"Infonya tadi nggak salah kan Rin?" tanya Cilla."Ya nggak lah. Yang ngasih tau tadi, Nisa sepupuku. Rumahnya dekat dengan rumah Pak Rahman," jelas Rindi. "Berarti, kasus selesai dong. Tersangka utama sudah meninggal. Berarti arwah Pak Rudi nggak akan ganggu kamu lagi Ya," kata Andri. Apa yang dibilang Andri ada benarnya juga. Berarti kami nggak perlu repot lagi, untuk membuktikan kalau Pak Rahman adalah penyebab kebakaran yang menghilangkan nyawa Pak Rudi. Juga menjadi dalang dari kematian anak Pak Rudi. Orangnya juga sudah meninggal. Semoga saja arwah Pak Rudi bisa tenang.Tapi aku merasa ada yang janggal. Baru tadi pagi, anak Pak Rahman meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Sekarang, Pak Rahman sendiri yang meninggal karena jatuh dari atas balkon. "Apa … ada kaitannya sama Pak Rudi?" gumamku."Hah, apa Ya?" tanya Meti."Eh, ng–gak." Aku jadi tergagap."Udah deh Ya, jangan ada lagi rahasia antara kita. Aku denger kok, apa yang kamu bilang tadi," kata Raya. Aku mau bilang
"Aku nggak tau, tapi aku merasa merinding sejak tadi," katanya. Wajah Meti memang tampak takut.Mataku menjadi liar, mencari sosok tak kasat mata di sekitar sini. Saat menatap ke atas balkon rumah Pak Rahman, aku terpaku melihat sosok hantu gosong di sana. Dia juga menatap ke arahku. Cepat aku buang pandanganku. Dag dig dug, jantungku berdetak dengan sangat kencang. Sosok itu tampak sangat menyeramkan. Aku sangat terkejut, tiba-tiba hantu itu sudah ada di hadapanku. Lidahku terasa kelu. Keringat dingin terasa mulai membasahi wajahku. Telapak tanganku hingga berkeringat jadinya. Aku melirik dengan ekor mataku, kulihat Kak Siska tampak mematung di tempatnya. Begitupun dengan teman-temanku. Ingin rasanya memanggil mereka, tapi lidahku terasa kelu. Waktu seakan berhenti berputar, persis seperti di depan ruangan laboratorium waktu itu. Hantu gosong itu semakin mendekat padaku. Ingin rasanya aku lari dari sini, tapi seluruh anggota tubuhku sangat sulit untuk digerakkan. Hantu gosong it
"Berani kau!" gertak anak Pak Rahman.Matanya nyalang menatap anak Pak Rudi. Aku lihat, diam-diam anak perempuan yang hampir dilecehkan tadi diam-diam berjalan ke arah pintu. Dia memanfaatkan situasi, disaat anak Pak Rahman dan teman-temannya lengah karena fokus pada anak Pak Rudi.Saat dia sudah dekat ke pintu, cepat dia berlari, sambil menarik tangan anak Pak Rudi. Berdua mereka berlari sambil bergandengan tangan. Anak Pak Rahman dan teman-temannya reflek mengejar mereka. Aku juga ikut berlari mengikuti, ingin tau apa yang terjadi selanjutnya. Anak Pak Rahman, berlari lebih kencang dari teman-temannya. Dia berhasil menggapai tas anak Pak Rudi. Anak Pak Rudi berusaha melepaskan tasnya, tapi terlambat. Anak Pak Rahman cepat mencekal tangannya. Adrenalinku benar-benar terpacu melihat adegan itu. Adegan tarik menarik antara anak Pak Rahman dan teman anak Pak Rudi yang bernama Wina terjadi. Wina berusaha menarik tangan anak Pak Rudi dari anak Pak Rahman.Teman-teman anak Pak Rahman, de
Wina tak menjawab. Namun terpaksa menurut juga. Dia hanya anak orang susah. Dia tak mau orang tuanya bertambah susah karena masalah ini. Sebenarnya Wina anak yang berani, sebab itu dia berani melaporkan anak Pak Rahman yang sudah membully Yanto. Yanto salah satu murid yang berprestasi, sehingga selalu saja bisa mendapatkan beasiswa karena prestasinya. Anak Pak Rahman sangat membenci Yanto, karena guru-guru di sekolah, selalu memuji dan menjadikan Yanto contoh teladan buat murid lainnya. Namun situasinya sekarang, dia sedang terpojok. Mau tak mau dia harus menuruti anak Pak Rahman. Wina terus saja menangis, sambil membereskan ruangan kelas yang berantakan. Aku mengikuti anak Pak Rahman, mau diapakan jenazah anak Pak Rudi? Kulihat mereka menggotong anak Pak Rudi keluar gerbang sekolah, setelah sebelumnya, temannya yang berkulit hitam mengawasi sekitar. Kebetulan jalanan di depan sekolah sangat lengang. Tak ada satupun kendaraan yang lewat. Di seberang sekolah masih lahan kosong. Sem
