Ponsel Seruni bergetar saat ia baru saja menyentuh pintu mobil. Seruni urung membuka pintu mobil. Ia justru membuka pengait tas dan mengeluarkan ponsel dengan terburu-buru. Ia yakin kalau yang menelepon adalah Mayang untuk mengabarkan kondisi terkini ibunya. Setelah mengecek ponsel ternyata dugaannya salah. Nama Xanderlah yang terlihat di layar ponselnya. Seruni menepuk kening. Astaga, ia lupa mengabari Xander kalau ia akan pulang ke Banjarnegara. Untung saja Xander meneleponnya.
"Ya P-- Mas Xander. Ada apa?" Seruni hampir terpeleset kata memanggil Xander dengan sebutan bapak. Ia lupa kalau posisinya sekarang adalah pacar Xander. Akan terasa ganjil kalau ia memanggil pacar sendiri dengan sebutan bapak bukan?
Jeda sejenak. Xander pasti menyadari kalau dirinya sedang bersama dengan orang lain makanya ia memanggilnya dengan sebutan mas. Perjanjian mereka berdua memang begitu. Tidak boleh ada orang yang mengetahui soal sandiwara yang tengah mereka mainkan. Xander memintanya agar bermain all out.
"Kamu sedang bersama siapa, Seruni?"
Benarkan dugaannya? Xander memang peka.
"Saya sedang bersama te--teman, Mas. Oh ya, Mas, saya izin pulang ke Banjarnegara sehari ya, Mas? Ibu saya sakit keras. Mbak Mayang tadi baru saja mengabari saya dari kampung. Boleh 'kan, Mas?"
"Tidak masalah. Saya tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Saya menelepon hanya untuk mengingatkan kamu soal pesta ulang tahun ayah saya hari sabtu nanti. Kamu akan saya jemput pukul tujuh tepat. Ingat, jangan sampai telat. Hati-hati di jalan."
"Baik, Mas. Saya tidak lupa kok soal pesta ulang tahun ayah Mas. Saya--"
Tut... tut... tut...
Xander telah memutuskan pembicaraan rupanya. Begitu sifat Xander. Selalu irit dalam berbicara. Walau begitu, tadi Xander masih sempat menasehatinya agar hati-hati di jalan bukan? Senyum kecil terbit di bibir Seruni. Ia begitu bahagia menerima perhatian remeh temeh dari Xander. Sepertinya Xander mulai peduli padanya.
"Hanya karena sebuah telepon saja, kamu sampai melupakan keadaan ibumu dan malah mesam mesem sendirian. Dasar anak durhaka. Kita jadi ke Banjarnegara tidak?" Semburan Antonio membuat Seruni tersadar. Astaga ia memang sudah mirip dengan orang gila karena senyam senyum sendirian.
"Jadi dong, Tuan," jawab Seruni spontan. Dengan segera ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Antonio menyusul masuk di sebelahnya.
"Tuan... tuan... memangnya gue tuan takur?" gerutu Antonio kesal. Ia uring-uringan sendiri karena panggilan Seruni yang tidak ada manis-manisnya di telinga. Kalau dengan Xander saja, mas mos, mas mos terus. Nada suaranya juga lembut mendayu-dayu. Padahal, coba lihat siapa yang membantunya saat ia sedang kesulitan seperti sekarang ini? Bukan Xander 'kan? Dasar tidak tau terima kasih!
"Tuan bilang apa tadi? Maaf saya kurang begitu jelas mendengarnya," ujar Seruni sopan. Ia memang kurang begitu jelas mendengar gerutuan Antonio.
"Sudah, lupakan saja. Kamu memang tidak ada peka-pekanya jadi manusia," omel Antonio lagi.
Lho kok jadi marah?
Benar 'kan perkiraannya? Mobil belum juga jalan tapi Anton sudah ngedumel saja. Apakah ia akan sehat selamat seperti sedia kala sampai di Banjarnegara sana? Ia jadi tidak yakin. Seruni melirik takut-takut ke samping kanan. Lebih baik ia mengunci mulutnya saja dari pada tersembur bisa. Anggap saja Antonio ini supir bus antar kota. Dalam keheningan, mobil pun melaju perlahan meninggalkan parkiran restaurant.
"Yang menelepon kamu tadi, Xander 'kan?" Setelah hampir setengah jam berkendara, Antonio mulai kembali bersuara. Ia tidak tahan menyimpan rasa penasaran.
