Share

Bab 2. Kepanikan Melanda

Menjelang sore, atas perintah Amar Mea Malawi, dokter Adam Mizeaz memindahkan Mary Aram ke kediaman Amar Mea Malawi.

Dalam pengaruh obat tidur, Mary Aram tidak menyadari jika dirinya telah berpindah tempat. Ketika terbangun, ia sudah berada di sebuah ruangan kamar yang sangat luas dan harum. Ada seorang pelayan yang sedang sibuk memindahkan pakaian dan menatanya ke dalam lemari.

"Di mana aku?" Suara halus Mary Aram memecah kesunyian. Gadis itu bingung dengan suasana barunya, kepalanya masih pusing dan sekujur tubuhnya pun terasa kaku dan sakit.

"Anda sudah bangun Nona?" Sang pelayan tersenyum ramah meninggalkan pekerjaannya.

"Di mana aku?" Mary Aram berusaha untuk bangun.

"Anda berada di kediaman Mea Malawi. Mulai hari ini, Nona tinggal di rumah ini," pelayan itu mengambil segelas air, dengan penuh perhatian pelayan itu membantu Mary Aram minum.

"Tinggal di sini?" Mary Aram bingung mendengarnya, ia berusaha fokus di tengah rasa pusing yang melanda.

"Ya, kepala rumah tangga telah mengambil seluruh barang Anda dari asrama," pelayan itu menyuapkan sesendok madu ke mulut Mary Aram.

"Ini tidak baik! Aku seorang gadis, mana boleh tinggal di kediaman seorang pria yang tidak dikenal?" Mary Aram berusaha bangkit. Namun kondisi tubuhnya tidak mau diajak kompromi, dunia kembali berputar membuatnya tergeletak kembali ke tempat tidur.

"Anda sangat beruntung Nona! Dari sekian banyak gadis dan wanita yang ingin dekat dengan tuan muda, hanya Nona yang mendapat perhatian dari Tuan Muda Amar Mea Malawi," pelayan itu tersenyum membelai rambut Mary Aram.

"Beruntung apanya? Aku tidak mengenal tuan muda Amar Mea Malawi, dan aku tidak pernah ingin dekat dengannya," Mary Aram mendengus kesal.

"Akulah yang beruntung telah mendapatkanmu," tiba-tiba  Amar Mea Malawi telah berada di ambang pintu, tampak berwibawa meski mengenakan piyama dan mantel tidur. Pria itu melangkah masuk dan meletakkan surat kabar sore di atas meja.

"Terima kasih Patrice, kau boleh meninggalkan kami. Kami akan makan malam di kamar saja," Amar Mea Malawi membungkuk mengecup kening Mary Aram.

"Baik Tuan Muda Mea Malawi, Patrice akan kembali pukul tujuh," pelayan itu segera membereskan pekerjaannya, lalu keluar meninggalkan kamar.

Hati Mary Aram menjadi cemas mendapati dirinya hanya berdua di dalam kamar bersama seorang pria asing.

Jantung Mary Aram berdebar sangat kencang, meski pria di hadapannya sangat ramah, namun dirinya sangat takut. Dirinya tidak mengenal pria itu, dan tidaklah pantas berada di rumah seorang pria apalagi hanya berdua saja di dalam kamar.

"Bagaimana keadaanmu? Apakah sudah terasa nyaman?" Amar Mea Malawi naik ke atas tempat tidur. Sambil berbaring miring, dengan santai pria itu membelai anak rambut di kening Mary Aram.

Aroma maskulin pria itu justru membuat Mary Aram semakin takut. Gadis itu menghindari belaian tangan Amar Mea Malawi.

"Kembalikan aku ke asrama. Ini sangatlah tidak benar, pria dan wanita tanpa ikatan apapun berada di ruangan tertutup," Mary Aram memejamkan mata menyembunyikan rasa takut.

"Ini adalah hal yang benar, karena aku telah mendaftarkan pernikahan kita di balai pernikahan," Amar Mea Malawi berbisik sangat lembut.

"Mana bisa? Tanpa persetujuan dari aku, kau tidak bisa mendaftarkan pernikahan," Mary Aram membuka mata dan melotot menatap tajam mata Amar Mea Malawi.

Amar Mea Malawi tersenyum, jemari tangannya terus menjelajahi wajah cantik Mary Aram, "Tentu saja bisa, aku menemukan salinan surat-surat penting dalam kopermu dan aku menggunakannya untuk mendaftarkan pernikahan."

"Lancang! Berani sekali kau melangkahi otoritas ayahku!" Wajah Mary Aram semburat merah padam, ia sangat marah. "Aku telah memiliki tunangan, kau mencoreng wajah ayahku di hadapan calon besannya, serta masyarakat Muara Mua."

"Jika wajahmu semburat merah padam, dengan urat menegang pada leher. Tampaklah sangat mengesankan menggugah hasrat jiwa," telunjuk jari Amar Mea Malawi menelusuri leher Mary Aram, mengabaikan ucap protes gadis itu.

"Akhiri pertunanganmu! Kita akan segera menikah!" Tanpa banyak bicara, pria itu mengeluarkan sapu tangan putih dan sebotol kecil berisi aroma terapi beraroma bunga mawar dari saku mantel tidurnya.

Amar Mea Malawi menuang setetes aroma terapi pada saputangan dan menyentuhkan ke hidung Mary Aram. Dengan penuh kecemasan Mary Aram berusaha menahan tangis. Andai dirinya bisa leluasa bergerak, tentunya ia sudah menendang jauh tubuh Amar Mea Malawi.

"Aku mohon jangan!" Mary Aram berusaha untuk bergerak menghindar, "Ini tidak benar!"

"Ini benar! Karena aku sudah mendaftarkan pernikahan, dan besok adalah pengesahan pernikahan secara hukum adat dan negara," perlahan Amar Mea Malawi membuka satu persatu pita pengikat blouse Mary Aram, serta kain tenun gadis itu. Dalam sekejap gadis itu menjadi polos dalam keindahan.

"Jangan sentuh aku!" Mary Aram berusaha menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Kepanikan mulai melanda, dirinya terpaku tidak dapat bergerak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status