"Bagaimana perjalanannya, menyenangkan?" tanya Maya dengan wajah semringah, menyambut kepulangan anak dan menantunya. Dalam benak Maya, menghabiskan waktu berdua untuk berbulan madu pastilah menyenangkan. Tak lama lagi dia akan segera mendapat cucu, tapi sayang yang terjadi justru sebaliknya. Bulan madu itu tak pernah terjadi, Abra dan Vina hanya jalan-jalan, plesiran. Tak ada momen romantis, yang ada justru Vina syok karena tahu Abra punya kekurangan. "Kami capek banget, Ma. Ceritanya nanti saja, ya? Kami mau langsung istirahat," jawab Vina tak bersemangat. "Iya, iya. Kalian langsung ke kamar aja!" balas Maya, dia tersenyum penuh arti. Dia masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Kami naik dulu, Ma." Abra menepuk pundak Maya sebelum berlalu. Abra menyusul Vina yang lebih dulu menuju kamar. Dari wajahnya bisa dilihat kalau Vina masih kesal pada Abra. "Vin!" Abra berusaha meraih tangan Vina yang hendak menekan handle pintu. Vina menatap Abra sejenak lalu melanjutkan aksinya
"Intinya, saudara Abra ini tidak percaya diri, minder, dan takut yang berlebihan. Pengalaman pernah ditolak dan ditinggalkan dalam keadaan terpuruk membuat dia trauma, kehilangan kepercayaan dirinya sebagai laki-laki. Bahkan dia kehilangan semangat untuk sembuh, karena merasa sendiri," terang Psikiater wanita yang kini berhadapan dengan Vina. Ya, sekarang giliran Vina bicara empat mata dengan dr. Fitria Ningrum Sp.KJ. Setelah sesi pertama tadi, Abra berkesempatan membicarakan keluhannya dengan ahli jiwa ini. "Apa ada obat khusus, Dok? Ya, semacam obat kuat atau apalah, biar suami saya punya sedikit 'power', dokter?" tanya Vina sedikit ragu. Jujur dia malu pada wanita cantik yang berbincang dengannya ini. Wanita itu menggeleng pelan, "nggak ada, Vin. Nggak ada! Yang sakit psikisnya, bukan fisiknya. Lagipula obat kuat itu banyak efek sampingnya, bisa bikin kecanduan juga. Kalau nggak minum, nggak bisa bangun. Nggak bagus juga untuk jantung. Paling aku akan meresepkan beberapa vitamin
Infertil 10Vina mendesah lelah, ini malam kesekian dia dan Abra 'mencoba', tapi selalu kegagalan yang dia terima. "Maaf, Vin," lirih Abra dengan wajah penuh penyesalan. "Nggak pa-pa, Mas. Kita coba lagi besok," balas Vina tak kalah lirih. Meski dalam hati ingin meneriaki Abra, mengungkapkan segala kekecewaan yang membuncah di dada. Tapi mengingat ucapan dr. Fitria tempo hari. "Ingat, Vin! Kuncinya ada di kamu. Kalau kamu menyerah, semuanya akan sia-sia." Membuat Vina menelan kecewanya sendiri, dan tetap memberi Abra semangat, meski diri sendiri ingin rasanya ingin pasrah dan menyerah. "Terimakasih, Vin, terimakasih. Kamu memang yang terbaik." Abra mendekap erat Vina dalam pelukannya. * * * * *"Vin, Vina! Tunggu!" Vina membalik badan, menuju sumber suara. Di depannya nampak gadis seusianya sedang berjalan tergesa bahkan sedikit berlari ke arahnya. "Buru-buru amat! Sudah nggak sabar ketemu misua, ya?" ucap Nia dengan ekspresi wajah menggoda. "Apaan, sih! Aku bukan buru-buru mau
Infertil 11Vina tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bagaimana mungkin Edo tahu? Sedangkan rahasia ini sudah disimpan rapat-rapat baik oleh Vina maupun Abra. Hanya Antoni dan dr. Fitria yang tahu, tak mungkin salah satu dari mereka berdua yang membocorkan rahasia ini, kan? Edo tersenyum sinis. "Ikut aku, atau rahasia suamimu akan terbongkar!"Speechless, Vina tak mampu berkata apa-apa. Edo sudah tahu rahasia terbesar Abra. "Le--pas! Aku bisa jalan sendiri!" sentak Vina, berusaha melepaskan cengkeraman Edo yang menarik paksa tangannya. "Diam! Tak usah banyak bicara!" Edo bergeming tak berniat melepaskan genggamannya. "Nggak enak dilihat orang, Kak. Nanti mereka mikir macem-macem." Vina berusaha menego, dengan memasang wajah melas. Edo menghentikan sejenak langkahnya, ditatapnya Vina dengan tatapan dingin. "Oke, aku lepas. Tapi jangan berusaha kabur! Atau seluruh kampus, bahkan seluruh kota tahu kalau suamimu 'nggak jantan'." Edo sengaja menekan kata nggak jantan ketika menga
