Cucu yang Dibedakan
Part 1
*
“Kamu persis ibu ayahmu! Keras kepala!”
“Jangan tanya aku, kamu bukan cucuku.”
“Pergi, dan jangan memaksaku menjadi wali ketika ayahmu sendiri sudah lama tercoret dari KK ibu.”
Hinaan, kebenaran yang tak diakui, dan pengucilan dari keluargaku terus membayangi. Saat aku kembali melihat kampung ini, semua itu terasa begitu nyata. Kenangan buruk itu berputar slide demi slide meski tak ingin diingat.
Aku pernah mencoba untuk lupa atau melupakan, tapi kealamian memori tetap memaksa kenangan untuk keluar, terlebih saat melihat suasana dan orang-orang yang memberikan luka di kenangan itu.
Aku membuka kaca mobil saat memasuki perkampungan yang dulu pernah kutinggali. Menghirup udara segar yang begitu kurindukan, sangat berbeda dengan udara di kota Jakarta yang sesak dan penuh polusi bercampur dengan napas-napas para pembohong. Sesak sekali.
Mobil memasuki akses jalan rumah yang akan kutuju. Sekarang jalan perkampungan itu sudah diaspal, berbeda dengan dulu saat aku melewatinya setiap hari, jalannya masih berbatu. Sejak menikah beberapa tahun lalu, aku telah meninggalkan kampung halaman dan pindah ke Jakarta ikut suami. Banyak hal yang aku tinggalkan di kampung ini. Kenangan manis bersama ibu dan ayah. Kenangan pahit bersama saudara, juga nyinyiran untuk seorang gadis berusia lanjut yang saat itu belum menikah. Aku. Sekar.
Aku melirik ke kiri dan kanan, suasana kampung kelahiran masih terlihat sama. Hanya beberapa perbedaan yang tidak terlalu kentara. Persawahan yang sedang menghijau begitu indah, mungkin memberi perasaan was-was bagi semua petani. Tentang rintangan-rintangan sebelum panen, hama atau bahkan banjir seperti yang pernah terjadi. Mereka berlomba dengan hama dan tikus yang akan memenangkan hasil panen. Ah, mungkin saja saat ini berbeda. Kulihat di pinggir persawahan sudah ada parit perairan yang semakin mudah untuk petani mengaliri air. Pun, ini bukan sedang musim hujan.
Aku membelokkan mobil ke kanan, memasuki jalan kecil yang terlihat sudah dibeton. Setidaknya itu lebih baik daripada dulu. Jika semalam hujan, aku dan semua anak-anak harus melewati lumpur becek di jalan ini untuk sampai di sekolah.
Sedikit banyak ada perubahan di kampungku.
Mobil memasuki pekarangan rumah. Rumah nenek yang kutuju saat ini, salah satu hal dan kenangan berharga yang kutinggali beberapa waktu lalu. Aku memarkirkan mobil mewah warna putih milikku, mengunci pintu setelah keluar dari sana.
Beberapa orang tetangga melihatku dengan tatapan entah. Mungkin pangling karena sudah lama tidak bertemu. Aku tersenyum ramah pada beberapa ibu yang terlihat sedang mengangkat pakaian. Mereka bahkan memicingkan mata dari jarak agak jauh untuk memastikan yang barusan keluar dari mobil adalah aku, Sekar.
“Iya, ini Sekar, Bu.” Aku langsung meyakinkan mereka, agar tak terus menerus terlihat bingung.
Kulihat raut wajah mereka tampak terkejut. Aku hanya tersenyum ramah pada mereka. Mungkin di mata mereka, aku telah jauh berbeda dengan Sekar yang dulu.
“Wah, Sekar udah beda sekarang. Cantik. Cucu Nek Jumi memang sukses semua.” Ibu yang tinggal di sebelah kiri rumah nenek berkata. Disambut anggukan dan senyuman dari beberapa ibu lain yang melihatku.
“Alhamdulillah. Mari, Bu. Sekar masuk dulu.” Aku pamit dari hadapan mereka. Bukan tak ingin berbasa-basi, tapi hatiku saat ini benar-benar sedang tertuju pada nenek.
