Dengan langkah pelan, Fani berjalan membawa tas kecil berisi bajunya dan menuju rumah Rain. Fani melihat ke arah Khanza dan Rain yang sedari tadi menunggunya. Wajah Khanza terlihat sumringah, memang sedari awal dialah yang sangat gembira dengan rencana ini. Sampai di rumah Rain, Fani diminta untuk menaruh tasnya di kamar Rain, lalu turun untuk makan bersama. Selama makan, Fani beberapa kali bercanda dengan keluarga Rain. Ia sudah bisa mulai beradaptasi di sana. *** Suasana di kamar Rain menjadi lebih hangat karena kedatangan Fani. Rain sedari tadi menatap Fani dan tersenyum karena mengetahui Fani yang sudah mulai beradaptasi dengannya dan juga keluarganya. Rain tau rasanya menjadi Fani, ia pernah merasa tidak nyaman berada di lingkungan baru. Sebenarnya Rain merasa tidak enak pada Fani karena Khanza memaksanya menginap. Setelah mengetahui Fani merasa nyaman sekarang, Rain pun lega. Dilihatnya gadis 15 tahun itu sedang menatap layar laptop dan terlihat fokus menonton. "Lo kenapa Ra?
Chandra segera berpamitan pada Bunda Rain setelah mengetahui Fani berangkat bersama Rain dan Khanza. Setelah keluar dari komplek, Chandra mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jalanan yang ramai tidak ia pedulikan. Chandra dengan mudah berkendara di sela-sela kendaraan yang berjalan lambat. Beberapa kali ia mendapat teguran dari pengendara lain, tapi Chandra tidak menghiraukannya dan terus memacu motornya lebih cepat. Chandra baru menurukan kecepatan motornya saat sudah hampir sampai ke sekolah. Ia berhenti dan mematikan mesin motornya, lalu menuntunnya melewati satpam yang sedang bertugas. Tak lupa Chandra tersenyum dan menyapa satpam itu. Setelah melewati pos satpam, Chandra baru mengendarai kembali motornya dan membawanya ke parkiran. "Chan!" Chandra yang baru saja memarkirkan motornya langsung menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat Alif dengan senyum khasnya berjalan menghampirinya. "Kenapa Lif?" "Mau bareng ke kelas?" tawar Alif. Chandra mengangguk. Ia dan Alif mu
"Kenapa?" Juan bingung dengan sikap Chandra yang tiba-tiba berubah. "Gue selalu ngerepotin kalian." Juan tersenyum "Lo ngomong apa sih Chan, lo udah kita anggap kayak keluarga sendiri." Chandra membalas senyum Juan, meski perkataan Juan makin membuat Chandra merasa bersalah. "Chan, lo ga mau makan kue buatan Bunda? Rain juga bantu buat nih." Khanza langsung menarik Chandra mendekat ke arah Bunda Rain. "Iya Chan, yang lain udah makan, tinggal kamu yang belum." Bunda Rain mengambil satu potong kue yang telah di taruh di piring kecil, lalu menyodorkannya pada Chandra. "Mau disuapin?" "Engga usah Tante." Chandra mengambil potongan kue itu dari Bunda Rain dan mulai memakannya. "Enak Chan?" "Enak banget Tante," jawab Chandra dengan penuh semangat. *** Chandra menatap bingkisan-bingkisan yang tersusun rapi di atas meja. Tangannya terulur mengambil satu bingkisan berwarna hitam dengan hiasan pita berwarna merah. "Lo masih mau jahat sama kak Rain Bang?" Chandra tak menjawab, ia hany
"Monyet belang!" Alif terlonjak kaget karena Khanza tiba-tiba menggebrak meja kantin. "Lo kenapa sih Za!" marah Alif. "Kalo ada masalah bilang!" "Kalian yang kenapa. Dari tadi diem mulu. Ada apa sih?" Khanza menatap sengit Alif dan Chandra. "Udahlah Za, kalo mereka ga mau cerita jangan dipaksa," ujar Rain yang mencoba menengahi. "Bener tuh kata Rain," Alif menimpali. "Gue kayak gini kar…" Khanza menggantungkan kalimatnya saat melihat Chandra berdiri. "Kemana Chan?" tanya Alif "Ke perpus. Aku permisi ya. Jangan lupa makan ya Ra." Chandra berlalu meninggalkan ketiga temannya yang terlihat masih kebingungan. "Chandra kenapa sih Lif? Kayak beda gitu." Alif menjawab pertanyaan Khanza dengan gelengan kepala. "Belum juga makan tuh anak." Alif menatap punggung Chandra yang mulai menjauh. Secara tiba-tiba Rain pun berdiri. "Mau kemana Ra?" tanya Khanza. "Nyusul Chandra bentar," ucap Rain sembari berjalan meninggalkan Khanza dan Alif. Alif yang ingin berdiri dan menyusul Rain, langs
