Bab 70 : Keputusan Roseline
Setelah setengah harian mengobrol bersama Lucy, Roseline dan Jena pun pamit untuk pulang seusai shalat Dzuhur. Namun, sang putri berniat mengunjungi Elisa sebelum kembali ke istana.
"Wah, aku rindu sekali dengan Elisa, Tuan Putri!" seru Jena senang.
Roseline mengulas senyuman. "Kita ke pasar dulu beli camilan dan buah untuknya. Dia 'kan sedang hamil, tentu dia senang dibawakan buah seperti waktu itu," ujar wanita cantik tersebut.
Jena mengangguk dengan bibir yang senantiasa tersenyum.
Rumah Elisa dan Steve berada di pinggiran kota. Melewati sedikit wilayah yang penuh dengan pepohonan. Hutan yang tidak begitu lebat. Bersama Nu'man, kusir baru keluarga, Roseline dan Jena menuju ke sana setelah mendapatkan camilan dan buah-buahan dari pasar.
Tengah hari itu langit begiu cerah. Perjalanan menuju rumah Elisa memang t
Bab 71 : Hurin?"Ini surat dari Putri Mahkota Andusia," ujar salah seorang utusan dari Kerajaan Haura.Sulthan Abdul Aziz memberi isyarat kepada Fakhrrurazi. Sang pejabat menteri pun mengambil surat itu kemudian membacanya. Betapa terkejutnya ia ketika membaca tulisan tangan sang istri.'Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.Aku memutuskan untuk tidak kembali kepada engkau, Suamiku ... Raja Negeri Haura mejanjikanku kesenangan. Lagi pula kau hanya pejabat menteri biasa. Aku pasti lebih bahagia menjadi permaisuri dari Raja Hamran.Maafkan aku mengecewakanmu. Katakan kepada Sulthan Abdul Aziz, tidak perlu repot lagi berperang. Aku sudah memutuskan untuk memilih Raja Hamran dibandingkan suamiku sendiri.Oh, iya, aku tunggu berita kau menalaqku, Tuan Fakhrurazi.TertandaRoseline'Seketika
Bab 72 : TerangFakhrurrazi bersama lima orang pengawalnya heran melihat perbatasan di lembah Sira. Tenda-tenda milik pejabat dan tentara Negara Konstin telah bersih. "Ke mana semua orang?" tanya pria itu. Matanya diedarkan ke sekeliling tempat itu."Mereka tidak mungkin pulang, Tuan! Kita tidak melihat mereka menuju jalan pulang." Salah seorang pengawal mendekati Fakhrrurazi. Mereka semua masih di atas tunggangannya masing-masing.Sang pejabat menteri mengangguk. "Kita menyebar dan berkumpul lagi di sini untuk melaporkan hasil penglihatan masing-masing sampai menjelang Dzuhur. Kau dan kau ke arah sana, kau juga kau ke sana. Aku dan dia ke sana!" perintah Fakhrurazi mengarahkan kelima prajuritnya."Baik, Tuan!" jawab para prajurit itu serentak.Sampai menjelang waktu Dzuhur, Fakhrurazi bersama seorang pengawal yang memeriksa arah barat, tidak mendapat tanda-tanda keberadaan orang
Bab 73 : Ekstra PartSetelah Hurin sembuh sepenuhnya, ia pun diboyong kembali ke Kesulthanan Konstin. Sampai di sana, wanita muda jelita itu disambut meriah oleh sang ibu, Zara Shaka Arb. Hurin sangat bahagia. Kini ia merasa sangat sempurna dengan keluarga yang lengkap.Selama hampir dua bulan Hurin mengalami nifas akibat kehilangan janin yang ternyata sudah berusia sebulan lebih. Selama itu juga ia mengonsumsi madu pilihan juga ramu-ramuan dari tabib istana untuk mengembalikan kesehatan dan kesuburannya. Sejak wanita jelita itu masuk Islam, inilah kali pertama dalam waktu yang lama ia tidak menjalankan ibadah shalat. Ia sangat rindu untuk melakukan itu.Inilah hari di mana ia telah selesai melewati masa nifas yang sampai empat puluh hari. Akhirnya kerinduannya untuk shalat terobati. Karena merasa bersih di waktu Isya, ia pun mengqada shalat magrib, dilakukan di waktu Isya. Setelah selesai shalat, wanita muda itu duduk d
Tersebutlah sebuah kerajaan Islam di masa dinasti Khalifah Haikal Harun, sebuah wilayah yang bernama Al Hajjaz yang dipimpin oleh seorang Sulthan yang bernama Abdullah Zain Fathany. Kerajaan itu hendak melebarkan kekuasaannya ke banyak negara agar tegak hukum Allah di seluruh dunia. Itulah perintah dari Sang Khalifah kepada setiap kerajaan yang telah berbai'at, yaitu agar menaklukkan setiap negeri kafir yang berada dekat dengan masing-masing kerajaan.Rasyad Najmudin adalah salah satu panglima perang di kerajaan Al Hajjaz. Walaupun ia seorang muhajirin dari Andusia dan usianya sangat muda—21 tahun—ia seorang yang tegas dan menguasai ilmu strategi perang yang jitu. Oleh karena itu, sejak dua tahun yang lalu ia didaulat oleh Sulthan Abdullah Zain Fathany sebagai panglima.***Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Kepada Raja Riwaz Arb yang menguasai negeri Konstin.Saya Abdullah Zain Fathany hendak menawark