Mereka mengangguk, membalas senyum ramah seperti yang kulakukan. Aku terus berjalan melewati rumput liar yang tampak memanjang. Sampah dedaunan juga terlihat banyak seperti tak pernah disapu. Tentu tak ada lagi yang bisa melakukan pekerjaan itu di rumah ini, mengingat halaman rumah pun cukup luas untuk dibersihkan.
Sejenak aku berdiri menghadap rumah yang sudah terlihat rapuh itu. Mengumpulkan setiap kenangan yang kusimpan dalam benak. Tanpa sadar raut wajahku kadang tersenyum, lalu perlahan bibirku kembali tertutup rapat digantikan dengan nelangsa atas ukiran kenangan pahit yang pernah kulalui.
Aku menatap pohon jambu di depan rumah nenek. Ada kenangan tersendiri tentangnya. Kenangan yang membuatku tersenyum miris.
“Assalamu’ailaikum.” Aku memberi salam. Dari dalam tak terdengar jawaban, lalu sayup aku mendengar ada seseorang menyahut dalam suara yang begitu lirih.
Itu suara nenek. Aku memberi salam untuk memberi tanda bahwa aku datang menjenguknya. Aku datang setelah sekian lama meredam amarah dalam hatiku.
Hari telah beranjak senja, aku membuka pintu yang tak dikunci itu. Suara berderit terdengar dari setiap engsel yang telah berkarat itu. Wajar, karena rumah kayu itu usianya sudah separuh hidup nenek.
Kembali aku mematung di depan pintu. Kulihat tubuh ringkih itu begitu menyedihkan. Tertidur meringkuk menghadapku. Meringkuk seperti bayi yang meminta kehangatan. Perlahan air mataku menetes membasahi pipi. Jika dulu aku bertanya satu pertanyaan yang bagiku amat menyakitkan, kini aku bertanya tentang keadilan untuk seseorang yang terbaring lemah di sana.
'Di mana anak-anaknya?’
Aku membuang perasaan sedih itu jauh-jauh. Khawatir jika Nenek melihat aku menangis, ia akan ikut menangis dan menambah rasa sakit di tubuhnya. Ah, atau mungkin ia masih sama angkuh seperti dulu. Kuharap tidak.
Nenek mencoba mengangkat tangannya, melambai padaku seolah isyarat untuk segera masuk. Aku menurutinya, membaca aba-aba yang diberikan olehnya.
Aku benar-benar masuk ke dalam rumah. Kulihat suasana yang sangat berbeda di dalamnya. Dulu, saat aku bermain selalu akan disalahkan akan mengotori rumah, dan membuatnya berantakan. Katanya ia lelah membereskan mainan kami padahal saat itu, aku hanya melihat sepupuku bermain. Hanya menonton mereka, karena aku tak pernah mendapat jatah bermain.
Entah itu main boneka, bongkar pasang, main masak-masak, aku tak pernah mendapat giliran bermain. Hanya saja aku selalu mendapat kemarahan dan suara tinggi dari nenek yang mengomeli. Ya, karena setelah sepupu puas bermain, mereka akan meninggalkan mainan itu, dan menjadi giliranku. Namun, belum pun aku menyentuhnya, aku harus mendengar makian nenek yang mengeluh lelah.
“Sekar ...,”
Kudengar nenek memanggilku, lalu suaranya tenggelam oleh suara batuk yang sedikit lama baru reda. Aku mendekat, karena melihat nenek memegang dadanya. Suasana yang benar-benar berbeda. Dari setiap sudut terlihat banyak debu yang menempel, belum lagi sarang laba-laba yang menggantung di sudut rumah juga genteng. Piring plastik berserakan di samping ranjang sang nenek. Yang paling membuatku mual saat ini adalah bau apek khas keringat orangtua. Tak hanya itu, kulihat di lantai semen itu dahak bercampur darah yang telah mengering. Tak hanya di satu tempat, tapi hampir di sekeliling ranjang tua itu.
Aku menahan semua gejolak dalam perutku. Bagaimana pun, aku datang ke sini untuk merawat Nenek. Bukan ikut meninggalkannya seperti yang pamanku lakukan.
