Sebelumnya, Bumi sudah menceritakan semua hal terkait “musibah” yang terjadi pada kedua orang tuanya via telepon. Bertukar pikiran, meskipun semua itu tidak mampu mengubah garis takdir yang sudah tertulis. Yakni, Bumi mau tidak mau harus menikahi Damay atau hidupnya yang bisa saja terancam kapan saja.
Untuk itu, ketika ia membawa Damay ke rumahnya, tidak banyak hal yang ditanyakan oleh kedua orang tua Bumi kepada gadis itu.
“Jadi … Damay.” Airin, ibu Bumi memecah kecanggungan yang ada di ruang tamu. “Kamu sudah tahu, kan, kalau Bumi sama Tari mau menikah? Semua sudah disiapkan dan kami nggak mungkin batalin itu semua.”
Damay mengangguk dengan menyematkan senyum kecil di wajahnya. “Sudah, Bu.”
“Dan, kamu tahu juga, kan, kalau kamu dan anak saya itu menikah karena terpaksa?” tanya Airin lagi. “Kalian nggak saling kenal, apalagi cinta?”
Lagi-lagi Damay mengangguk. “Tahu, Bu.”
“Jadi, saya minta tolong jangan pernah jadi beban buat Bumi,” ungkap Airin. “Saya ngerti kalau status kamu sekarang juga istrinya, tapi …” Airin mencolek paha sang suami yang sedari tadi hanya diam di sampingnya. Ia butuh bantuan, untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak bisa dibicarakan.
“Damay.” Seno melirik sang istri yang baru saja mencubit kecil pahanya. “Begini, kami nggak akan menelantarkan kamu di Jakarta sendirian. Tapi, kamu juga harus tahu, kalau Bumi nggak akan bisa beristri dua. Jadi, mau nggak mau, Bumi harus menceraikan kamu.”
“Ayah!” protes Bumi sedikit terkejut dengan ungkapan Seno. Bukannya tidak ingin menceraikan Damay, tapi Bumi masih terbayang dengan cerita horor, salah satu anggota dewan ketika mereka berkunjung ke Kalimantan.
Seno langsung mengangkat tangan untuk mencegah putranya berbicara. “Untuk sementara, kami bisa menampungmu di sini. Tapi, untuk ke depannya, demi kenyamanan seluruh keluarga besar kami dan juga keluarga Tari, kamu harus pindah dari sini. Ngekos, dan carilah pekerjaan di luar sana. Dan untuk urusan itu, nanti biar Bumi yang cari kos, dan kerjaan buat kamu.”
Yang bisa Damay lakukan hanya kembali mengangguk. Menuruti semua perintah pemilik rumah, yang akan Damay tempati untuk sementara waktu.
“Kamu masih 19 tahun, kan?” sambung Airin yang setuju saja dengan ucapan sang suami.
“Iya, Bu.”
Airin berdecak mendengarnya. “Lulusan SMA … apalagi dari daerah, mau dicarikan kerja apa di sini? Paling juga pelayan, atau office girl. Ck, cari kos ajalah dulu sebelum dapat kerjaan. Nggak enak nanti ditanyain tetangga kalau kerjaannya cuma pelayan atau OG.”
Bumi mulai memijat pelipisnya. Kalau tahu begini, Bumi tidak akan mengambil cuti tambahan, dan akan ikut pulang setelah mengikuti kunjungan kerja reses Komisi V DPR RI ke Ibu Kota Negara Baru, Nusantara.
Sejatinya, pada saat itu Bumi hanya ingin memenuhi undangan pernikahan sahabat lamanya yang sudah tinggal di Sangatta selama beberapa tahun. Namun, justru Bumi-lah yang lebih dulu melakukan ijab kabul, karena sebuah insiden yang terjadi sehari sebelum acara pernikahan sahabatnya itu digelar.
Daripada harus berlama-lama berada di ruang tamu, Bumi pun berdiri untuk memisahkan memisahkan Damay dan kedua orang tuanya sebentar. “May, bawa kopermu. Biar aku antar ke kamarmu.”
“Biar Imah yang antar Damay ke kamarnya,” ujar Airin menyela lalu memanggil asisten rumah tangga yang bekerja penuh waktu di rumah mereka. “Kamu tetap di sini, karena ada yang harus kita bicarakan.”
Bumi kembali duduk setelah wanita paruh baya yang baru dipanggil oleh Airin muncul.
“Mah, tolong tunjukin kamar buat dia,” tunjuk Airin pada Damay. “Kamar yang sudah saya kasih tahu kemarin.”
Imah mengangguk. “Baik, Bu.”