"Benar, Tuan. Tuan mengenal Mas Xander juga?" Seruni baru tau kalau ternyata Antonio mengenal Xander juga. Seruni memijat pelan keningnya. Bingung oleh keadan serba kebetulan yang terjadi di kehidupannya. Bayangkan saja, di antara begitu banyaknya jumlah populasi manusia di ibukota, entah mengapa ia harus terperangkap dengan orang yang itu-itu saja.
"Saya bukan hanya sekedar mengenal Xander. Tapi saya juga mengenal seluruh anggota keluarganya dengan baik. Kedua orang tua kami sudah saling mengenal sejak muda dulu," terang Antonio santai. Seruni menunggu lanjutan dari kata-kata Antonio berikutnya. Seruni yakin, pasti Antonio punya tujuan lain setelah ia menceritakan soal kedekatannya dengan keluarga Xander. Lihat saja.
"Sekarang jawab saya dengan jujur. Xander itu siapamu? Majikanmu atau teman tidur istimewamu? Mana yang benar?"
Benar 'kan tebakannya? Ya Allah, Ya Rabbi. Panjangkan lah sabarku.
"Kedua-duanya tidak ada yang benar," sahut Seruni datar. Mati-matian menahan emosi demi tumpangan gratis ke Banjarnegara. Untuk ibunya ia bersedia menebalkan telinga.
"Tidak ada yang benar? Ok. Fine. Kalau begitu katakan kebenarannya seperti apa? Hanya saja, jangan bohong."
"Mas Xander itu pacar saya," jawaban singkatnya dihadiahi siulan panjang oleh Antonio. Si mulut mercon ini seperti tidak mempercayai ucapannya.
"Pacar? Kalau ia memang pacarmu, mengapa ia tidak mengkhawatirkan keadaanmu? Kamu akan mengadakan perjalanan jauh lo ini?" sindir Antonio. Seruni membisu. Ia tidak tau harus menjawab apa. Karena apa yang dikatakan Antonio memang masuk akal.
"Ah, satu lagi. Kalau ia memang pacarmu, mengapa ia tidak cemburu saat kamu mengatakan bahwa kamu saat ini sedang bersama seorang teman? Sikapnya terlalu cuek untuk ukuran seorang pacar," cemooh Antonio lagi.
Kalo gue jadi Xander, bakalan gue tanya, temennya itu cewek atau cowok? Ada keperluan apa sampai harus ketemu segala? Bahkan kalau perlu gue tanyain juga di mana alamat rumah itu orang sekalian!
"Mas Xander itu bukan type laki-laki yang cemburuan dan nyinyiran. Mas Xander itu percaya penuh pada saya. Makanya ia merasa tidak perlu bertanya panjang lebar mengenai hal-hal yang ia anggap tidak penting. Mengenai perhatian. Mas Xander tadi menasehati agar saya berhati-hati di jalan. Bagi saya, itu saja sudah cukup. Sekali lagi Mas Xandex tidak suka bersikap terlalu berlebihan," sahut Seruni hati-hati. Ia tidak ingin terpeleset kata dan Antonio sampai mengetahui soal pacaran pura-puranya dengan Xander.
"Menasehati agar kamu berhati-hati di jalan? Seruni... Seruni... kalimat itu juga bisa kamu dapatkan dari pegawai SPBU atau bapak-bapak polisi itu." Antonio menunjuk pada serombongan polisi yang tengah melakukan patroli di jalan raya. Seruni membisu. Ia sudah kehabisan alasan untuk membantah semua analisa Antonio.
"Asal kamu tau saja, Xander pernah melempar seorang pengunjung kafe keluar jendela, hanya karena orang itu ingin berkenalan dengan Nuri. Yang begini ini kamu sebut tidak cemburuan?" ejek Antonio sembari melirik Seruni. Dan wanita tidak peka ini tetap setia dengan aksi tutup mulutnya.
"Xander juga pernah terbang jauh-jauh dari Timor Leste sana ke Jakarta, hanya karena mendengar Nuri tersengat lebah saat berkebun di pekarangan rumahnya. Ya, kamu tidak salah dengar. Cuma karena disengat lebah kecil yang tak berarti. Apa seperti itu juga sikap seorang lelaki yang katamu tidak menyukai hal-hal berlebihan?" cibir Antonio dengan air muka mengejek yang kental.