"Siapa dia?" tanya Abra dengan suara dingin dan tatapan tidak suka. Membuat nyali Vina mengkerut seketika. "Edo," jawab Vina takut-takut. "Edo? Namanya seperti tidak asing di telingaku," ucap Abra yang masih betah berdiri di samping mobil, dan terus menatap ke arah kafe. Vina bingung harus bersikap bagaimana. Haruskah jujur sekarang? Apa waktunya tepat? Dia takut Abra tidak terima, lantas marah. Tapi kalau tidak jujur sekarang, dia takut masalahnya jadi tambah rumit. "Mas, aku bisa jelaskan. Tapi bicaranya di mobil saja, ya?" ucap Vina lembut, mencoba melunakkan hati Abra.Tanpa menjawab, Abra membuka pintu dan langsung duduk di jok sopir. Tak mau Abra menunggu, Vina segera masuk lewat pintu sebelahnya. Dari roman mukanya, hampir bisa dipastikan kalau Abra tidak sedang baik-baik saja. Mungkin sedang menahan cemburu dan amarahnya. "Edo itu mantan pacarku, Mas," ucap Vina sambil menatap Abra yang tengah fokus nyetir itu. Hening, tak ada jawaban yang meluncur dari bibir Abra. Meski
"Beli apa, sih, Sayang?" tanya Abra, setelah Vina menghenyakkan tubuhnya ke jok yang ada di sampingnya. "Rahasia," jawab Vina singkat. Kening Abra mengkerut, memandang istrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Sementara yang dipandang tersenyum penuh misteri. Istrinya tidak sedang membeli obat terlarang, kan? "Kok main rahasia-rahasiaan, sih? Aku jadi curiga, nih, jangan-jangan ----""Jangan-jangan apa?" potong Vina cepat. "Jadi orang nggak usah curigaan, Mas. Yang jelas aku beli sesuatu yang bisa bikin kamu bahagia," jelas Vina, yang masih misterius menurut Abra. "Ayo, jalan!" lanjut Vina karena Abra tak kunjung melajukan mobilnya. Abra bergeming, dia masih betah menatap istrinya. "Mas, gitu amat lihatnya. Nanti di rumah juga bakal tahu aku beli apa? Pokoknya ini, itu aku beli buat kamu. Dah, ah jalan!" Bibir Vina mengerucut saat berkata, membuat Abra gemas dan tak tahan mengacak rambutnya. "Ih, Mas Abra!" Vina menggebuk lengan suaminya, yang punya kebiasaan mengacak rambut
"Vin.... Udah dong, nangisnya!" Abra hampir frustasi, melihat Vina yang tak berhenti menangis. Padahal sudah lebih dari satu jam, sejak Vina masuk kamar. Abra yang melihat saja capek. Emang Vina enggak, apa? "Katanya dulu cewek tomboi, hobi berantem, hobi manjat pohon. Masak denger omongan gitu aja, nangis?" Abra berusaha melucu, dengan mengingatkan tentang kenangan masa kecilnya. Tapi Vina bergeming, dia tetap terisak-isak. Tak peduli walau bibir Abra sudah berbusa-busa mencoba menghibur dirinya. "Ayolah, Sayang. Ucapan Mama jangan dimasukin hati, mungkin Mama lagi error. Anggap saja Mama lagi ngelawak." Abra terus berusaha membujuk istrinya. Abra tahu, mamanya sudah keterlaluan. Pernikahan mereka belum genap empat bulan, masih dini untuk dituntut memiliki keturunan. Tapi Maya ngotot, Vina harus segera hamil. "Pokoknya, kalau dalam setahun ini Vina nggak hamil juga. Mama bakal geser posisinya, dengan Tessa. Kalau dilihat dari bentuk pinggulnya yang lebar, Mama yakin dia itu subur
Infertil 15Vina menatap nanar Abra yang sudah terkapar, dengkuran halusnya terdengar. Pertanda pria itu tengah berkelana ke alam mimpi. Tubuh pria itu bahkan masih polos, hanya tertutup selimut. Berpakaian pun Abra tak sanggup, saking lemasnya dia. Akhirnya mereka berdua berhasil menjadi suami istri seutuhnya. Keduanya telah melalui malam pertama, sebagai mana pasangan lainnya. Namun sayangnya malam pertama mereka tak seperti ekspektasi Vina. Abra hanya bertahan sesaat, lalu mengakhiri pendakian, sebelum Vina sempat melayang.Rasanya Vina ingin menangis sejadinya, meluapkan kekecewaan yang kini menguasai hati dan pikirannya. Abra benar-benar membuatnya kecewa, malam pertama yang sudah dia nanti sejak lama berakhir begitu saja. Abra tidak perkasa. Tidak hanya kecewa, tapi juga terluka. Itu yang Vina alami sekarang, walau berbadan atletis dan terlihat begitu jantan. Nyatanya, Abra tak bisa memuaskan Vina. Meski sudah dibantu obat kuat sekalipun, pria itu tetap mlehoi. "Ya, setidakny