“Permisi,” pamit Damay dengan mengangguk kecil setelah berdiri dari tempat duduknya. Kemudian ia berlalu, dan berjalan di belakang Imah untuk menuju ke kamar yang sudah disiapkan sebelumnya.
Airin seketika mendesah panjang saat yakin Damay sudah masuk ke bagian dalam rumah mereka. “Bumiiiii!” Airin mengambil bantal sofa yang ada di belakang punggungnya lalu melemparnya pada sang putra dengan kesal. “Bunda sudah nggak bisa ngomong lagi sama kamu! Untungnya Tari dan orang tuanya bisa ngerti! Coba kalau nggak!”
Karena hal inilah, Bumi meminta Tari untuk langsung kembali pulang setelah mengantarnya ke rumah. Ada banyak hal, yang harus Bumi bicarakan secara pribadi dengan kedua orang tuanya terlebih dahulu. Mungkin, besok Bumi baru akan pergi ke rumah Tari dan menjelaskan semua duduk perkara terkait pernikahan mereka.
“Bun, ini cuma kecelakaan di negeri orang,” ujar Seno mencoba memosisikan diri sebagai putranya. “Bumi juga nggak mau nikah sama orang yang nggak dikenalnya. Apalagi, dia sudah mau nikah sebentar lagi.”
“Iya, tapi …” Airin berdecak kesal dan kembali melempar bantal sofa pada putranya. “Masa Bumi sama Damay nggak bisa jelasin kalau mereka itu nggak ngapa-ngapain di kamar!”
“Bagaimana mau menjelaskan, Bun.” Seno lagi-lagi ingin membela putranya. “Bukannya Bumi sudah cerita, dia baru mandi dan keluar cuma pake handuk. Terus Damay, lagi nganti baju di kamarnya Bumi dan sudah lepas baju. Kalau Bunda yang masuk kamar terus lihat Bumi sama Tari dalam keadaan seperti itu, pasti salah paham, kan?”
“Yang jadi masalah itu, kenapa si Damay itu bisa ada di kamar Bumi!” decak Airin langsung bersedekap dan tidak habis pikir. “Habis itu, nggak lama ada orang lain juga langsung masuk ke kamar yang ditempati Bumi dan akhirnya mereka salah paham!”
“Nggak ngerti aku, Bun.” Bumi bersandar pasrah pada punggung sofa. “Posisinya, Damay waktu itu juga baru datang dari Samarinda, jadi nggak tahu apa-apa. Cuma disuruh masuk, dan yaaa… begitu.”
“Nggak masuk akal!” seloroh Airin masih tidak bisa terima dengan pernikahan putranya dengan gadis yang tidak jelas asal-usulnya. "Pintu kamar kamu kenapa nggak dikunci!"
“Memang nggak masuk akal dan lagi apes aja, tapi aku nggak bisa nolak waktu dituntut pertanggungjawaban sama orang-orang dan keluarga di sana,” ujar Bumi membela diri. “Bisa-bisa, aku sampai sini nggak bawa nyawa.”
Airin menarik napas pendek nan dramatis, sembari memegangi dadanya dengan kedua tangan. Kalau sudah menyangkut nyawa dan keselamatan putranya, Airin sudah tidak bisa berkata apa pun.
“Jadi, bagaimana sekarang?” tanya Seno pada putranya. “Kamu juga nggak mungkin punya dua istri, Mi. Kamu mau poligami?”
“Ya enggak, Yah,” ungkap Bumi dengan pasti. “Tapi, aku masih khawatir dengan … kalau aku ceraikan Damay sekarang, aku takut ada keluarganya di sana yang sakit hati dan … Nanti biar aku bicarakan lagi sama Damay, gimana enaknya. Karena kami sama-sama nggak mau dengan pernikahan ini.”
“Kan, justru bagus kalau sama-sama nggak mau,” kata Airin. “Justru dengan begitu keluarganya harus ngerti dong, kalau kalian memang nggak saling cinta, jadi buat apa pernikahannya ini diteruskan? Pokoknya, Bunda maunya kamu ceraikan dia secepatnya!”
“Nggak sesimpel itu, Bun,” sanggah Bumi. “Pokoknya, nggak sesimpel itu. Jadi, biarkan aku bicara lagi dengan Damay, dan nanti kita cari jalan keluar yang terbaik.”
