Tanpa menunggu lama, Edo buru-buru mengikuti langkah Vina. Menyusuri lorong hotel yang sepi. Setelah dirasa aman, Edo mendekat, dan menarik tubuh Vina sekuat tenaga. "Mm! Mm!" Vina berusaha melepaskan tangan asing, yang tiba-tiba membekap mulutnya. Kebaya dipadu kain batik yang dia kenakan, membatasi geraknya. Hingga kesulitan melawan orang entah siapa, yang punya maksud buruk padanya ini. "Mm! Mm!" Vina terus berusaha memberontak, meski tak yakin berhasil. Dia memukul, menendang, menggigit. Apapun yang bisa dia lakukan, dia lakukan saat ini demi bisa menyelamatkan diri. Tapi tenaga orang yang menyerangnya ini sangat kuat. Dari tangannya yang kekar, membuat Vina mengambil kesimpulan bahwa ini adalah laki-laki. Tapi siapa? Dia merasa tak punya musuh. Vina berharap ada orang yang lewat, dan mau menolongnya. Tapi nampaknya harapannya hanya kosong belaka, lorong itu tetap sepi sampai akhirnya sosok misterius itu berhasil menyeretnya masuk ke sebuah kamar. "Auw!" Vina menjerit, ketik
Rangga mulai gelisah, pikirannya tidak tenang. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa tidak enak. Rasa bersalah menggelayuti, karena membiarkan istrinya kembali ke kamar sendiri. Seharusnya, dia mengantar Vina dan memastikan wanita pujaannya Istrinya sampai di kamar dengan selamat. Bukannya membiarkan Vina pergi sendiri, bagaimana kalau Vina butuh bantuan, atau terjadi sesuatu dengan dia? 'Kenapa aku jadi lebay begini, sih? Ini hotel bintang lima, yang keamanannya terjaga. Yakin Vina baik-baik saja sampai kamar' gumam Rangga menghibur diri. 'Tapi Vina sedang hamil, harusnya aku selalu menjaga dia. Bukan malah mementingkan tamu," sanggah sisi hati Rangga yang lain. "Bro! Kamu kayak nggak tenang gitu. Kenapa?" Aditya, sahabat sekaligus rekan bisnis Rangga, menepuk calon bapak itu. "Eh, nggak papa, Men. Lagi kepikiran bini aja. Tadi dia ngeluh nggak enak badan, minta balik ke kamar," jelas Rangga. "Udah, susul sono! Daripada Lu kepikiran terus!" Rangga nampak berfikir sejenak. Sebagai
Rangga tak sanggup menahan air matanya, melihat orang yang dia cintai tergolek tak sadarkan di atas ranjang, dengan pakaian compang-camping. Bahkan nyaris telanjang. Tanpa perlu dijelaskan, siapapun tahu apa yang baru saja Vina alami. Kondisinya menjelaskan semua itu. Buru-buru dia menghambur ke arah ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuh yang selama ini begitu dia puja itu. Kemudian dipeluk nya tubuh lemas itu, dengan berurai air mata. "Maafkan aku, Sayang." Suara Rangga begitu hingga nyaris tak terdengar. Rangga tak bisa berkata apa-apalagi. Baru semalam mereka berdua begitu bahagia, mengetahui akan segera dikaruniai buah hati. Banyak rencana masa depan yang sudah dia rancang dengan sang istri, setelah anak mereka lahir nanti. Namun kenyataan berkata lain, Vina kembali mengalami pelecehan seks*al. Hal yang membuat Rangga merasa berdosa sekali, karena tak bisa menjaga Vina, hingga mendapat perlakuan seperti ini. 'Tuhan.... Apa salah kami, hingga harus mendapat takdir seper
"Ceritanya panjang. Nanti aku bakal jelasin semua. Sekarang aku minta tolong sama kamu, agar merahasiakan masalah ini dari Ibu. Bisa?" "Oke, oke. Mas Rangga tidak usah menghawatirkan itu, tapi Vina di rumah sakit mana?""Keluarga pasien atas nama Nyonya Vina!" Obrolan Erlita dan Rangga terjeda oleh suara petugas rumah sakit yang memanggil. "Sorry, Ta. Aku ke dalam dulu.""Jangan ditutup dulu, Mas! Vina di rumah sakit mana?" kejar Erlita yang pertayaannya belum dijawab Rangga. "Husada!" Usai berkata Rangga menutup panggilan, dan mengikuti perawat yang tadi memanggil dirinya. * * * * * * * "Apa hubungan Bapak dengan pasien?" tanya sang dokter dengan wajah penuh selidik. Masalahnya ini informasi yang sangat pribadi bagi pasien, jadi dokter harus memastikan hanya orang terdekat pasien yang tahu. "Saya suaminya, Dokter." Wanita cantik itu mengangguk. "Begini, Pak. Pasien sepertinya baru saja mengalami kekerasan seksual. Ini diagnosa sementara saya. Untuk pastinya kami masih menunggu
