Share

Makan Bersama

Semesta menyimpan banyak hal yang misterius yang belum terungkap. Tentang takdir yang kerap kali mempermainkan manusia, pertemuan yang tidak sengaja lalu perpisahan secara tiba-tiba. Semua itu sudah diatur dan ditakar oleh sang pencipta.

Hal itu juga berlaku bagi mimpi, khususnya untuk Yara. Kemampuan yang dimilikinya masih misterius, tujuan lain karena sejauh artikel yang dicari diinternet, tak ada satupun forum yang membahas mengenai kemampuan yang dimilikinya. Dari situ Yara menarik kesimpulan, bahwa hanya dirinya yang memiliki kemampuan seperti ini.

Sudah kali ketiga Yara memimpikan hal serupa. Tentang sosok misterius yang menghampiri secara tiba-tiba tanpa mengetahui identitasnya dimimpi. Gambaran wajahnya yang legam, perlahan terlihat jelas. Wajah yang terasa familier.

"Yara, sudah siap?" Mama memerhatikan penampilannya melalui cermin.

"Sudah, Ma."

Hari wekeend ini, mereka sepakat untuk makan bersama di Kafe untuk merayakan peringkat yang berhasil Yara capai. Sejujurnya, ini pertama kali Yara mendapat peringkat enam melawan berbagai murid terbaik dari sekolah lain. Di sekolah dasarnya dulu, Yara selalu mendapat masuk peringkat sepuluh besar, tetapi tidak mencapai peringkat lima ke atas.

Selama perjalanan Yara menyetel musik, lantas melihat berbagai pedagang kaki lina yang berjajar rapi. Mulai dari toko pakaian, kedai roti, sembako, hingga alas kaki. Namun, satu yang paling mencolok dari semua toko; sepi pengunjung.

"Ma, kenapa toko yang di sana sepi?" tanya Yara.

Padahal letak geografisnya sangat strategis. Biasanya toko atau bangunan apapun yang didirikan akan selalu ramai akan pembeli.

"Mungkin karena hari weekend, Sayang. Biasanya kalau weekend itu dalam suatu keluarga mengambil kesempatan emas dengan berlibur ke tempat wisata," jawab Mama.

"Andai papa masih ada, ya, Ma. Kita pasti berlibur ke pa–villa atau kebun binatang, pasti seru."

Yara berandai-andi jika sang papa masih berada disisinya. Dirinya pasti akan digendong, lalu papa akan berlarian hingga keduanya larut dalam kebahagiaan.

Mama melirik Yara sebentar, tak tega melihat raut wajah anak semata wayangnya sedih. "Kita masih bisa liburan, kok. Memangnya kamu mau kemana?"

"Gak usah, Ma, menghabiskan waktu dengan makan bersama saja aku sudah senang," tolaknya.

Anak manapun pasti akan merasa senang jika mendapat tawaran untuk berlibur bersama keluarganya karena mungkin itu adalah kesempatan yang bahkan dibilang sulit bagi anak yang memiliki orang tua super sibuk. Namun, Yara berpikir jika dirinya mengajak mamanya untuk berlibur ke suatu tempat, esoknya pasti akan kelelahan karena mama hanya mendapat libur satu hari.

Selepas kepergian Papa, Mama selalu sibuk dengan pekerjaan. Berangkat pagi, lalu pulang malam, bahkan seringnya ketika Yara sudah terpejam dan larut dalam mimpi. Yara tak ingin merepotkannya.

Mama hanya berdekhem. Dalam pikirannya, dia ingin membahagiakan anak semata wayang agar tidak larut dalam kesedihan akibat kepergian papanya. Siapapun pasti akan merasa sedih ketika menyaksikan bagaimana orang terdekat atau kesayangan merenggut nyawa tepat dihadapannya.

Apalagi kala itu Yara masih kecil, kenangan itu mungkin masih membekas dalam ingatannya. Mata yang menyaksikan satu persatu adegan, lalu terekam jelas dalam ingatan seperti tengah menonton televisi. Jika ingatan memiliki sistem reset, maka mamanya sudah pasti memilih untuk mereset ingatan anaknya agar tidak terus-menerus memikirkan dan menyalahkan dirinya.

