Sejak Seruni menginjakkan kakinya di pabrik gula, kasak kusuk berkelompok sesama buruh terlihat di mana-mana. Dimulai dari bagian divisi penggilingan tebu, pemurnian, kristalisasi hingga penguapan, semua membentuk tim ghibah berkelompok. Setiap ia melintas, kumpulan pekerja di atas lima orang berbisik-bisik sembari meliriknya berkali-kali. Topik ghibah mereka sudah jelas ; bahwa ia telah dicampakkan Bian setelah lima tahun berpacaran. Tatapan kasihan dan sebagian lagi tatapan menyukuri membayangi punggungnya. Begitulah sifat manusia. Ada saja celah bagi mereka untuk mengurusi kehidupan manusia lainnya.
Seruni mendekati mesin penggiling tebu. Memeriksa cairan tebu manis yang telah digiling dan siap dimasukkan dalam boiler. Cairan yang sudah dipanaskan akan menjadi ekstraksi jus yang mengandung sekitar 50 % air, 15% gula dan serat residu atau bagasse. Tugasnya di pabrik ini adalah memeriksa jus ekstraksi sebelum dialirkan pada mesin penjernihan atau liming.
"Apa kabar kalau Bian akan menikah minggu depan itu benar, Uni?"
Suara bariton Damar terdengar dari balik punggungnya. Damar adalah teman akrab Bian dulu. Persahabatan mereka merenggang saat mereka berdua menyukai seorang gadis yang sama, yaitu dirinya. Damar juga bekerja di pabrik ini sebagai kepala bagian Tata Usaha Keuangan.
"Begitulah, Mas," sahut Seruni pendek. Ia pura-pura sibuk memperhatikan mesin penggiling. Ia enggan banyak berbicara dengan Damar. Selain saat ini masih dalam jam kerja, Damar juga telah memiliki seorang kekasih yang kebetulan bekerja di pabrik ini juga. Namanya Widuri. Dan bukan rahasia lagi kalau Widuri memusuhinya. Maklum saja kisah cinta segitiga antara Bian, Damar dan dirinya di masa lalu, juga diketahui oleh Widuri. Makanya Widuri selalu tidak tenang setiap melihat interaksi antara dirinya dan Damar. Walaupun hanya sebatas membicarakan masalah pekerjaan.
"Akhirnya apa yang Mas bilang dulu terbukti 'kan? Bian itu tidak sebaik yang ia tampilkan di permukaan." Ocehan Damar tidak Seruni pedulikan.
Kamu juga tidak, Mas. Orang baik itu tidak akan menjelek-jelekkan teman sendiri di belakang punggungnya.
"Kalau saja dulu kamu memilih Mas, mungkin saat ini kita sudah berbahagia dengan satu atau dua orang buah hati kita," pungkas Damar lagi. Seruni berdecih. Inilah sifat Damar yang paling tidak ia suka. Suka berandai-andai dan menyalahkan keadaan.
"Dan bisa juga saat Mas ini malah mengejar-ngejar janda, padahal satu atau dua buah hati kita sedang menunggu-nunggu kehadiran Mas di rumah," balas Seruni asal. Orang yang suka mengail di air keruh seperti Damar ini perlu sekali-sekali dikerasi.
"Kamu kok bicaranya seperti itu, Uni? Dari dulu kamu tidak pernah sekali pun berusaha menyenangkan hati Mas," keluh Damar sembari bersungut-sungut.
"Karena dari dulu pun Mas selalu suka mencari kesempatan di saat kesempitan. Dan itu adalah kebiasaan yang tidak baik, Mas. Mas jadi seperti menunggu-nunggu kesalahan orang lain hanya untuk memanjakan ego Mas. Bahwa Mas itu lebih baik dari orang tersebut," tandas Seruni lagi.