INFERTIL 1"Kenapa berhenti, Mas?" Vina menatap kecewa lelaki yang baru beberapa jam lalu menjabat tangan penghulu, untuk mengucap ijab kabul menghalalkan dirinya. Bagaimana tak kecewa, mereka baru saja hendak mendaki bersama indahnya nirwana, tiba-tiba Abra menghentikan aksinya. Padahal Vina sudah terlanjur 'terbakar', dan berharap bisa mengarungi indahnya cinta berdua. "Maaf Vin, aku nggak bisa malam ini. Kamu tidur aja dulu, ya?" lirih Abra, tanpa menatap Vina. Lelaki itu hanya menunduk, lalu buru-buru turun dari ranjang menuju kamar mandi. Meninggalkan Vina dengan banyak pertanyaan. 'Apa aku bau?' tanyanya dalam hati, karena Abra berhenti saat akan menyentuh bibirnya. Vina meniup nafas ke telapak tangannya, berusaha mencium bau nafasnya sendiri. Aroma mint tercium, karena sebelumnya Vina sudah gosok gigi dan berkumur dengan mouth wash. 'Apa aku tidak cantik, hingga Mas Abra tidak berselera padaku?' tanyanya lagi. Tapi mana mungkin? Semua orang mengaku
INFERTIL 2Vina turun ke ruang makan, setelah usai membersihkan diri dan berdandan sewajarnya. Mertuanya ini orang berada punya banyak ART, jadi Vina tak perlu bangun pagi untuk bantu-bantu di dapur. Kalau Abra nggak kaya, mana mungkin mamanya memaksa Vina menerima pinangan pria 32 tahun itu. Untung ganteng, jadi Vina nggak merasa terpaksa, seneng malah. "Hai sayang ... Gimana, nyenyak tidurnya?" sapa Maya, mama mertua Vina. "Iya Ma, nyenyak banget, sampai kesiangan bangunnya," jawab Vina tak bersemangat. Maya menatap Vina heran. "Kok lesu gitu, Vin? Kecapekan ya semalam?" Maya mengangkat dua alisnya, menggoda menantu barunya itu. "Mama apaan sih? Belum Ma, segelnya masih utuh." Maya terlihat menghela nafas mendengar jawaban Vina. "Hah? Jadi kalian belum .... " Maya menautkan kedua jarinya, yang dibalas anggukan oleh Vina. "Mungkin Abra kecapekan, Vin. Tapi mama yakin malam ini dia bakal bikin kamu minta ampun," ujar Maya antusias. 'Benar juga kata Mama, mungkin aku harus sabar
INFERTIL 3"Nggak bisa, Ton. Tulangku rasanya hilang, kayak nggak ada tenaga. Lemes banget, sumpah!" ucap Abra frustasi. "Kamu terlalu tegang mungkin, Bra. Coba deh kamu itu santai, rileks, dan nikmati saja momennya," jawab Antoni bijak. "Sudah Ton, aku sudah berusaha semampuku. Tapi tubuhku terasa tak berdaya saat aku mau memulainya, aku langsung down." Abra meraup kasar mukanya berkali-kali, mengingat kejadian semalam, dimana dia gagal menyentuh Vina. "Kamu terlalu banyak mikir kali, Bra. coba kamu fokus sama istrimu. Masa istri secantik itu, masih muda, seksi lagi, nggak membuat kamu nafsu?" ujar Antoni dengan wajah setengah menggoda. "Nggak tahu, Ton. Aku sendiri bingung, kenapa bisa begitu? Padahal aku bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan istriku, kenapa sekarang aku nggak bisa nafsu? Padahal dia terlihat sudah siap semalam, tapi aku malah mengecewakannya. Aku jadi merasa berdosa padanya," ucap Abra frustasi. Berkali-kali dia meremas rambutnya sendiri. "Kamu sudah
INFERTIL 4Vina mondar-mandir di dalam kamar, berkali-berkali dia melongokkan kepala ke jendela, melihat ke arah gerbang masuk. Berharap melihat suaminya pulang, tapi hingga hari hampir gelap, laki-laki yang menghalalkannya sehari yang lalu itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. "Kemana, sih?" gerutu Vina, masih mondar-mandir dari sebelah ranjang menuju jendela, begitu terus berulang-ulang. "Huh!" Vina kembali mendengkus kesal, melongokkan lagi kepalanya keluar jendela, tapi apa yang diharapkan tidak dia jumpai. Padahal sebentar lagi azan maghrib berkumandang, tapi tak ada tanda-tanda Abra akan pulang. "Katanya hanya sebentar, ini sudah seharian, kok nggak pulang-pulang? Masa iya Mas Abra sudah masuk kerja, sih? Tapi tadi Mama bilang ada urusan sama teman? Duh, jangan-jangan dia ketemu selingkuhannya?" Pikiran Vina mulai dipenuhi prasangka-prasangka buruk tentang suaminya. Vina menghempaskan tubuhnya ke ranjang, duduk di pinggir sambil melipat tangan di depan dada. Vina hen