Share

BAB 7 Amplop Bayaran

“Kenapa kamu diam saja, Bi? Ambil amplop ini. Memangnya kamu gak butuh uang, hah? Kamu bisa mendapatkan lebih banyak lagi jika mau mengikuti apa yang aku perintahkan,” Laras tersenyum sinis.

“Ng-ngga Nyonya. Sa-saya tidak bisa menerimanya. Permisi,” ucap Bibi sambil mundur satu langkah.

“Eh mau kemana? cepat ambil saja. Kita tahu yang kamu harapkan, Bi. Anggap saja ini bayaran karena kamu telah menjaga rahasia tentang kejadian tadi siang,” Tantri memanasi.

“Tapi maaf, Bibi berkata seperti itu bukan untuk Nyonya Laras dan Non Tantri, apalagi Non Aurel. Bibi menjawab seperti itu karena permintaan Non Febby. Beliau yang meminta Bibi untuk tidak memberitahukan kejadian tadi siang. Non Febby juga tidak mau keluarga ini bertengkar makanya dia minta Bibi bilang kalau dirinya terjatuh di kamar mandi. Seharusnya Nyonya Laras dan Non Tantri berterima kasih pada Non Febby,” terang Bibi.

“Apaaaa? Beraninya kamu berkata seperti itu.”

“Maaf Nyonya. Non Febby minta Bibi untuk tidak memperpanjang masalah itu. Dia yang mau Bibi bercerita seperti tadi.”

“Halaah.. gadis kampung penipu, seperti ular berbisa. Pasti ada rencana lain lagi dia, Mah.”

“Kenapa Non Tantri berpikir seperti itu? padahal Non Febby sudah baa – .”

“Baik maksudmu? Cuiih..” Tantri terpancing emosi.

“Cukupp! Oke, terserah kalau kamu menolak uang ini. Tapi ingat bahwa kamu di sini hanyalah seorang pem-ban-tu! pelayan pribadi gadis kampungan pembuat onar.”

“Saya paham Nyonya,” jawab Bibi.

“Sekarang keluar dari kamarku!” titah Laras kesal.

“Sana keluarrrr! Dasar pelayan bodoh,” Tantri menghardik.

Sontak Bibi melangkah cepat keluar kamar. Langkah kakinya gemetar karena tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti itu.

Bukan karena bentakan dan perkataan pedas dari kedua wanita itu yang membuat Bibi gemetar, itu sudah biasa dia terima. Tetapi uang suap yang hendak diberikan kepadanya. Bibi sangat tidak rela jika dirinya dianggap pengkhianat dan mengharapkan uang dari mereka.

‘Haduh.. haduh.. aku benar-benar gugup setiap kali menghadapi dua orang wanita itu. Mereka kenapa kejam sekali sama orang lain,’ ucap Bibi yang berjalan cepat menuju dapur.

Secepat kilat Bibi menuang air mineral digelas dan meneguknya. Paling tidak rasa takut dan cemas yang sempat hadir bisa kembali mereda.

“Bi, kok seperti orang ketakutan sih?” ucap Mirna.

“Huft.. kamu Mirna. Ngapain kamu disini? meja makan sudah dibereskan belum?” tanya Bibi.

“Ya sudah atuh. Hmm.. Habis dikasih amplop uang ya sama Nyonya Laras?”

“Heggh kamu? Dari mana kamu tahu? Nggalah, ngga aku ambil.”

“Nah itu dia, kenapa ga diambil saja? pasti isinya lumayan banyak tuh. Kerja itu harus pakai otak, Bi. Kalau ada yang menguntungkan kenapa harus ditolak.”

“Heh Mirna, dari mana kamu tahu soal itu? kamu nguping ya?” tanya Bibi menyelidik.

“Ohh.. Ummm.. itu.. ya aku kebetulan lewat kamar Nyonya, eh kedengeran deh,” jawab Mirna sambil menyeringai.

“Ahh pasti kamu sengaja. Untung tadi siang kamu disuruh belanja sama Nyonya, kalau tidak bisa terjadi perang dunia di rumah ini.”

“Emang gimana sih Bi jalan ceritanya. Kasih tahu dong. Aku pasti bakal tutup rapat mulutku,” pinta Mirna.

“Ga akan. Kamu itu terlalu ikut campur urusan orang. Kebiasaan tukang nguping itu ga baik. Sudah ah, aku mau ke Non Febby, mungkin ada yang dibutuhkannya,” oceh Bibi yang langsung berjalan menjauhi Mirna.

“Ihh Bibi cerita dulu atuh, terus gimana kelanjutannya. Hmm.. ga tahu apa kalau orang mau bergosip. Ehh yang jadi sumbernya malah kabur,” keluh Mirna.

**

Keesokkan harinya, Pukul 07.15 WIB

“Tantri, tumben sekali dari tadi kamu sibuk urusi Faris,” ucap Ronald.

“Anak kita ini tetap harus mendapatkan sentuhan seorang ibu kan, Bang.”

“Memang benar, tapi biasanya juga apa-apa sama Mba Mirna. Sedangkan kamu sibuk sendiri dengan duniamu. Sekarang kamu diminta Papah untuk menemani Febby ke klinik tuh,” ucap Ronald.

“Aduh Bang memangnya aku gak ada kerjaan lain harus mengantar dia berobat. Lagi pula dia kan punya laki. Suruh saja adikmu mengantarnya, si Kenny. Bilang sama Papah aku sedang mengurus putraku, Faris.”

“Kenny dan aku ada kerjaan di kantor. Mau survey lokasi dengan klien untuk project baru.”

“Yasudah sama Bibi saja, asisten pribadinya.”