"Itu hanya masa lalu. Lagi pula pada saat kejadian itu saya juga belum mengenal Mas Xander. Jadi saya tidak perlu membahasnya. Satu yang pasti, Mas Xander selalu mengatakan bahwa ia sangat mencintai saya dan saya percaya. Udah gitu aja," elak Seruni.
Ya, mau bagaimana lagi. Walau terdengar seperti orang bodoh, ia harus menciptakan karakter sebagai seorang pacar yang berjiwa besar. Dan salah satu kriteria jiwa besar itu adalah bisa menerima masa lalu pasangan.
Antonio melirik Seruni sesaat. Tersenyum tipis alih-alih mempercayai semua bualan wanita bodoh di sampingnya ini.
"Terkadang saya sangat tidak memahami isi kepala wanita kebanyakan. Mereka jelas-jelas tau bahwa itu adalah suatu kebohongan. Namun mereka tetap menutup mata dan pura-pura percaya demi sepotong kebahagiaan yang mereka harap ada. Bodohnya memang sudah direncanakan."
Seruni tercenung. Apa yang dikatakan Antonio memang benar. Sebagian besar kaumnya lebih suka berpura-pura bertahan dalam hubungan yang salah demi kebahagiaan yang sesekali ada. Contoh paling nyata adalah ibunya. Dulu ia pernah menanyakan pada ibunya mengapa ibunya terus mempertahankan laki-laki tidak berguna seperti ayah tirinya. Dan jawaban ibunya membuatnya menggeleng-gelengkan kepala. Ibunya mengatakan, biarlah. Setidaknya ia tidak jadi janda dan menjadi bahan gunjingan tetangga. Bayangkan, ibunya rela menderita seumur hidup hanya demi menenangkan hati tetangga. Demi membuat mereka semua lega karena dengan ibu memiliki suami, mereka semua jadi berhenti khawatir kalau suami-suami mereka akan kepincut dengan ibu. Dan semua itu harus dibayar ibunya dengan penderitaan seumur hidup bersuamikan lelaki brengsek seperti ayah tirinya. Seperti kata Antonio tadi, bodohnya memang sudah direncanakan.
Antonio memelankan laju kendaraan. Lampu lalu lintas telah berubah kuning dan kemudian merah. Ia meregangkan tubuh sejenak. Memutar pinggangnya yang pegal ke kiri dan ke kanan.
"Saya hanya berharap agar kamu tidak berakhir seperti wanita-wanita bodoh itu. Dengar Seruni, kalau Xander memang mencintai kamu, saat ini dialah yang ada di samping kamu. Bukan saya. Dan kalau dia memang peduli padamu, ia akan bertanya, temanmu itu siapa? Dan apa perlunya kamu bertemu dengannya. Ia akan khawatir dan cemburu setengah mati seperti yang ia perlihatkan pada Nuri," lanjut Antonio lagi.
"Saya justru bersyukur karena Mas Xander tidak cemburuan. Pacar yang cemburuan itu tidak menyenangkan." Seruni masih terus berupaya mengelak. Ia mati-matian berusaha menciptakan kesan kalau ia memaklumi semua tingkah Xander.
"Resapi baik-baik kalimat saya ini, Seruni. Dengarlah, dicemburui memang tidak menyenangkan. Namun percayalah, tidak dikhawatirkan akan pergi oleh ia yang mengaku mencintaimu, bisa berarti banyak hal. Salah satunya adalah kebohongan. Benar memang kalau Xander itu tidak suka bersikap berlebihan terhadap orang. Selama orang itu bukan Nuri," tekan Antonio lagi. Ia sengaja mengucapkan nama Nuri dengan penuh tekanan agar si bodoh ini sadar.
"Kalau kamu masih juga belum mengerti maksud kalimat saya ini, sepertinya kamu perlu disetrum di kursi listrik agar urat-urat syarafmu berfungsi dengan benar. Dengan begitu yang cacat itu cukup hanya kakimu. Pikiran kamu jangan. Setelah itu gunakanlah otakmu dengan benar. Jangan sudah tuna daksa, kamu lengkapi juga dengan tuna grahita. Mau jadi apa hidupmu kelak? Sudah cacat tubuh, cacat pikiran juga. Mengenaskan!"
Ya Rabbi kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami. Dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri. Aamiin.