"Ketahuilah Mas, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini memang sudah digariskan oleh yang Maha Kuasa. Mengenai berpaling hatinya Mas Bian, mungkin itu juga bagian dari rencanaNya. Bukan tidak mungkin, setelah ini Tuhan akan mempertemukan Uni dengan seseorang yang lebih baik lagi. Uni percaya, Tuhan tidak bermain dadu. Semua yang terjadi pasti ada alasannya. Tugas Uni sebagai manusia adalah tetap bersyukur dan berikhtiar saja. Titik." Pungkas Seruni tegas.
"Baru saja ditinggal Mas Bian, kamu sudah sibuk menggoda pacar orang ya, Uni?"
Tanpa berpaling pun Seruni sudah tau siapa yang berbicara. Widuri, pacar Damar. Hubungan mereka berdua memang cenderung seperti seorang tahanan dan sipir penjara, daripada pasangan kekasih. Widuri tidak pernah membiarkan Damar sendirian terlalu lama, sementara Damar selalu mencari cara agar bisa lolos dari pengawasan Widuri. Betapa melelahkan hubungan mereka berdua bukan? Begitulah bila suatu hubungan dibina tanpa adanya unsur kepercayaan.
"Jangan suka menarik kesimpulan sendiri, Wid. Aku tidak pernah menggoda Mas Damar, baik itu dulu ataupun sekarang. Kamu juga tau itu kan?" sahut Seruni dingin.
"Ya. Tapi itu dulu. Sewaktu kamu masih berpacaran dengan Mas Bian dan mengabaikan Mas Damar. Tapi sekarang 'kan beda. Kamu sudah dicampakkan Mas Bian. Pasti kamu sekarang blingsatan mencari pengganti Bian. Ngaku kamu!" Widuri berkacak pinggang. Air mukanya memperlihatkan kebencian yang kentara. Beginilah sikap kaumnya jika sudah cemburu buta. Sudah cemburu, buta lagi. Makanya mereka tidak bisa lagi melihat kenyataan. Kata mata hati mereka sudah buta karena tertutup syak wasangka.
"Aku kasihan melihatmu seperti ini, Wid. Hidupmu pasti tidak tenang setiap kali ada pasangan yang bubar jalan. Wid... Wid... daripada kamu sibuk memusuhi perempuan-perempuan lain, bukankah lebih baik kalau kamu fokus pada kisah cintamu sendiri? Kamu akan kelelahan kalau harus terus menjegal perempuan-perempuan yang kamu anggap saingan. Ibarat kata, daripada harus menyingkirkan satu persatu batu di jalan, lebih baik kalau kamu memakai sepatu 'kan?" ujar Seruni seraya menjauhi Damar dan Widuri. Hidupnya sudah cukup sulit saat ini. Ia tidak mau menambahinya dengan menjadi wasit di antara perseteruan sepasang kekasih yang tidak pernah harmonis ini.
"Mau ke mana kamu, pengkor? Aku belum selesai berbicara!"
Teriakan Widuri hanya dianggap angin lalu oleh Seruni. Tidak ada gunanya meladeni manusia yang sedang hilang akal. Buang-buang tenaga saja.
"Kamu tuli ya, Uni? Kasihan sekali. Sudah pengkor, eh tuli lagi!" Teriakan Widuri memerahkan telinganya. Namun Seruni tidak bergeming. Meladeni orang gila hanya akan membuatnya ikut gila juga.
"Sudah Wid. Sudah! Malu." Kali ini Damarlah yang bersuara. Mungkin ia malu karena menjadi pusat perhatian banyak orang.
"Oh, jadi Mas belain si pengkor itu? Kalau memang Mas suka sekali sama dia, ya sudah, kita putus saja!"
Hah, macam betul saja. Giliran benar-benar diputuskan, pasti Widuri akan mencari berbagai cara untuk mengelak.
"Baik. Mas juga sudah capek menghadapai segala kegilaan kamu. Mulai hari ini kita pu--"
"Mas kok begitu sih? Aku bersikap seperti ini karena aku mencintai kamu, Mas. Mas malah main minta putus saja. Mas tidak pernah menghargai perasaan cintaku sama sekali!"