Setelah asisten rumah tangga keluarga Bumi meninggalkanya, Damay langsung mengempaskan tubuh di ranjang queen size lalu melipat kedua tangan di atas perut. Tatapannya menerawang pada langit-langit kamar yang menurutnya cukup luas, dengan berbagai rencana yang sudah tersusun di kepala.Damay hanya tinggal menunggu Bumi mencarikan sebuah kos untuknya. Keluar dari rumah tersebut, dan mencari kerja di luar sana. Apa pun pekerjaan yang didapatnya nanti, yang terpenting adalah halal baginya dan cukup untuk menghidupi dirinya sehari-hari. Menjadi pelayan atau office girl pun tidak mengapa. Yang terpenting untuk saat ini adalah, Damay bisa memiliki penghasilan sendiri, agar bisa lepas dari Bumi.Sejurus kemudian, kedua sudut bibir Damay pun terkembang lebar. Setidaknya, ia sudah sampai di ibukota, dan tinggal berusaha melakukan beberapa hal, untuk mencapai tujuannya.“Damay!”Sayup terdengar suara Bumi dari balik pintu, berikut dengan ketukan yang terdengar cukup keras dan tidak sabar. Untuk
Airin berdecak ketika melihat putranya menuruni tangga. Ia masih kesal dengan kehadiran Damay, yang tiba-tiba saja menjadi menantu yang tidak pernah diinginkan di rumah mereka. Sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak perjalanan yang dilakukan Bumi ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Namun, hal sial seperti saat ini, mengapa justru menimpa di saat seperti sekarang. Di mana Bumi, sebentar lagi akan menikah dengan kekasihnya. “Ke mana istrimu itu,” sindir Airin ketika sang putra sudah menginjakkan kaki di lantai satu. “Pasti belum bangun.”“Ayolah, Bun. Dia itu bukan urusanku, jadi jangan pernah tanya apapun tentang dia,” pinta Bumi lalu melewati sang bunda untuk pergi ke dapur. “Pagi ini, aku antar dia ke kosan sekalian berangkat kerja. Jadi tolong, jangan lagi sebut-sebut dan bicarakan dia di depanku.”Airin hanya mendesis kesal menanggapi ucapan putranya. Ia terus berjalan di belakang Bumi, dan sedari tadi sudah mencium aroma masakan yang sudah menggugah selera. Wangi masakan yang
Sang penjaga kos yang akan dihuni oleh Damay, langsung pergi setelah memberi beberapa penjelasan singkat. Meninggalkan Damay, dan Bumi yang masih berdiri di tengah ruang yang berukuran tiga kali tiga meter tersebut.“Aku cuma bisa dapat kosan ini, lumayan layak walau kamar mandinya ada di luar,” terang Bumi lalu membuka jendela nako yang berada di samping pintu. Ia menatap ke lantai satu, yang berisi parkiran motor dari penghuni kos setempat. Bumi jadi berpikir, apa Damay juga butuh kendaraan bermotor untuk memudahkan mobilisasi gadis itu.“Nggak masalah, Kak,” balas Damay lalu duduk di tepi kasur busa yang berukuran single. Ada sebuah meja kecil, yang berada di samping tempat tidur. Serta lemari pakaian yang berada sejajar dengan jendela nako. “Saya tinggal cari kerja aja habis ini. Terus, untuk uang kos, nanti saya ganti kalau sudah punya gaji.”“Nggak perlu diganti,” jawab Bumi cepat, lalu berbalik dengan mengeluarkan dompet dari saku celana bahannya. Bumi mengeluarkan beberapa lem
Tabungan yang dimiliki Damay, memang tidak banyak. Akan tetapi, tidak bisa juga dibilang sedikit jika ia bisa berhemat, ketika tinggal di ibukota tanpa pekerjaan seperti sekarang. Damay bisa menekan biaya makan sehari-harinya. Hitung-hitung, sekalian diet untuk menurunkan bobot badan yang terasa semakin berat.Damay membeli nasi, di warung terdekat dan membaginya menjadi dua kali makan. Untuk sarapan, dan ketika sore menjelang. Sementara untuk lauk, Damay bersyukur karena ada dapur umum yang bisa dipakai bersama di lantai satu, hingga ia bisa memakainya untuk menggoreng telur, atau membuat mi instan jika terpaksa.Sudah seminggu berjalan sejak Damay bertemu Bumi. Sejak itu pula, Damay sama sekali belum mendapatkan pekerjaan. Ternyata, lulusan SMA seperti dirinya tidak mudah mencari pekerjaan di ibukota, meskipun hanya sebagai seorang pelayan, atau office girl, seperti yang pernah dikatakan Airin.Damay pun sudah berusaha berbaur dan mengakrabkan diri, dengan teman-teman kos yang cende