***
Langit yang tadinya cerah perlahan mulai tersaput awan kelabu. Dalam sekejab mendung telah menggantikan singgasana mentari. Antonio melirik ke samping. Seruni telah tertidur dengan posisi meringkuk dan kedua tangan memeluk diri sendiri. Pasti gadis kampung ini kedinginan. Antonio memindai jam di pergelangan tangan. Pukul enam sore kurang sepuluh menit. Berarti kurang lebih dua jam lagi mereka akan tiba di Banjarnegara. Sebenarnya saat ini ia bisa saja mengebut. Hanya saja ia tidak tega kalau sampai membuat Seruni terbangun. Gadis ini terlihat sedih dan kelelahan. Membiarkannya tertidur sekitar setengah jam lagi toh tidak akan membuatnya mati.
"Egh, dingin." Seruni mengigau dalam tidurnya. Posisi tubuhnya kian membola hingga menyerupai sebuah janin di dalam rahim.
"Dasar gadis kampung. Kena ac sedikit saja langsung menggigil. Bagaimana kalau kamu pelesiran di Eropa nanti? Bisa-Bisa kamu saingan kakunya dengan boneka salju." Antonio menggerutu sendiri.
Eh ngapain juga gue ngebayangin membawa ini makhluk udik ke Eropa?
Namun tak urung ia menghentikan juga kendaraannya di pinggir jalan yang agak sepi. Dengan apa boleh buat, ia membuka jas mahalnya dan menyelimutkannya sembarang ke tubuh Seruni. Dan untungnya jas besarnya itu bisa menyelimuti keseluruhan tubuh Seruni yang memang mungil. Syukurlah. Setidaknya Seruni bisa merasa sedikit hangat dan tidak mengigau kedinginan lagi.
"Egh, harum," Seruni kembali mengigau pelan. Ekspresi wajahnya terlihat puas bagai seperti si Emeng. Kucing Graciela yang paling senang tidur di karpet bulu kamar. Belum lagi hidung mungilnya yang kembang-kempis membaui aroma jaketnya.
"Ya jelas harumlah. Namanya juga di laundry di tempat mahal. Tidak seperti jas yang kamu cuci kemarin. Beraroma sabun batangan dan pewangi sejuta umat," rutuk Antonio kesal. Ia sampai melaundry ulang jasnya karena aroma tajam pewangi pakaian. Aromanya jadi mirip dengan Kang Asep, Satpam di komplek perumahannya.
Awan mendung yang menggantung perlahan mulai menitikkan air hujan. Mula-mula hanya berupa rinai halus yang semakin lama semakin lama semakin deras. Curahan hujan yang seperti ditumpahkan dari langit ini membuat Antonio kewalahan. Pandangannya kabur karena air hujan yang terus menutupi kaca mobil. Penyapu kacanya nyaris tidak berfungsi karena debit air yang turun luar biasa deras.
"Arghhh!"
Seruni menjerit kaget saat petir seperti ada di atas kepalanya. Ia terbangun dengan tatapan horor. Jeritannya kian menjadi-jadi ketika tatapannya tertuju pada hujan deras dan kilat yang menyambar-nyambar di langit gelap. Ia bingung ini mimpi atau kenyataan? Benaknya kembali mengulang peristiwa yang membuat hidupnya berubah 180 derajat saat kecelakaan yang ia alami beberapa tahun lalu. Kejadiannya persis seperti ini. Kala ia itu menumpang mobil pick up Mang Sutris, sepulangnya dari kota. Lusa adalah hari ulang tahun Bian, dan ia ingin memberi kejutan dengan membeli hadiah yang telah lama Bian idam-idamkan. Bomber jaket berwarna hijau tentara. Hanya saja saat mereka hampir tiba di rumahnya, tiba-tiba saja turun hujan deras. Jalanan yang licin membuat laju mobil selip sehingga membuat Mang Sutris buru-buru menginjak rem. Dan celakanya ternyata remnya blong.
"Astaga, pegangan yang erat ya, Nduk? Sepertinya rem pick up ini blong. Mamang tidak bisa mengendalikannya."
Kejadian selanjutnya adalah ia merasa mobil berguling dan ia hanya bisa menjerit sekuat-kuatnya. Seruni tidak sadar bahwa ia kini juga menjerit-jerit histeris yang membuat Antonio kelabakan. Antonio menghentikan mobil di pinggir jalan secara mendadak dan berusaha menenangkan Seruni yang terus menjerit-jerit tidak terkendali. Tatapan horornya, air matanya dan getaran di tubuhnya membuat Antonio jatuh iba. Antonio membuka sabuk pengamannya dan sabuk pengaman Seruni sekaligus. Ia mencondongkan tubuh ke arah Seruni. Memeluknya erat dan mengusap-usap pelan punggung kecilnya yang tidak berhenti bergetar.