Tangisan Widuri membuat Seruni memutar bola mata. Benarkan dugaannya? Seruni benar-benat gregetan mendengar ketidaksingkronan kata-kata Widuri. Yang minta putus siapa, yang dituduh memutuskan siapa.
Seruni mempercepat langkah semampunya. Bosan mendengar drama murahan sepasang kekasih labil padahal sudah bangkotan. Tapi akibatnya, kaki kanannya yang terluka karena kecelakaan dua tahun lalu terasa nyeri. Berjalan cepat membuat kaki kanannya bekerja lebih keras. Pinggul dan urat-urat kakinya mulai terasa nyeri. Tertatih-tatih Seruni menyambar satu kursi plastik di dekat mesin sentrifugasi. Setelah menghempaskan pinggul di sana, ia mengurut-urut pelan kakinya. Pertengkaran Widuri dan Damar samar-samar masih terdengar. Seruni memilih untuk menulikan telinganya.
"Kamu kenapa, Uni? Sakit lagi ya kakinya?" Mbak Endang dari bagian kristalisasi, menyapa. Kekhawatiran tersirat di kedua bola matanya.
"Nggak apa-apa kok, Mbak. Cuma sedikit nyeri saja karena Uni jalannya buru-buru. Ya Mbak tau sendiri kan kenapa?" sahut Seruni pendek. Pertengkaran Widuri dan Damar sayup-sayup masih terdengar seiring dengungan mesin sentrifugasi.
"Mereka berdua memang kayak anjing dan kucing, Uni. Tidak perlu terlalu kamu pikirkan. Widuri itu, dengan kambing yang diberi lipstick saja cemburu apalagi dengan kamu. Jangan dimasukkan ke dalam hati omongannya si Widuri ya?" Seruni mengangguk. Di antara sedikit orang-orang baik di pabrik, Mbak Endang adalah salah satunya. Mbak Endang tidak suka bergosip apalagi mengurusi orang. Apalagi saat ini Mbak Endang sedang hamil tua. Si Mbak selalu menjaga sikap dan tutur katanya. Takut menurun pada bayinya, katanya.
"Eh Mbak Endang kapan mengambil cuti? Bukannya kandungan si Mbak sudah memasuki bulan ke delapan ya?"
"Iya, Uni ingat saja hehehe. Bulan depan Mbak sudah cuti kok. Kata dokter kemarin, selama masih kuat tidak apa-apa sih bekerja. Asal jangan terlalu capek saja. Kalau sudah hamil tua malah disarankan untuk banyak bergerak agar saat persalinan nanti lancar jaya. Nah kalau yang masih hamil muda seperti Nastiti, baru bahaya. Soalnya--"
Nastiti hamil? Oh jadi ini sebabnya mereka tiba-tiba menikah?
"Eh, maksud Mbak begini. Kalau hamil muda itu 'kan kandungannya belum kuat--" Mbak Endang salah tingkah menyadari kalau ia telah salah berbicara.
"Seperti kandungannya Nastiti ya, Mbak?"
Terlanjur penasaran, Seruni langsung saja memotong kalimat Mbak Endang. Seruni tau kalau Mbak Endang keceplosan dan sedang berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Maaf ya, Uni. Mbak kelepasan bicara. Bukan maksud Mbak untuk menyindir keadaanmu saat ini. Maaf ya, Uni?" Endang serba salah dalam menanggapi pertanyaan Seruni. Seruni adalah type orang yang paling sulit ditebak hatinya. Saat ia senang, sedih atau marah sekali pun, air mukanya sama. Datar saja. Makanya ia jadi kesulitan harus bersikap bagaimana. Ia tidak tau apakah Seruni tersinggung, sedih atau bahkan marah karena ia menyinggung soal Nastiti.
