Share

Bab 2. Mantan Kekasih

"Jangan kamu kira Papa tidak tahu apa-apa!" ucap Pak Johan yang tiba-tiba memutar tubuhnya dan tangan kiri menggebrak meja. Wajahnya begitu dekat dengan wajah David. Matanya melotot seperti sedang menggertak jiwa playboy yang ada di dalam diri putranya. David hanya bisa terdiam. Pasrah karena seperti sudah ditelanjangi oleh ayahnya sendiri.

"Papa diam bukan berarti Papa tidak tahu! Papa diam bukan berarti Papa tidak memperhatikan kalian! Diam Papa selama ini ingin memberi kalian waktu untuk bertanggung jawab atas hidup kalian di masa muda!" ujar Pak Johan masih dengan nada tegasnya.

"Tapi tolong.. Bantu Papa kali ini dengan sungguh-sungguh, Nak!" kata Pak Johan menurunkan nada bicaranya menjadi sangat lembut.

"Papa bangun bisnis ini dengan keringat dan darah Papa. Jika penerus bisnis ini masih sedarah dengan Papa, Papa akan lebih bahagia dan lega." lanjut Pak Johan.

"Kalau memang mau Papa David penerusnya, kasih aja sekarang. Kenapa harus nunggu David nikah dulu?" tanya David sedikit menantang.

Pak Johan menundukkan kepalanya dan mendengus. Ia segera menegakkan tubuhnya kembali dan menjaukan wajahnya dari muka anaknya. Kedua tangannya berkacak pinggang dan memalingkan wajahnya dari tatapan anaknya. Ia nampak kesal dan menggigit bibir bawahnya dengan singkat.

"Kamu! Berurusan sama satu wanita aja nggak becus, mau ngurusin orang banyak!" ucap Pak Johan sambil mengacung-acungkan jari telunjuknya.

"Loh itu bukan tolak ukur yang fair dong, Pa. Pencapaian David sudah banyak. Sepuluh tahun, Pa, David bantu Papa di perusahaan ini! Kurang apa lagi?" sahut David sambil berdiri dari kursi, "Dan itu nggak sebanding kalau Papa mau David bersaing sama Nicho. Nicho itu cuma menantu Papa dan David anak kandung Papa."

"Tapi setidaknya masih ada Cheryl, cucu kandung Papa!" sahut Pak Johan dengan dagu terangkat. David jatuh terduduk di kursinya lagi. Tangannya bersandar di meja dan memegang kepalanya yang mendadak pening. Alasan itu membuat David bungkam, tak ingin mengelak lagi.

"Baiklah kalau itu mau Papa. Beri David waktu lagi." pinta David dengan suara yang lesu.

"Enam bulan-"

"Pa!" teriak David dan melotot ke arah Pak Johan pertanda penolakan.

"Lima Bulan-" Semakin David protes, semakin Pak Johan mengurangi waktunya.

"Pa!"

"Em-"

"Nggak gampang cari cewek tulus jaman sekarang!" potong David memprotesnya segera sebelum waktu semakin menipis.

"Papa dan Mama bantu carikan."

"Tapi, Pa."

"Empat Bulan. Oke deal! Dalam waktu empat bulan akan Papa dan Mama bawakan calon untukmu. Papa pergi dulu." ucap Pak Johan sembari merapikan jasnya lalu berjalan dan meninggalkan David yang hanya bisa melongo tak berdaya.

"Kopi Papa masih utuh, kamu minum saja." kata Pak Johan tersenyum tengil saat berhenti di depan pintu. Jelas, David tak akan meminum kopi ayahnya. Pahit.

Benar saja, tak sia-sia David meminta kopi manis kepada Patrick. Ia pun segera menyeruputnya sebelum terlanjur dingin. Setidaknya kehangatan kopi manis ini bisa memberi rasa lain di pagi ini.

=======

Hari yang sangat melelahkan bagi David dengan setumpuk berkas yang harus ia cek dan tanda tangani. Ia pun berjalan menuju kursi pijat elektrik yang di sudut ruangan tak jauh dari meja kerjanya. Tubuhnya kali ini terasa pegal dari hari-hari biasanya. Mungkin karena energi yang sudah separo terkuras di pagi tadi.

David merebahkan tubuhnya dan menyetel pengaturan di kursi pijat itu. Kursi pijat ini memang merupakan fasilitas dari kantor khusus untuk jajaran direksi saja.

David mengambil ponsel dari dalam saku celananya. Ia mencari nomor bernama Patrick. Ia terlanjur nyaman jika harus bangun lagi dan menggunakan telepon kantor yang ada di atas meja kerjanya untuk menghubungi Patrick.