"Tidak apa-apa, Seruni. Tidak ada apa-apa. Tenang saja. Bersama saya kamu akan aman. Percayalah."
Di tengah hujan deras, Antonio berusaha menenangkan Seruni dalam posisi yang janggal. Ia yang seumur-umur tidak pernah membujuk orang, hanya bisa mengusap-usap punggung Seruni dalam diam. Ia takut apabila ia bersuara nanti, kata-kata yang keluar malah semakin menakuti Seruni. Lebih aman begini. Selain menenangkan, ternyata ia juga mulai merasa nyaman. Pertanda apakah ini gerangan?
Seharusnya setelah mobil berguling, akan terdengar suara benturan-benturan keras yang disertai dengan serpihan kaca-kaca yang berterbangan. Tetapi kali ini tidak. Wajahnya yang menghantam keras dashboard pun tidak sakit sama sekali. Kakinya juga tidak terasa nyeri. Padahal saat itu ia melihat pintu mobil terbuka sesaat sebelum mobil terbalik dan menjepit keras kaki kanannya. Aneh bukan? Alih-alih merasa sakit luar biasa, ia malah seperti berada dalam buaian. Hangat, aman dan nyaman. Atau jangan-jangan ini hanya mimpi? Padahal sudah lama sekali ia tidak pernah memimpikan kejadian ini."Tidak apa-apa, Seruni. Tidak ada apa-apa. Tenang saja. Bersama saya kamu akan aman. Percayalah." Seruni mengerjap-ngerjapkan mata. Ia heran mengapa seperti ad
"Memangnya kamu polisi bisa memenjarakan orang seenaknya? Kamu ini sebenarnya siapa sih?" Pak Herry kesal melihat seorang anak muda yang terus menghalang-halanginya mendekati Seruni. Padahal gara-gara anak tiri tidak tau diri inilah hidupnya kumpal kampil tidak jelas selama seminggu ini. Pak Nyoto benar-benar ingin memenjarakannya karena kaburnya Seruni."Oh, jangan-jangan kamu ini backingnya Seruni ya?" cetus Pak Herry. Melihat betapa protektifnya pemuda ini pada Seruni, membuatnya menyadari sesuatu. Seruni berani pulang karena membawa bodyguard rupanya. Pak Herry mendengus. Pemuda kota pesolek ini sedang menggali kuburannya sendiri karena sudah berani mengusik incaran Pak Nyoto."Kalau iya, kenapa? Ada masalah?" tantang Antonio santai."Kalau iya, berarti kamu sudah mencari masalah dengan Pak Nyoto. Kamu harus tau kalau Seruni itu akan segera menjadi istrinya Pak Nyoto. Bisa habis kamu di tanga
Antonio membolak balik tubuhnya dengan gelisah. Ia merasa begitu sengsara saat harus tidur di kursi kayu keras seperti ini. Belum lagi kakinya lebih panjang daripada kursi. Ia jadi terpaksa harus menekuknya atau membiarkan kakinya menjuntai begitu saja melewati batas kursi. Kerasnya kayu membuat punggungnya sakit, walau Seruni telah melapisinya dengan sprei kain sederhana. Penderitaannya itu masih ditambah dengan serangan nyamuk yang begitu beringas keroyokan ingin menghisap darahnya. Ia sedikit menyesal karena menolak dibakarkan obat anti nyamuk oleh Seruni. Bukan apa-apa. Ia seolah-olah merasa seperti sate yang akan diasapi. Belum lagi aromanya membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Menghirup asapnya bukan hanya nyamuk yang akan lari. Tapi ia juga bisa mati. Antonio kembali menepuk nyamuk yang hinggap di pipinya. Astaga, ternyata menjadi orang miskin itu sengsara luar biasa!Antonio membalikkan tubuhnya sekali lagi. Ia benar-benar kesulitan untuk memej
"Nggak ada apa-apa kok Tu--""Anda siapa?" Widuri memotong kalimat Seruni dengan tidak sabar. Ia penasaran dengan laki-laki gagah yang tiba-tiba berdiri di belakang Seruni. Widuri memindai Antonio dari atas ke bawah. Berbagai dugaan melintasi kepalanya. Laki-laki ini boleh juga. Dan kalau ia mau jujur laki-laki ini terlihat menarik justru karena gaya songongnya."Anda sendiri siapa?" celetuk Antonio seraya merangkul bahu Seruni santai. Widuri terkesima. Kedua bola matanya nyaris menggelinding dari rongganya, melihat intimnyalaki-laki songong ini memperlakukan Seruni. Siapa sebenarnya laki-laki sombong ini? Mengapa ia berani sekali merangkul-rangkul Seruni?Sementara Seruni sendiri tak kalah kaget. Ia bingung. Apa maksud si tuan besar ini merangkul-rangkul bahunya seperti ini? Biasanya Antonio ini jijikan orangnya. Ia bahkan pernah mengatakan kalau ia alergi bila berdekatan dengan orang-orang miskin seperti dirinya.