“Sekar ...,” panggilnya lagi setelah batuknya mereda.
Aku meletakkan semua kresek yang kubawa di atas meja yang penuh debu. Aku tak tahu sejak kapan rumah ini tidak dibersihkan. Sejak kapan nenek terbaring lemah seperti ini. Ah, cucu macam apa aku ini. Perasaan menyesal tiba-tiba menyusup dalam hatiku, tak terkira.
Aku terlalu mengikuti ego dan amarahku. Jika ibu dan ayah masih ada dan melihatku, mereka pasti kecewa padaku. Bahkan aku sendiri sedang kecewa pada diri sendiri.
‘Ibu harap tak akan ada rasa benci sedikit pun untuk nenekmu. Ibu enggak ridho kamu hidup dalam membenci.’
Ke mana telingaku saat ibu berpesan hari itu. Ke mana otakku hingga aku tak bisa berpikir akan kalimat itu.
“Iya, Nek. Sekar di sini.” Dalam linangan air mata, aku menggosok bagian dadanya. Sejenak berpaling demi melihat minyak apa yang mungkin biasa ia gunakan untuk menggosok. Tak ada minyak kayu putih atau apa pun yang kutemukan. Semakin yakin bahwa selama ini nenek hanya berjuang sendirian dengan penyakitnya.
“Nek, maaf. Sekar terlambat. Maafkan Sekar, Nek.” Aku menggenggam tangan keriput itu. Tangan yang pernah mencubitku karena Kalila jatuh dari sepeda dan ia menangis. Padahal jatuh dengan sendirinya, tak ada sebabnya denganku.
Aku mengucap istighfar dalam hati, berharap agar setan dan pikiran buruk itu benar-benar terhalau pergi. Aku ingin pikiranku damai. Berdamai dengan masa laluku.
“Maaf.” Nenek seperti kualahan mengatur napas untuk bicara. Aku mendengar ia berusaha untuk mengutarakan kalimat itu. Mungkin sebuah penyesalan yang ia balut dalam kata maaf.
Mendengar itu, hatiku benar-benar terenyuh. Segala rasa negatif yang sempat bersarang di dalam hati, hilang rasanya. Berganti dengan rasa sayang dan simpati untuk seorang perempuan lemah dan renta.
Nenek kembali terbatuk. Aku mengurut dadanya. Reda sesaat. Kulihat ia memejamkan mata, kupikir nenek tertidur, nyatanya tidak.
“Kamu masih sama, Sekar.” Nenek mencoba meraih kepalaku. Aku menunduk, tiba-tiba mataku basah. Untuk pertama kali ia membelai kepalaku begitu lembut.
Cucu yang DibedakanPart 2 * Aku membelai tangan keriputnya yang begitu lemah. Ia kembali ingin meraih wajahku, menghapus air mata yang mengalir di sana. Kulihat ia juga menangis. Aku mencoba meredam rasa haru dalam hati. Tangisan yang ditahan itu semakin sesak, aku tak mampu mencegahnya. Aku menangisi dengan tersedu-sedu, seolah luka masa lalu sudah menemukan obatnya hari ini. Beberapa menit kami tenggelam dalam rasa haru masing-masing. Lalu, aku menghapus sisa basah di wajah nenek.Aku bangkit dari ranjang tua itu. Melangkah ke meja di mana aku letakkan beberapa makanan, obat dan popok dewasa yang ia butuhkan. Menurut yang dikatakan Farah, Nenek sering pipis di tempat tidur. Kalau siang ingin buang air besar, jika merasa sedikit bertenaga, ia akan keluar, karena kamar mandi di rumah nenek ada di belakang rumah. Lumayan jauh jika dibandingkan dengan tenaganya sekarang. “Nenek sanggup mandi sekarang? Merasa sejuk? Atau Sekar lap aja pakai kain basah?” Aku menawarkan nenek untuk ma