"Patrick, tolong untuk 30 menit ke depan, jangan ada yang masuk ke ruangan saya!" pinta David begitu Patrick mengangkat panggilan tersebut.

"Baik, Pak! Bapak tidak makan sian dulu?" tanya Patrick di seberang telepon.

"Nanti saja. Saya telepon kamu lagi kalau saya lapar." jawab David sambil memijat keningnya.

"Baik, Pak."

David memutus sambungan teleponnya dan jempolnya kembali memainkan layar ponselnya. Ternyata ia sedang melihat daftar kontak telepon para mantannya. Ia tampak serius memperhatikan satu per satu nama dan foto yang terpampang di layar ponselnya. Telunjuknya terangkat dan mengusap-usap bibirnya, ia memicingkan matanya seperti sedang mengingat sesuatu.

"Cassandra." gumam David yang masih memicingkan matanya.

"Argh!" geram David dengan menggertakkan giginya lalu menghembuskan nafas panjang dan terkulai lemas. Tak mau lagi melihat ponselnya. Ia pun mencoba menikmati setiap pijitan yang terasa di seluruh badannya.

Sejujurnya, dalam benak David, sudah memiliki prinsip bahwa ia apa yang sudah terjadi di masa lalu tak akan pernah ia mau ulang kembali. Mantan adalah sejarah, tak akan menjadi secercah asa untuk masa depan. Terlebih saat itu ia menjalani tidak dengan hati yang serius dan tulus. Itulah sebabnya ia merasa dilema saat ini. Berurusan dengan mantan lagi atau menerima perjodohan dari orang tuanya?

"Oke oke oke!" kata David seperti orang gila setelah pikiran dan batinnya terlibat pertikaian. David pun memutuskan untuk menghubungi Sandra yang menurut dia kadar matrealistisnya masih wajar.

Sudah tiga tahun tak pernah saling bertukar kabar dan ia hanya bisa beberapa kali melihat aktivitas Sandra di akun media sosialnya. Itu membuat David merasa sedikit canggung. Ia lebih baik bertemu dengan wanita baru, tapi tentu saja bukan wanita pilihan orang tuanya. Ia sangat enggan jika harus dijodohkan, namun mencari wanita baru kini bukan hal mudah baginya. Waktunya sangat terbatas karena pekerjaan terus memenuhi kehidupan David mulai dari ia membuka mata hingga mata terpejam di malam hari.

"Halo!" sapa David seketika sambungan telepon diangkat.

"Hai, David!" balas Sandra yang terdengar sangat sumringah di seberang sana.

Ternyata dia masih menyimpan nomorku, begitu kata batin David sambil tersenyum tipis.

"Apa kabar kamu? Udah lama banget kita nggak teleponan sejak kita putus."

Sandra cukup agresif di awal pembicaran. Hal itu membuat David kehilangan kata-kata dalam beberapa detik. Ternyata Sandra belum berubah.

"Baik, San. Kamu apa kabar?"

"Baik juga." suara genit sedikit keluar dari nada bicara Sandra.

"Kamu ada waktu nggak weekend ini?" tanya David to the point.

Hening.

"Sandra." panggil David karena tidak ada jawaban segera.

"Ehm, weekend ya? Sorry, Vid. Kayaknya aku belum bisa deh." tolak Sandra dengan suara genit yang kentara sekali di telinga David.

Dasar sok jual mahal.

David pun mengulas senyum kemenangannya, "Baiklah kalau begitu. Aku matikan telepon dulu ya, aku harus rapat direksi sekarang."

"Tapi-"

David segera memencet tombol bergambar telepon merah di layar ponselnya sebelum wanita itu meneruskan kalimatnya.

"Cih. Tiga tahun berlalu dan kamu masih sok jual mahal. Trikmu terlalu lawas Sandra." ucap David menahan tawanya.

Tak berselang lama ponsel David berdering merdu. Ia pun tahu siapa yang meneleponnya. Sandra. Ia mendengus tawa lalu berdiri dari kursi pijatnya. Tubuhnya mendadak kembali segar. Sepertinya ia rindu dengan kehidupan masa lalunya. Sudah lama ia tak merasakan sentuhan para wanita.

Telepon masih berdering lagi. David melempar ponsel perlahan ke atas meja kerjanya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Telepon itu mati. Tak berselang lama terdengar suara notifikasi dari pesan singkat. David membuka pesan itu.

Sandra : Maaf, David kalo aku ganggu kamu. Mungkin kita bisa ketemu weekend depan. Jadwalku kosong. Gimana?

Jika ada yang menarik benangnya, harus ada yang mengulurnya. Karena kalau tidak, benang itu akan putus dan layang-layang tidak akan terbang dengan sempurna. Bukan begitu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status