"Tidak apa-apa, Mbak. Mbak 'kan tau kalau Uni bukanlah perempuan baperan. Uni hanya penasaran. Jujur, Mas Bian dan Nastiti mengatakan alasan yang sama, soal perjodohan orang tua. Uni hanya ingin mendengar versi lain dari Mbak saja. Supaya Uni tidak terlihat bodoh-bodoh amat di mata mereka."
Seruni merasa ia harus menjelaskan alasannya. Dengan begitu Mbak Endang jadi tidak ragu-ragu lagi untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
Endang menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan kalau tidak ada telinga lain yang ikut mendengar pembicaraannya. Pembicaraan seperti ini sifatnya sensitif. Ada seorang penguping saja, satu kampung pasti akan mengetahuinya.
"Kemarin sewaktu Mbak kontrol kandungan ke PUSKESMAS, Mbak bertemu dengan Nastiti yang tengah berkonsultasi dengan dokter Kartika. Dokter Kartika memang terbiasa menerima pasien dua orang sekaligus kalau sedang ramai. Supaya semua pasien kebagian konsul. Nah kebetulan giliran Mbak itu berbarengan dengan Nastiti. Dari situ Mbak jadi tau kalau Nastiti sedang hamil tiga minggu. Begitulah yang Mbak tau, Uni," terang Endang dengan air muka prihatin. Mereka sama-sama sudah dewasa dan juga bukan orang bodoh. Sebab pernikahan Bian dan Nastiti sudah jelas. Nastiti hamil oleh Bian.
"Kamu jangan sedih ya, Uni? Mbak yakin, di atas semua kesakitanmu hari ini, pasti ada hikmahnya. Setidaknya kamu jadi tau karakter Bian yang sesungguhnya sebelum kamu terlanjur menjadi istrinya bukan?"
Endang mengelus pelan bahu Seruni. Mencoba memberi dukungan sebagai sesama perempuan. Seruni tersenyum pahit. Ia sudah mengikhlasnya semuanya kendati ada sakit yang lain di hatinya. Sakit karena penghianatan dua orang yang paling disayangi dan dipercayainya. Ia sadar, mulai hari ini sepertinya ia akan sangat sulit untuk mempercayai orang lagi. Perumpamaan kondisinya saat ini, sama seperti pisiknya. Ia seperti dipaksa harus berjalan dengan satu kaki. Memang masih bisa, tapi sulit.
Sisa hari itu dijalani Seruni dengan setengah hati. Hatinya nelangsa dan pikirannya bercabang ke mana-mana. Berbagai kata seandainya, kalau saja dan seharusnya, terus berputar-putar di benaknya. Ia menyesali pernikahan Bian dan Nastiti? Tidak sama sekali. Dua orang penghianat itu memang pantas disandingkan satu sama lain. Yang ia sesali adalah waktunya yang terbuang percuma untuk dua kisah tidak berguna lima tahun lamanya. Kisah cinta sekaligus kisah persahabatannya.
***
Waktu telah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Itu berarti satu jam lagi ia sudah bisa pulang ke rumah. Seruni berikut tiga orang rekannya bersiap-siap melakukan liming, saat ektrasi jus telah melalui tahap akhir. Selanjutnya jus hasil ekstraksi mereka panaskan terlebih dahulu, sebelum melakukan liming untuk mengoptimalkan proses penjernihan.
Beberapa rekan laki-laki mencampurkan kapur berupa kalsium hidroksida atau Ca(OH) ke dalam jus, dengan perbandingan yang sudah ditentukan pihak pabrik. Selanjutnya ekstraksi jus yang sudah diberi kapur dimasukkan ke dalam tangki pengendap gravitasi atau clarifier. Ekstraksi jus yang mengalir melalui mesin clarifier setelahnya tampak menjadi lebih jernih. Tugasnya hari itu selesai sudah. Tinggal bagian dari divisi evaporasi, kristalisasi, afinasi, karbonatasi, penghilangan warna, hingga pendidihan dan sisa recovery lah yang akan melakukan sisanya. Proses mengubah tebu menjadi gula pasir memang cukup panjang prosesnya.