Bab 3 * Namaku Sekar, saat itu usiaku masih sembilan tahun. Masih mengenyam pendidikan sekolah dasar di kelas empat. Aku merupakan anak tunggal dari orangtuaku. Sejak kecil tinggal bersama orangtua di rumah yang sangat sederhana, bagiku rumah itu sangat layak dan menjadi tempat teduh ternyaman. Mungkin bagi orang lain tidak. Sebuah rumah yang terbangun dari bahan kayu, lantainya masih beralaskan tanah. Hanya di kamar saja yang sudah disemen kasar, kamar ibu bersama ayah dan kamarku. Letaknya tak jauh dari rumah nenek, sekitar lima rumah selang dari rumah itu. Tanahnya tidak luas, hanya cukup untuk membangun rumah dan tersisa sedikit halaman di depannya. Berbeda dengan halaman rumah nenek yang cukup lebar. Kata ayah, tanah itu ia beli sendiri dari hasil sawah sejak ia masih muda. Kehidupanku sama seperti anak kecil lainnya. Sekolah di pagi hari, mengaji di siang hari dan bermain di sore hari. Malam adalah waktu bersama ibu dan ayah, karena saat siang hingga sore ayah dan ibu pergi
Part 4 * Aku terdiam cukup lama demi memikirkan apa saja kemungkinan yang baru saja terjadi. Kemungkinan nenek memang sengaja memberikan makanan basi, atau memang indera penciuman nenek yang sedang bermasalah, sehingga tidak bisa mengisi bau aneh dari rendang itu. Saat itu, aku memilih untuk berpikir positif bahwa nenek tak sengaja. Nenek hanya tidak teliti dalam memberikan makanan itu untukku. Namun, saat aku melihat lagi ke dalam plastik yang berisi rendang, beberapa belatung tampak saling muncul di dalam sana. Beberapa binatang kecil itu terpintal-pintal diantara daging. Aku bergidik ngeri dan geli, juga sedikit mual saat itu. Bahkan buluku merinding karena rasa geli. Aku segera membuang makanan itu serta plastiknya tak tersisa. Rasa laparku yang tadinya bersuara kini bilang entah ke mana. Siang itu, aku memilih untuk langsung pergi mengaji. Untuk makan sisa telur di bawah tudung saji pun aku sudah tak selera, rasanya belatung itu akan melompat-lompat di piringku. Seringnya, aku
Part 5 * Sisakan untuk Kalila dan Karina. Jujur, aku cemburu mendengar kalimat itu keluar dari mulut nenek. Ia terlalu spontanitas mengatakan bahwa dua cucunya itu terlalu spesial di hatinya. Dan, aku hanya cucu yang ada atau tidak keberadaannya sama sekali tak berpengaruh pada nenek. Beberapa menit setelah mengatakan itu, dari atas pohon kulihat Kalila dan Karina datang bersama ayah mereka. Keduanya menaiki motor yang mengkilat dibonceng sang ayah. Aku hapal nama motornya hingga kini. Ayah Kalila menaiki motor merek Honda Supra Fit. Sementara Aya Karina menggunakan motor Karisma. Melihat kedatangan saudara-saudaraku, Farah berlari pulang tanpa pamit pada nenek, juga padaku yang masih di atas pohon. Dari atas pohon kulihat nenek begitu gembira menyambut dua anak dan cucunya. Paman-pamanku mencium tangan nenek, diikuti Kalila dan Karina. Lalu, ada yang tiba-tiba sesak dalam hatiku. Sesak sekali dan sulit kujelaskan. Tanpa sadar, pipiku basah. Aku tak sengaja menangis. Bukan karena
Bab 6 * Itu masih sebagian yang kualami dalam hidupku. Tentang ketidakadilan, tentang pengucilan juga tentang menepi perlahan. Semuanya diringkas menjadi tentang seorang cucu yang dibedakan. Diperlakukan beda dari Kalila dan Karina. Pagi. Seperti biasa ibu dan ayah pergi ke sawah. Selesai satu sawah, mereka akan bergerak ke sawah lainnya. Ada dua petak sawah yang mereka kelola, setahuku itu milik nenek. Nenek memiliki beberapa sawah dan kebun, peninggalan kakek turun temurun alias warisan. Aku masih sedang menyiapkan diri, mengenakan seragam sekolah saat ibu dan ayah berpamitan. Setelah semua beres, aku pun berangkat ke sekolah. Sampai di depan rumah Farah, aku memanggilnya untuk pergi bersama. Farah juga terlihat sudah siap. Jika dilihat, penampilanku dengan Farah hampir sama. Sama buluknya. Ia mengenakan sepatu butut, tas yang sudah dijahit di bagian talinya. Sama sepertiku. Aku dan Farah berjalan kaki ke sekolah, jaraknya memang tidak terlalu jauh, tapi lumayan membuat kaki