Part 2 : Kematian Permaisuri KonstinKurebahkan tubuh ke peraduan menatap langit-langit kamar. Semilir angin dari jendela yang terbuka membelai wajah ini. Ah, sejuknya. Pikiranku seketika melayang."Allah ... seperti apa Tuhan-nya umat Islam itu?" Bibirku tanpa sadar bergumam."Putri!”Aku terlonjak kaget mendengar suara seorang anak kecil. Heh, rupanya si Razi—putra tunggal kakakku—. Aku pun duduk di pinggir ranjang menyambut pelukannya. Usianya baru enam tahun. Ibunya, sang permaisuri telah meninggal dunia ketika melahirkannya."Tuan Putri, aku tadi ke tempat Raja. Tapi, tidak dibolehkan masuk .... " Bibir kecilnya mengerucut, lucu sekali.Hehe, tentu saja kau dilarang masuk, Nak. Ayahmu sedang bersenang-senang dengan budak wanitanya."Razi mau apa ke tempat ayah?" tanyaku sembari mengelus rambutnya yang halus."Aku mau minta beliau lukiskan kuda.
Part 3 : Tewasnya Panglima PujaanSudah sebulan lebih sepekan sejak kedatangan kurir dari negeri Hajjaz. Para panglima lebih intens berlatih bersama pasukannya. Persiapan perang di bukit Magindu dilakukan tiga pekan lagi.Mereka akan berangkat, tidak semua ... sejumlah 20.000 pasukan yang diutus dengan beberapa panglima perang. Biasanya hanya belasan ribu orang saja yang dikerahkan, berhubung Al Hajjaz negeri yang terkenal besar, makanya disiapkan lebih. Masih ada lagi sekitar 15.000 pasukan yang tinggal untuk berjaga di sekitar istana. Kakakku berangkat belakangan bersama beberapa pasukan nanti.Perjalanan ke perbatasan negeri Konstin dengan Al Hajjaz di bukit Magindu memakan waktu sepuluh hari berjalan kaki. Sisa waktu sekitar dua hari tentu untuk mereka beristirahat dan membangun tenda di sana.Hari ini kami mengadakan upacara meminta keberkahan dari ruh-ruh nenek moyang. Kami menyembelih dua puluh ekor unt
Bab 4 : Akhir dari Kerajaan KonstinSambil berlari aku melihat di hadapan, Numa dan kedua orang tuanya telah menunggu. Mereka sudah siap dengan kereta kuda. Ada beberapa kereta yang juga siap pergi, isinya mayoritas anak-anak dan wanita terutama keluarga pejabat kerajaan. Aku mempercepat langkah ini. Kereta-kereta yang sudah siap, langsung pergi menjauh dari istana."Tuan Putri, cepaat!" seru Banu, ayah Numa setengah berteriak.Akhirnya aku dan Razi sampai juga masuk ke kereta tersebut. Numa dan ibunya pun menyusul masuk dengan beberapa pekerja wanita. Banu duduk di depan dengan kusir."Putri Zara dan Pangeran Razi, lekas ganti pakaian kalian," ujar Mina, ibunya Numa.Aku segera menanggalkan perhiasan juga pakaianku, menggantinya dengan pakaian sederhana yang sudah disiapkan. Hal ini agar musuh tidak mengenal siapa kami. Razi dibantu oleh Numa mengganti pakaiannya. Kereta k
Bab 5 : Selamat Datang di Kesultanan Al HajjazHari ini aku dan Razi untuk yang pertama kali melakukan perjalanan ke luar wilayah kekuasaan Konstin. Biasanya jika kerajaan kami berhasil menaklukkan suatu negeri, kami akan jalan-jalan ke sana dengan perasaan senang. Namun, kali ini kami meninggalkan istana dengan hati yang remuk redam. Akankah kami bisa kembali lagi ke tanah kelahiran kami atau tidak seperti biasanya? Entahlah ....Kami bukan lagi seorang bangsawan, kami hanyalah tawanan perang. Oh, alangkah takdir bagaikan roda yang berputar. Kali ini kami berada di bawah ... apakah dapat kembali ke atas? Sekali lagi, entah.Beberapa kali kami semua berhenti untuk mengistirahatkan orang-orang yang berjalan kaki. Entah berapa hari bisa sampai ke tujuan. Ke perbatasan di bukit Magindu saja butuh sepuluh hari. Sudah tengah hari, matahari begitu terik. Kami disuruh turun dari kereta, dan berteduh di bawah pepohonan di dekat sebuah sumur.&nb