Seruni menarik napas lega. Ia sudah bisa pulang sekarang. Kakinya begitu pegal karena terus berdiri seharian. Terkadang, saat tidak ada mandor yang mengawasi, ia mencuri-curi duduk sebentar. Mengistirahatkan kakinya yang tidak sempurna agar tidak terlalu lelah.
Seruni berjalan ke arah gudang tempat para pekerja wanita berganti pakaian. Di lepasnya penutup kepala, masker dan pakaian kerjanya dengan kaos putih dan rok katun sederhana bermotif bunga-bunga. Ia sudah tidak sabar ingin pulang ke rumah dan beristirahat. Musim giling seperti ini memang membuat pekerjaannya lebih berat dua kali lipat. Baru saja selesai berganti pakaian, ponselnya bergetar. Seruni mengerutkan dahi saat mengetahuinya bahwa ibunyalah yang menelepon. Tumben. Tidak biasanya ibunya menelepon di jam-jam seperti ini. Toh sebentar lagi juga ia akan pulang.
"Ya, Bu. Ada apa?"
"Ini Ayah, Uni. Kamu cepat pulang. Pak Nyoto sudah menunggumu di rumah. Ayah tidak mau tahu. Pokoknya kamu harus menerima--"
Seruni menutup panggilan sekaligus mematikan teleponnya. Tidak hanya di pabrik, di rumah pun ketenangan hidup sudah tidak lagi bisa dinikmatinya. Sepertinya tidak mungkin lagi ia kembali ke rumah. Satu ide tiba-tiba melintasi benaknya. Baiklah, jika di desa ini ia tidak bisa lagi mendapatkan ketenangan, mungkin di tempat lain bisa. Setelah menarik napas panjang tiga kali, Seruni menekan satu kontak.
"Hallo, Mbak Mayang. Mbak jadi pulang ke Jakarta sore ini? Oh sudah mau jalan ya? Tunggu Uni sebentar ya, Mbak? Paling lama dua puluh menit lagi Uni pasti sudah sampai di rumah Mbak. Nanti saja Uni ceritakan semuanya ya, Mbak?"
Setelah menutup ponsel, Seruni buru-buru menyusul Pak Leman yang jam kerjanya juga sudah berakhir. Pak Leman adalah tetangga Mayang. Seruni bermaksud menumpang mobil pick up Pak Leman agar bisa lebih cepat sampai ke rumah Mayang. Dan syukurnya Pak Leman tidak keberatan ditumpangi olehnya.
Dan sore itu menjadi saksi bahwa Seruni akan meninggalkan desa yang seumur hidup belum pernah ditinggalkannya menuju kota Jakarta. Ia akan mencoba membangun hidup baru di sana bersama Mayang, yang sudah lebih dulu hijrah bertahun-tahun yang lalu. Semoga saja kelak ia bisa sesukses Mbak Mayang dan membantu keuangan ibu dan adik semata wayangnya. Aamiin.