Bab 7 * Setelah berbagai perbedaan yang kualami, aku masih saja menyukai nenek. Masih saja bermain bersama Kalila dan Karina. Karena bagiku saudara tetap saudara, keluarga tetap keluarga. Aku marah, aku kecewa, tapi hanya pada hari itu saja. Layaknya anak kecil yang terlalu polos untuk membenci, untuk menghakimi. Aku hanya bersikap seperti biasa. Meskipun jika dipikir, Kalila dan Karina masih saja suka membuliku. Masih saja suka mencari gara-gara dan menyalahkanku. Seperti saat istirahat di sekolah tadi pagi, anak-anak bermain melempar kertas ke sembarang arah. Kalila dan Karina ikut bersama mereka, melempar kertas dan bersorak dengan gembira. Entah ke mana semua guru, mungkin mereka tak bisa mendengar suara riuh kami, karena kelas lumayan jauh dari kantor guru. Tiba-tiba seorang anak lelaki datang padaku, menghampiri tempat dudukku. “Aku nggak suka ya, kamu nulis nama aku.” Anak lelaki itu berkata. Sementara aku menatapnya bingung. “Apa maksudnya?” tanyaku. Bocah lelaki bernama
Bab 8*Pagi ini aku terbangun agak malas-malasan, karena terdengar rintik hujan di atas atap sana. Aku kembali menarik selimut kumal untuk menutup tubuhku juga untuk menghangatkannya dari serangan dingin hujan di pagi hari.Aku kembali memejamkan mata seraya tubuh meringkuk membentuk angka empat. Ah, iya, aku ingat dulu ketika kelas satu saat belajar tentang angka. Bu guru selalu menyamakan angka empat dengan bentuk kursi atau bentuk orang meringkuk.“Kalau tidak bisa bayangin bentuk kursi, bayangin aja bentuk tubuh kalian kalau lagi meringkuk kedinginan pas hujan. Angka empat itu seperti itu bentuknya.” Bu Lastri menjelaskan.“Udin sering kan meringkuk narik selimut dan malas-malasan ke sekolah?” tanya Bu Lastri pada Udin yang gemar libur sekolah tanpa alasan. Sementara saat itu Udin hanya garuk-garuk kepala sambil nyengir karena semua murid melihat padanya.Kami semua tertawa dengan penjelasan Bu Lastri. Lucu saja angka empat disamakan dengan gaya tidur.Mengingat kejadian itu, aku
Bab 9*Musim hujan tak kujung berhenti di kampungku. Sudah seminggu berturut-turut kampung kami diguyur hujan. Warga mulai panik dengan tanaman dan padi di sawah. Padi baru saja ditanam bahkan belum kuat akarnya, biasanya jika hujan terus-menerus itu akan membuat siput-siput memakan batangnya. Itu sama saja musibah untuk petani desa.Petani dengan kekhawatiran sendiri. Ibu dan ayah dengan kekhawatiran mereka. Dan, aku dengan kekhawatiranku. Jika gagal panen kali ini, artinya tidak ada yang namanya ganti sepatu baru. Itu artinya aku harus memakai kembali sepatu koyak itu entah berapa lama.Awal Desember, akhirnya air sungai meluap di beberapa daerah. Sebagian kampung sudah ada kabar banjir datang menenggelamkan kampung. Kampungku belum terkena banjir, tapi air di sungai dekat rumah nenek sudah penuh terlihat mengalir ke permukaan sungai. Hujan masih belum reda.Ayah dan ibu sibuk memindahkan beberapa barang. Yang paling penting adalah padi yang masih tersisa dua karung lagi. Seharusny