"Yara, didunia ini gak ada yang abadi. Semua akan meninggalkan kita pada waktunya, bahkan ada orang yang tiba-tiba pergi tanpa mengucapkan kata perpisahan."

Yara menggigit bibir bawah, memilin jemarinya. "K-kalau aku bilang bisa mengetahuinya, mama percaya?"

Gesekan antara ban mobil dan jalan terjadi tiba-tiba. Mama yang kesal dengan pertanyaan Yara menginjak rem mendadak, kemudian menatap anaknya yang tengah menunduk.

"Yara, berhenti! Mama gak suka kamu bilang hal yang gak masuk akal seperti tadi," bentak mama, Yara terkejut. Ia menundukkan kepalanya semakin dalam. Mama yang menyadari apa yang barusan dilakukan, langsung membuang muka dan kembali menyetir. "Dengarkan dan ingat apa kata mama, yang terjadi pada papa adalah takdir, kamu gak usah menyalahkan dirimu sendiri."

Dunia modern, dimana hanya ada teknologi canggih yang menguasai. Yara memahami pikiran mama, karena didunia ini tidak ada sihir. Siapapun yang mendengar ceritanya, pasti akan bertingkah seperti mama tadi. Yara membuang napas kasar.

Keheningan panjang didalam mobil mendominasi hanya ada alunan musik yang mengalun merdu. Keduanya bungkam, tak ada seorang pun yang ingin memulai atau mencari topik pembicaraan.

Yara melihat keluar jendela untuk menenangkan hati dan pikirannya yang kalut. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa mama akan membentak hanya karena pertanyaan yang ditanyakannya tadi. Dalam jarak yang jauh, dirinya mengangkap sosok yang terasa familier.

Ketika jarak semakin sempit, Yara dapat melihat jelas sosok lelaki yang kemarin seruangan dengannya. Namun, dia sama sekali tidak mengira bahwa dirinya tengah bersama dengan seorang gadis. Diperhatikan dari manapun, gadis itu sedikit lebih muda.

Menyadari mama menepikan mobil tepat dihadapan lelaki tersebut, Yara tersentak lantas menatap mamanya dengan polos. "Eh, kok berhenti, Ma?"

"Kan udah sampai, makanya mama berhenti."

"Emang disini ada Kafe apa, Ma? Setahuku dulu disini gak ada yang namanya Kafe atau Restoran, deh."

"Karena ini Kafe baru selesai dibangun kemarin, Nak." Mama melepas sealtbeth, kemudian membuka pintu. "Kamu gak mau nyobain makanan di Kafe baru? Mama dengar, makanan disini enak-enak, lho."

Dengan semangat penuh Yara membuka pintu, menyusul mamanya yang sudah lebih dahulu masuk. Ketika dirinya melewati lelaki misterius, Yara hanya melirik sebelum dirinya berlari kencang. Sementara itu gadis kecil yang bersama dengan lelaki menatap Yara yang tengah membuka pintu Kafe dengan aneh.

"Itu orang kenapa, sih, Kak? Gak jelas banget," celetuknya, lalu menatap Kakaknya.

Sang gadis menyipitkan mata, merasa curiga dengan sikap Kakaknya yang tiba-tiba membuat ekspresi yang tidak pernah dilihat, bahkan ketika bersama keluarga sekalipun. Dia merebut kantung plastik yang ada digenggaman secara paksa agar sosok dihadapannya segera membuang muka dan hanya memperhatikan dirinya. Namun, tidak berhasil.

"Kak Athur kenapa, sih?!" Gadis itu menarik paksa lengan Athur untuk segera menaiki motor. "Kak, oma sudah nunggu di rumah."

Lelaki bernama Athur itu hanya menggarukkan kepala, sebelum dirinya melaju dengan pesat. Selama dalam perjalanan pikiran lain Athur terus berjalan mengenai sesuatu yang mungkin saja hanya semesta yang mengetahui alasan dibalik semua kejadian dan mengapa dirinya berada di dunia yang sama sekali tidak disangka.

Sementara di dalam Kafe, Yara yang mengambil posisi duduk menghadap jendela melihat semuanya. Namun, ia tidak ambil pusing dan segera melahap makanannya dengan nyaman tanpa perlu merasa risih akan tatapan seseorang.

Dirinya terkejut ketika berbagai rasa mengecap dengan sempurna. "Enak, Ma!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status