"Ni... Uni... bangun. Kita sudah sampai di Jakarta." Sayup-sayup Seruni mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Seruni memaksa membuka matanya yang masih terasa lengket karena mengantuk. Mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali. Mencoba menyesuaikan pandangan karena silau akan cahaya lampu mobil. Saat pandangannya sudah fokus, barulah Seruni memperhatikan dengan seksama di mana sekarang ia berada. Mobil yang ia dan Mayang tumpangi berhenti di depan sebuah kompleks perumahan kecil. Rumah-rumah mungil bermodel dan bercat sama berjejer rapi. Ada sekitar dua puluhan rumah di sana."Ini mess karyawan tempat Mbak bekerja, Uni. Ayo kita masuk," ajak Mayang ramah. Seruni mengangguk. Karena tidak membawa apa-apa, ia hanya lenggang kangkung saat keluar dari mobil. Sementara supir mengeluarkan satu tas travelling yang cukup besar milik Mayang."Atasan Mbak Mayang pasti baik sekali ya, Mbak?" guman Seruni sambil berja
Sembari menyetrika jas mahal Antonio, Seruni terus berpikir. Sebenarnya apa maksud kalimat ayam jadi-jadian yang kemarin dituduhkan Antonio padanya. Ia tidak mengerti sama sekali. Ternyata predikat sebagai murid teladan saat masih sekolah dulu, tidak ada apa-apanya bila dipraktekkan di ibukota ini. Mengartikan ayam jadi-jadian saja ia tidak bisa. Kalau mahkluk jadi-jadian sih ia tau. Di kampungnya, mereka menyebut jenglot, yaitu makhluk jadi-jadian. Tapi kalau ayam jadi-jadian sampai sekarang belum ada."Hah, ayam jadi-jadian? Maksud Bapak apa?" "Jangan berlagak pilon ya kamu, ayam bersepatu? Kalau kamu memang ayamnya Astronomix, ya mengaku saja. Untuk apa kamu bersikap sok innocent segala. Ini kartu nama saya. Kalau jas saya sudah bersih seperti sedia kala, hubungi saya!"Pembicaraannya dengan Antonio terus terbayang-bayang di benaknya. Setelah mengatainya ayam jadian-jadian, Antonio kembali me
Dengan tangan gemetaran Seruni mengorder ojek online. Ia ingin secepatnya meninggalkan tempat penuh dosa ini. Bayangan Mayang yang mabuk serta Nella dan Fika yang tengah beraksi, membuatnya mual. Ia memang sudah tau apa pekerjaan mereka semua. Hanya saja ketika di hadapkan pada praktek nyata di depan mata, lain lagi ceritanya."Kamu salah dua kali hari ini," suara dari balik bahunya membuat Seruni sadar kalau ia tidak sendiri. Xander masih mengikuti di belakangnya."Apa itu, Pak?""Kotak itu bukan permen, dan saya bukan karyawan club ini." Setelah mengucapkan dua kalimat singkat itu, Xander membalikkan tubuh. Meninggalkan Seruni yang berdiri termangu."Kalau dugaan saya salah, jadi kebenarannya apa?" Seruni mengejar Xander. Menghadang langkah Xander yang akan masuk kembali ke dalam club."Tanya saja pada Mayang," sahut Xander acuh seraya menggeser tubuh Seruni ke samping.
"Selamat siang, Tuan. Ini jas Tuan. Sudah saya cuci bersih seperti sedia kala."Seruni menyerahkan bungkusan jas dengan sedikit membungkukkan tubuhnya. Sikap sopan ini memang wajib dilakukan. Setiap kali briefing, managernya tidak pernah lupa untuk mengingatkan. Air muka penuh senyum dan gestur tubuh sopan adalah halwajib yang harus diutamakan.Kata-kata Seruni hanya disambut dengusan oleh Antonio. Sejenak Seruni sempat bertatapan dengan Bian. Namun sikap Bian yang pertama kaget dan segera membuang pandangan, mengindikasikan satu hal. Bian tidak ingin dikenali. Walau memang sikap seperti ini juga yang ia harapkan, tak urung hatinya sakit juga. Hanya seperti ini sikap seorang laki-laki yang bulan lalu masih mengaku mencintainya melebihi apapun juga."Kalau tidak ada hal lainnya, saya permisi, Tuan." Seruni kembali membungkuk sopan. Bersiap-siap menghindar sejauh mungkin dari duo biang masalah di hada