"Gue sedih karena udah mau pulang." Khanza memasukkan beberapa barangnya ke koper kecil yang ia bawa ke rumah Rain. "Gue enggak." Ucapan Rain membuat Khanza menghentikan kegiatannya. "Tega emang lo Ra. Kalo lo Fan? Lo sedih gak kalo gue pergi." Kini Khanza menatap Fani yang sedari tadi hanya diam di sebelah Rain. Fani menggeleng. "Kan kita bisa ketemu lagi kak." "Anj*r lah kalian berdua." Khanza kembali mengemas barangnya. "Lo aja yang lebay Za." Khanza hanya berdecak. Ia menyelesaikan kegiatannya lalu menutup kopernya dan duduk di depan Rain dan Fani. "Eh, Fan, sebelum gue lupa, gue mau tanya. Itu tangan Chandra kenapa sih?" "Tangan?" "Iya, luka gitu kenapa?" Fani diam, ia mencari alasan yang tepat untuk diberikan pada Rain dan Khanza. Chandra sudah memperingatkannya agar tidak menceritakan kejadian semalam. "Emang Bang Chandra gak cerita?" Khanza menghelas nafas. "Kalo Chandra cerita, gak mungkin gue nanya sama lo, Fan. Tapi Alif bilang Chandra mukul kecoak, gak logis bang
Chandra membuka pintu kamar Fani sedikit. Ia melihat adiknya itu tertidur di meja belajarnya. Chandra langsung masuk lalu menggendong adiknya ke tempat tidur. Setelah menyelimuti Fani, ia mencium pucuk kepala gadis itu. "Gue pergi bentar ya, gak akan pulang pagi kok," ucapnya. Tak ada respon dari Fani. Chandra tersenyum menatap adiknya dan sekali lagi mencium pucuk kepalanya, kemudian Chandra berjalan keluar kamar Fani. Chandra melihat jam di pergelangan tangannya. "Baru jam sebelas." Dengan langkah santai ia berjalan menuju garasi. Kali ini ia kembali menggunakan motor yang sama dengan yang biasa dirinya pakai untuk mengantarkan Rain. Chandra malas mengeluarkan motornya yang lain, jadi ia memilih motor matic itu. Baru juga menaiki motornya, Chandra dikejutkan dengan suara dering ponselnya. Ia berdecak kemudian mengambil ponsel dari sakunya. Dahinya mengernyit saat mendapati sebuah nomor tidak dikenal yang meneleponnya. Tanpa pikir panjang Chandra mengangkat panggilan tersebut. "C
Chandra dengan perlahan menghisap rokok di tangannya. Setidaknya itu bisa membuatnya sedikit melupakan kejadian tadi pagi dan juga kebisingan yang dibuat para adik kelasnya saat di kantin tadi. Ia saat ini sedang berada di belakang gudang sekolah, tempat yang sangat jarang di datangi para siswa karena banyak yang menganggap tempat itu berpenunggu. Ini adalah kedua kalinya Chandra kemari, yang pertama adalah saat hari pertama ia pindah. Saat itu ia beralasan pergi ke perpus, Chandra malah berbelok ke tempat ini. Suasana sepi itu berubah ketika suara langkah kaki terdengar mendekati Chandra. Tubuh Chandra menegang, ia takut itu Rain. Bisa hancur rencana Chandra jika Rain mengetahui kelakuan Chandra yang sebenarnya. "Santai Chan, gue udah tau semuanya. Jadi gak perlu pura-pura lagi." Chandra langsung menoleh saat mendengar suara yang tidak asing baginya. Ia melihat Aksa sedang berjalan ke arahnya. Chandra membuang putung rokok di tangannya. Ia kemudian menginjak putung rokok itu untu
Fani bisa kembali tenang saat mendengar suara motor Chandra memasuki halaman rumahnya. Sejak tadi Fani memang khawatir karena Chandra belum juga pulang meski hari sudah malam. "Darimana kok baru pulang? Lo gak bareng Kak Rain, Bang?" Chandra yang baru masuk ke ruang tamu, langsung mendudukkan dirinya di kursi. Ia terlihat sangat lelah, hingga mengabaikan pertanyaan Fani. "Bang?" Chandra memejamkan matanya. "Bentar Fan." Fani akhirnya membiarkan Chandra. Ia berjalan ke dapur dan mengambilkan air untuk Chandra. "Nih." Fani menyerahkan segelas air pada Chandra. Chandra membuka matanya ia melihat segelas air yang dibawakan Fani. Tangannya terulur untuk mengambil gelas itu. Chandra segera meneguk segelas air di tangannya tanpa sisa. Chandra menaruh gelas kosong itu di meja dan kembali memejamkan matanya. Fani tetap membiarkan Chandra, ia memilih memainkan ponselnya. Sebuah pesan dari temannya membuat Fani mengernyit. "Lo ngapain bareng Mirza?" "Latihan basket," ucap Chandra tanpa me