Napas Bumi terbuang lega, tugas terakhirnya dalam event pemerintah jelang pernikahannya akhirnya selesai. Setelah ini, Bumi akan kembali menjalani rutinitas kantor seperti biasa, sebelum cutinya tiba.Di sela ramah tamah, dan sesi foto di akhir acara debat calon gubernur, Bumi kembali terusik dengan siluet seorang gadis. Bukan sekali ini Bumi melihat siluet tersebut berjalan cepat di sisi ruang, dan tenggelam di ruang setelahnya. Namun, ketika acara debat belum dimulai pun, Bumi juga sempat melihat sosok tersebut berjalan cepat melewati lorong hotel.Bumi sempat mengira, hal tersebut hanyalah halusinasi. Akan tetapi, jika sampai beberapa kali melihat, pun saat acara sedang berjalan, Bumi yakin itu semua adalah nyata. Sampai akhirnya, Bumi memutuskan untuk meninggalkan kerumunan pendukung para pasangan calon, untuk menuntaskan rasa penasarannya.Bumi berjalan tergesa, menuju titik di mana ia melihat sosok tersebut. Terus masuk ke bagian hotel yang paling dalam. Menyusuri sebuah lorong,
“Tapi nggak begini juga!” Damay tersentak karena Bumi tiba-tiba menghardiknya. Ingin menjauh, tapi lengan Damay masih berada di cengkraman pria itu. Damay jadi bingung sendiri, apa salahnya kali ini sampai Bumi langsung menghardiknya. “Nggak … begini gimana maksudnya, Kak?” tanya Damay tetap memandang Bumi, kendati jantungnya sudah melaju kencang karena dihardik pria itu. “Dengar, May.” Bumi mengatur napas, agar tidak larut dalam emosi. “Sudah berapa kali lo ketemu Gilang?” “Baru … dua kali sama hari ini.” “Baru dua kali ketemu, tapi, lo sudah mau diantar malam-malam begini sama dia?” Semakin lama, nada bicara Bumi semakin meninggi. “Ini Jakarta, May! Bukan Kalimantan—” “Samarinda,” ralat Damay. “Kalau Kalimantan itu luas jangkauan—” “Jangan pernah potong omongan gue.” Bumi menghela kasar sambil menarik lengan Damay, agar gadis itu semakin dekat. “Ini, Jakarta! Di luar sana, banyak penjahat kelamin yang pura-pura baik dan punya niat terselubung di belakangnya. Pergaulan di sini
Bumi menutup laptop, setelah rapat umum antar divisi selesai. Namun, bokongnya masih enggan beranjak, karena ada beberapa obrolan ringan yang masih hendak ia bicarakan dengan rekan kerjanya. Bertukar pikiran dengan santai, untuk membahas beberapa pekerjaan. “Jadi cuti kapan, Mi?” tanya Baskoro, sang pemimpin redaksi yang hendak beranjak dari ruang rapat. “Dua minggu lagi, Bang.” Baskoro terdiam sejenak, seolah memikirkan sesuatu. Selang beberapa detik kemudian, ia pun mengangguk. “Oke, jangan lupa limpahin job desk ke yang lain, dan jangan matikan hape kalau lagi bulan madu. Siapa tahu kami butuh kamu, sewaktu-waktu.” Baskoro lantas terkekeh, dan disambut oleh beberapa rekan kerja yang masih ada di ruang rapat. Dengan cepat ia melangkah keluar dari ruang tersebut, tanpa mau menunggu respons dari Bumi. Namun, belum sampai lima detik Baskoro melewati pintu, ia langsung mundur teratur. Memutar tubuh 90 derajat dan melihat beberapa karyawan Jurnal Ibukota yang kembali bercengkrama. “Y
Pagi itu, Damay sama sekali tidak berminat untuk sarapan. Mengingat rentetan kalimat Bumi tadi malam saja, sudah membuatnya kenyang. Damay bahkan belum mengambil honor atas pekerjaan yang telah ia lakukan kemarin. Untuk itu, Damay hanya bisa pasrah untuk sementara waktu. Menunggu Bumi, yang berjanji akan membawakannya sebuah ponsel baru nanti siang. Akan tetapi, Damay tentunya tidak bodoh. Setelah Bumi memberikannya sebuah ponsel, Damay tinggal bertanya kepada Senna, agar bisa menghubungi seorang teman yang sudah mempekerjakannya kemarin. Setelah itu, Damay tinggal meminta gaji, sekaligus, bertemu Gilang jika memang ada kesempatan. Damay bangkit dengan cepat dari tidurnya, ketika mendengar suara pintu kamar kosnya diketuk. Dengan cepat pula ia membukanya dan langsung mematung saat itu juga. “Lo, yang keluar, atau, gue yang masuk ke dalam.” “Ohh.” Damay yang masih bingung itu, langsung menghela dengan tawa garing. “Kak Gilang … di sini? Tahu … kosan saya dari mana?” “Irma.” “Ohh