Seruni membetulkan ikatan apronnya yang kendor. Ia baru saja keluar dari toilet. Ramainya pengunjung di restaurant, memaksanya menahan keinginan untuk buang air kecil. Dan kini setelah kantung air seninya kosong, barulah ia merasa lega. "Girang sekali kamu sehabis bertransaksi? Apa si Miguel tau kalau kamu suka jualan daging mentah di sini?" Si mulut mercon kembali beraksi.Seruni tidak langsung menjawab. Ia memikirkan posisinya. Setiap kalimat yang ia keluarkan pasti akan berimbas pada pekerjaannya. Makanya ia masih berusaha bersabar bagai hatinya panas menahan amarah. Bagaimanapun ia membutuhkan pekerjaan ini. Ya Tuhan, panjangkanlah sabarku."Saya tidak seperti--
Dari kejauhan saja Seruni sudah sangat mengagumi rumah baru Xander. Ia seperti melihat rumah di film-film Eropa kuno ada di depan matanya. Rumah Xander sangat luas dan bergaya klasik. Seruni merasa seperti sedang masuk ke dalam mesin waktu zaman victorian era, begitu pintu ruang utama dibuka.Pada bagian ruang tamu, terdapat sofa letter L berwarna krem yang mewah. Mejanya terbuat dari kaca penuh ukiran, disertai hamparan karpet bulu berwarna senada yang terhampar di bawahnya. Pada bagian dinding, dipenuhi dengan ornamen-ornamen antik abstrak yang tersusun rapi dari bebatuan marmer. Kemegahan lain terlihat dari tirai yang menjulang tinggi pada bagian jendela kaca berukir. Sebuah lampu hias spiral berbahan kristal, semakin melengkapi kemewahan ruangan. Satu hal yang paling menarik perhatian Seruni adalah,
Sudah seminggu ini Seruni tinggal di rumah baru Xander. Dan selama itu juga hatinya gundah gulana. Sejak ia tinggal di rumah mewah ini, ia selalu merasa bersalah terhadap keluarganya di kampung setiap kali ia akan mengisi perut. Bayangkan saja, saat di kampung dulu, lauk sehari-hari mereka begitu sederhana. Tempe, tahu, telur, kerupuk dan sayur bening, adalah menu utama mereka. Bila ia gajian, barulah ada menu ikan atau ayam di meja makan. Kalau daging, mereka hanya bisa berharap pada jatah pembagian daging kurban dari masjid setempat.Dan kini saat ia dihadapkan dengan berbagai macam menu-menu lezat menggoda selera, rasa bersalahnya kian merajalela. Di sini ia bisa makan enak hingga kenyang, sementara ibu dan adiknya di kampung entah bisa mengisi perut mereka dengan layak atau tidak. Dilema ini selalu muncul di kala ia dihadapkan pada makanan kesukaan adik kecilnya, yaitu rendang daging. Bayangan adiknya yang selalu berangan-angan bisa menikmati menu kesu
Ponsel Seruni bergetar saat ia baru saja menyentuh pintu mobil. Seruni urung membuka pintu mobil. Ia justru membuka pengait tas dan mengeluarkan ponsel dengan terburu-buru. Ia yakin kalau yang menelepon adalah Mayang untuk mengabarkan kondisi terkini ibunya. Setelah mengecek ponsel ternyata dugaannya salah. Nama Xanderlah yang terlihat di layar ponselnya. Seruni menepuk kening. Astaga, ia lupamengabari Xander kalau ia akan pulang ke Banjarnegara. Untung saja Xander meneleponnya."Ya P-- Mas Xander. Ada apa?" Seruni hampir terpeleset kata memanggil Xander dengan sebutan bapak. Ia lupa kalau posisinya sekarang adalah pacar Xander. Akan terasa ganjil kalau ia memanggil pacar sendiri dengan sebutan bapak bukan?Jeda sejenak. Xander pasti menyadari kalau dirinya sedang bersama dengan orang lainmakanya ia memanggilnya dengan sebutan mas. Perjanjian mereka berdua memang begitu. Tidak boleh ada orang yang mengetahui soal sandiwara yang