“Kamu kan Kakak iparnya, seharusnya mengasihi dia juga.”

“Ngomong apa sih Bang. Aku kasihi dia kok. Kasihaaaan-ni malah! Udah deh aku gak mau nganterin si Febby. Dia itu suka membuat onar, ngeselin Bang.”

“Pembuat onar apanya? Dia selalu baik di rumah ini. Bukalah mata hatimu.”

“Jadi maksudmu, aku dan Mamah mata hatinya tertutup? Kenapa kamu selalu membela Febby? Kamu naksir sama dia yaa?”

“Apa-apaan sih? Ngaco semua ucapanmu. Sudahlah, ada Faris disini. Malu dilihat anak kalau kita bertengkar,” Ronald memperingati.

“Kamu yang mulai duluan, Bang. Lihat wajah Febby saja aku malas, eh malah disuruh anter ke klinik, isssshhh…”

Braakk..

Pintu kamar tertutup. Ucapan Tantri sama sekali tidak didengar oleh Ronald yang langsung memilih pergi keluar ruangan.

“Maaa..maamm.. maaa..”

“Sstt.. jangan ribut. Mamah pusing, Faris. Kalau Papah sudah berangkat, kamu sama Mba Mirna ya Sayang,” oceh Tantri.

Faris yang baru saja berumur dua tahun, memandang mamanya dengan polos. Dia hanya bisa bermain-main diatas kasur sambil terus berceloteh sendiri.

Sementara itu, di tempat yang berbeda Hendri Juan juga gagal meminta istrinya pergi menemani Febby untuk berobat. Laras beralasan bahwa dirinya juga ada acara bersama ibu-ibu pengusaha dan pejabat dalam forum pertemuan bulanan.

Sebenarnya baru diadakan minggu besok, tetapi Laras meminta diadakan hari ini. Tentu saja alasannya untuk menghindari perintah suami. Dari pada harus menemani menantu yang sangat dibencinya itu, lebih baik dia pergi dari rumah mengurus aktivitas pribadinya.

“Ya sudah Ken. Kamu mungkin menyusul saja nanti saat survey project. Antarkan dulu Febby ke klinik. Lakukan pengecekan dengan benar. Kenapa sampai pagi ini belum juga kempes bengkaknya itu? lukanya juga biar diobati agar tidak membekas,” titah Hendri Juan.

“Oke Pah, aku antar istriku dulu.”

“Aku sebenarnya tidak apa-apa kok, Pah. Biar dirumah saja diobati Bibi, nanti juga sembuh,” ucap Febby.

“Jangan Febby. Kamu itu terjatuh di kamar mandi. Itu berbahaya loh. Kita tidak tahu bagaimana kondisimu jika tidak diperiksa,” ucap Hendri Juan.

“Kalau begitu ayo Sayang kita berangkat sekarang. Setelah itu baru aku ke kantor,” potong Kenny.

Febby menganggukkan kepala dan mengikuti langkah Kenny menuju mobil sportnya. Sebenarnya Febby juga masih merasakan perih diwajahnya karena kemarin terbentur kursi akibat dorongan Aurel. Belum lagi tamparan dan jambakan kedua wanita itu membuat nyeri yang sampai sekarang masih terasa.

Kenny mulai menginjak pedal gas mobilnya. Jarak rumah sakit yang dituju tidak terlalu jauh dari rumah keluarga Maharendra. Mereka juga sebenarnya mempunyai dokter pribadi, namun terkadang jadwal praktek dokter mereka sangat padat.

“Sudah sampai Sayang, yuk turun. Dokter Beni sudah menunggu,” ucap Kenny.

“Iya Mas,” sahut Febby.

Ketika mereka hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba ponsel Kenny berdering. Sejurus kemudian, Kenny melihat layar ponsel dan mematung untuk beberapa saat.

“Mas, kenapa diam? ga diangkat?” tanya Febby polos.

“Umm.. ga usahlah, paling kerjaan.”

“Ga apa-apa Mas, siapa tahu perlu. Kenapa ga diangkat saja?”

“Sudahlah biarkan saja. Urusan kantor sudah ada yang handle, kok.”

“Kalau ada yang handle, kenapa masih meneleponmu? Coba sini aku yang jawab.”

“Ga usah Febby..!”

 

Namun, Febby justru mencoba meraih ponsel. “Biar mereka tahu bahwa Mas Kenny sedang bersama istri. Aku saja yang jawab teleponnya.” 

“Tidak! Aku bilang tidak, ya tidak. Tidak sopan kamu memaksa aku seperti itu, Febby,” bentak Kenny.

Deg!

Sontak Febby terdiam memandang suaminya tersebut. Dia tidak menyangka kalau Kenny bisa semarah itu.

“Maaf Mas, maksudku sebenarnya baik. Kalau Mas Kenny terganggu, aku minta maaf,” ucap Febby perlahan.

“Umm.. ngga Sayang. Aku juga minta maaf karena terpancing. Di kantor memang sedang sibuk sekali, tapi aku tidak mau terganggu saat aku sedang bersamamu. Aku ingin maksimal saat ada waktu denganmu,” Kenny mulai merayu.

Sayangnya, telepon tersebut terus berdering berkali-kali.

Kelihaian Kenny menutupi rasa gugup membuat Febby tidak curiga sama sekali. Namun, sorot mata Febby yang terus mengintimidasi pergerakan ponsel di tangan Kenny, membuat lelaki tersebut terganggu juga.

“Hallo..” Akhirnya Kenny menjawab panggilan telepon.

“Hallo Sayang, kenapa lama sekali kamu menjawabnya?” Suara Dena dari seberang telepon.

Deg!

 "Aku..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status