Ayah mengajakku pulang bersamanya setelah jenazah Pak Rahman dimakamkan. Apa sebaiknya aku ceritakan sama Ayah aja ya, tentang penglihatanku? Tapi … nanti Ayah pasti akan menutup mata batinku. Yang kulihat adalah sebuah kasus kejahatan. Mana mungkin hanya aku and the genk yang mengungkap. Mana ada yang percaya sama aku. Apalagi pelakunya juga sudah mati. "Kok melamun? Lagi mikirin apa?" tegur Ayah. Sebaiknya aku cerita aja lah sama Ayah. Tak tenang juga kalau terus dihantui begini. "Yah." "Hmm." Ayah tetap fokus pada jalanan. "Em …." Duh, beratnya lidah ini mau bicara. "Apa sih? Bikin penasaran," tanya Ayah. "Tapi Ayah janji, jangan marah sama Haya." Dahi Ayah mengkerut mendengar yang kukatakan. "Kenapa harus marah? Kamu bikin salah di sekolah?" "Nggak," jawabku seraya menggeleng."Terus?" "Yah, dulu ada kejadian di sekolah Haya–" "Kejadian apa?" "Jangan potong dulu dong." Kesel, Ayah belum apa-apa udah motong kata-kataku."Ok ok," kata Ayah sambil membentuk garis pada bi
[Aku ikut] balas Rindi.[Cilla mana nih? Jangan ngintip aja] komen Meti. Aku mulai memikirkan permintaan Ayah. Kayaknya nggak salah juga sih, masuk pesantren. Tapi, aku mau request di pesantren mana aku mau belajar. [Aku bilang ayahku dulu ya. Nanti aku kasih tau kalian semua] Setelah mengirim komentar, aku tinggalkan hapeku di atas tempat tidur, lalu gegas turun ke kamar Ayah. Tok tok tokKu ketuk pintu kamar Ayah sambil memanggil Ayah. "Yah." "Ya." Mendengar Ayah menyahut. Aku membuka pintu kamar Ayah perlahan. Aku melihat Ayah sedang berdiri di dekat jendela. Entah apa yang dilihatnya di luar sana. "Yah, Ayah marah sama Cahaya?" tanyaku hati-hati. Ada rasa bersalah sih, udah buat Ayah jadi sedih. "Nggak," jawab Ayah. "Yah. Haya mau masuk pesantren." Ayah langsung melihat wajahku ketika kubilang kalau aku mau masuk pesantren. Mungkin nggak percaya juga sih. Soalnya, tadi kan aku jelas menolak dengan sangat tegas."Kamu beneran mau?" tanya Ayah untuk benar-benar memastikan.
POV Cahaya"Cahaya nggak mau pindah!" "Cahaya … jangan begitu toh Ndok. Itu mobilnya udah jemput.""Nggak mau!" Aku tetap bertahan, tak mau beranjak dari kamarku. Aku sedih banget, hari ini Ayah mengajak kami semua pindah ke rumah baru. Nek Wid sejak tadi berusaha membujukku. Aku beneran nggak mau pindah hiks.Di rumah ini, aku bisa ngerasain kehadiran Bunda. Aku bisa merasakan sentuhannya yang selalu membelai rambutku saat aku tidur. Walaupun aku tidak pernah bertemu dengan Bunda semasa dia masih hidup."Sayang, ayo dong. Nanti kita terlalu sore sampai di rumah baru." Kali ini Ayah yang mencoba membujukku.Ayah mencoba mengambil album foto yang ada di pelukanku. Aku mengelak, kupunggungi Ayah dengan wajah cemberut. Album ini berisi foto-foto Bunda, hanya dengan melihat album ini aku bisa mengenali Bunda. "Sayang." Ayah meraih kepalaku ke dadanya. Aku tak sanggup untuk tak menangis di dada Ayah. "Yah, kenapa sih kita harus pindah." "Hmm, kita butuh suasana baru, Sayang." Aku tau
POV Cahaya"Bocah ini, bikin kaget aja!" sungut Nek Wiyah yang ternyata memegang pundakku."Nenek tuh yang buat kaget." "Iya, maaf. Tadi nenek mau manggil Haya. Takut Haya kaget makanya megang pundaknya dulu, eh malah tambah kaget hehe." "Nek, kamar ini kok dikunci sih? Haya mau lihat, kali aja dalamnya lebih bagus.""Nenek juga nggak tau. Coba minta sama Ayahmu kuncinya.""Males ah, turun ke bawah lagi." "Ya sudah kalau males. Tuh, susun baju Haya sendiri." Nek Wiyah malah melenggang pergi meninggalkan aku dengan sebuah koper besar yang berisi semua bajuku."Nek, bantuin.""Males." Aku kalah telak. Nek Wiyah membalikkan kata-kataku. Yaaa, mau gimana lagi. Penasaran, tapi lebih gedean malesnya. Nanti saja nunggu Ayah naik, baru minta kunci kamar ini. Aku mau beresin bajuku dulu. Susah payah kuseret koper itu masuk ke dalam kamarku. Kususun dulu semua bajuku di atas tempat tidur. Kupisah antara baju rumah, baju sekolah, baju main juga baju buat pergi ke acara resmi. Sudah beres, n