kiri berharap Fani ada di sana. Tak terasa, Chandra sudah mengelilingi komplek. Ia semakin khawatir karena tak mendapati Fani di sana. Chandra terus mencoba membuang pikiran negatifnya dan memilih mencari ke luar komplek. Cukup jauh dari kompleknya, Chan
Fani membuka matanya saat mencium aroma masakan yang menyeruak begitu wangi. Ia segera beranjak dan berjalan menuju dapur. Saat sampai di dapur, ia melihat Chandra sedang sibuk mengaduk masakannya. Fani tersenyum melihat Chandra memakai celemek merah jambu dengan motif hello kitty. Dengan langkah pelan ia menghampiri Chandra dan berniat mengejutkan lelaki itu, namun usahanya ternyata telah diketahui Chandra. "Kenapa?" tanya Chandra tanpa melihat Fani. Fani berdecak karena ketahuan. "Tumben masak?" tanyanya. "Biar lo gak makan di rumah Tante Mira lagi." Lagi-lagi Chandra berkata tanpa melihat Fani. Tanpa berkata apapun Fani memeluk Chandra dari belakang. "Ih, ngapain peluk peluk, mandi sana! Bau tau." Fani melepaskan pelukannya dan memukul punggung Chandra. "Gue wangi tau!" "Air liur lo tuh bersihin dulu." Chandra tertawa. "Gue gak gitu ya, sok tau Lo." Fani terlihat kesal pada Chandra. "Udah-udah sana mandi. Nanti telat ke sekolah," peringat Chandra. "iya, bawel." Fani seg
Dengan langkah pelan, Fani berjalan membawa tas kecil berisi bajunya dan menuju rumah Rain. Fani melihat ke arah Khanza dan Rain yang sedari tadi menunggunya. Wajah Khanza terlihat sumringah, memang sedari awal dialah yang sangat gembira dengan rencana ini. Sampai di rumah Rain, Fani diminta untuk menaruh tasnya di kamar Rain, lalu turun untuk makan bersama. Selama makan, Fani beberapa kali bercanda dengan keluarga Rain. Ia sudah bisa mulai beradaptasi di sana. *** Suasana di kamar Rain menjadi lebih hangat karena kedatangan Fani. Rain sedari tadi menatap Fani dan tersenyum karena mengetahui Fani yang sudah mulai beradaptasi dengannya dan juga keluarganya. Rain tau rasanya menjadi Fani, ia pernah merasa tidak nyaman berada di lingkungan baru. Sebenarnya Rain merasa tidak enak pada Fani karena Khanza memaksanya menginap. Setelah mengetahui Fani merasa nyaman sekarang, Rain pun lega. Dilihatnya gadis 15 tahun itu sedang menatap layar laptop dan terlihat fokus menonton. "Lo kenapa Ra?
Chandra segera berpamitan pada Bunda Rain setelah mengetahui Fani berangkat bersama Rain dan Khanza. Setelah keluar dari komplek, Chandra mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jalanan yang ramai tidak ia pedulikan. Chandra dengan mudah berkendara di sela-sela kendaraan yang berjalan lambat. Beberapa kali ia mendapat teguran dari pengendara lain, tapi Chandra tidak menghiraukannya dan terus memacu motornya lebih cepat. Chandra baru menurukan kecepatan motornya saat sudah hampir sampai ke sekolah. Ia berhenti dan mematikan mesin motornya, lalu menuntunnya melewati satpam yang sedang bertugas. Tak lupa Chandra tersenyum dan menyapa satpam itu. Setelah melewati pos satpam, Chandra baru mengendarai kembali motornya dan membawanya ke parkiran. "Chan!" Chandra yang baru saja memarkirkan motornya langsung menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat Alif dengan senyum khasnya berjalan menghampirinya. "Kenapa Lif?" "Mau bareng ke kelas?" tawar Alif. Chandra mengangguk. Ia dan Alif mu
"Kenapa?" Juan bingung dengan sikap Chandra yang tiba-tiba berubah. "Gue selalu ngerepotin kalian." Juan tersenyum "Lo ngomong apa sih Chan, lo udah kita anggap kayak keluarga sendiri." Chandra membalas senyum Juan, meski perkataan Juan makin membuat Chandra merasa bersalah. "Chan, lo ga mau makan kue buatan Bunda? Rain juga bantu buat nih." Khanza langsung menarik Chandra mendekat ke arah Bunda Rain. "Iya Chan, yang lain udah makan, tinggal kamu yang belum." Bunda Rain mengambil satu potong kue yang telah di taruh di piring kecil, lalu menyodorkannya pada Chandra. "Mau disuapin?" "Engga usah Tante." Chandra mengambil potongan kue itu dari Bunda Rain dan mulai memakannya. "Enak Chan?" "Enak banget Tante," jawab Chandra dengan penuh semangat. *** Chandra menatap bingkisan-bingkisan yang tersusun rapi di atas meja. Tangannya terulur mengambil satu bingkisan berwarna hitam dengan hiasan pita berwarna merah. "Lo masih mau jahat sama kak Rain Bang?" Chandra tak menjawab, ia hany
"Monyet belang!" Alif terlonjak kaget karena Khanza tiba-tiba menggebrak meja kantin. "Lo kenapa sih Za!" marah Alif. "Kalo ada masalah bilang!" "Kalian yang kenapa. Dari tadi diem mulu. Ada apa sih?" Khanza menatap sengit Alif dan Chandra. "Udahlah Za, kalo mereka ga mau cerita jangan dipaksa," ujar Rain yang mencoba menengahi. "Bener tuh kata Rain," Alif menimpali. "Gue kayak gini kar…" Khanza menggantungkan kalimatnya saat melihat Chandra berdiri. "Kemana Chan?" tanya Alif "Ke perpus. Aku permisi ya. Jangan lupa makan ya Ra." Chandra berlalu meninggalkan ketiga temannya yang terlihat masih kebingungan. "Chandra kenapa sih Lif? Kayak beda gitu." Alif menjawab pertanyaan Khanza dengan gelengan kepala. "Belum juga makan tuh anak." Alif menatap punggung Chandra yang mulai menjauh. Secara tiba-tiba Rain pun berdiri. "Mau kemana Ra?" tanya Khanza. "Nyusul Chandra bentar," ucap Rain sembari berjalan meninggalkan Khanza dan Alif. Alif yang ingin berdiri dan menyusul Rain, langs