Seruni gelisah. Semakin jarum jam bergerak ke arah kanan, debaran jantungnya juga semakin kencang. Hari ini adalah hari ulang tahun ayah Xander. Dan Xander akan menjemputnya pada pukul tujuh tepat nanti. Sementara waktu sekarang telah menunjukkan pukul 18.30 WIB. Itu artinya setengah jam lagi Xander akan segera tiba. Jujur, ia tidak percaya diri. Bayangkan saja, ia yang hanya seorang gadis kampung sederhana, dengan fisik yang kurang sempurna pula, harus berperan sebagai pacar Alexander Delacroix Adams. Putra kebanggaan mafia berdasi negeri ini, Axel Delaroix Adam. Bagaimana ia tidak panas dingin karenanya?Satu jam yang lalu ia tidak setegang ini. Karena pada saat itu ia belum tau seperti apa keluarga Xander yang sebenarnya. Tetapi setelah ia iseng mencari informasi tentang keluarga besar Delacroix Adams di internet, nyalinya ciut seketika. Ia sedang bermain-main dengan seorang mafia internasional rupanya. Ia khawatir kalau ia akan dilenyapkan, apabila san
Seruni mengalihkan pandangan. Sungguh ia tidak tega melihat binar mata jahil Nuri meredup. Ia dan Nuri sama-sama perempuan. Istimewa ia juga baru ditinggalkan Bian. Melihat orang yang kita cinta bersama dengan wanita lain, sakitnya memang tidak terkira. Kita seperti dipaksa untuk mengakui bahwa diri kita tidak berarti meski kita mencintai mereka setengah mati."Saya--saya keluar sebentar ya?" Nuri meminta diri dengan suara tergagap-gagap. Kesedihan jelas tergambar di raut wajahnya. Seruni merasa rangkulan Xander di bahunya kian mengetat. Seruni mendongak. Mengamati air muka Xander. Wajah Xander berubah kaku dengan mulut membentuk satu garis lurus. Xander marah. Dan semua itu pasti dikarenakan ia menyaksikan kesedihan Nuri. Seruni meringis. Makin lama cengkraman Xander kian kuat. Sepertinya Xander tidak sadar kalau ia telah menyakitinya."Mas, sakit." Seruni berbisik pelan. Kaget, Xander melepas cengkramannya. Selanjutnya ia menyusul Nuri y
"Ini pada mau ke mana sih Mas? Nggak jadi ya acara makan-makannya?" Tante Raline, ibunya Xander, menghadang langkah Om Axel. Di samping Tante Raline, ada seorang wanita paruh baya lain yang mengikuti. Seruni merasa familiar dengan sorot mata jahil tante-tante cantik ini. Oh iya, garis wajah dan cengirannya sebelas dua belas dengan Om Axel. Pasti tante ini yang namanya Liberty Delacroix Adams alias si flawless Lily. Adik satu-satunya Om Axel. Untung saja ia sempat membaca tentang silsilah keluarga Xander di internet. Jadi sedikit banyak, ia bisa memahami keunikan keluarga ini. Walau jujur ia tidak mengira ternyata mereka semua segila ini."Jadi dong, Sayang. Tapi anak-anak pada mau olahraga dulu. Sebagai tuan rumah yang baik, ya Mas harus menjamu mereka dong. Kamu dan Lily mau ikut nonton tidak? Lumayan bisa nonton MMA live, gratis lagi." Ta
"Sakit tidak, Mas?" Seruni dengan hati-hati membersihkan luka di pelipis Xander. Pertarungan telah usai. Para petarung yang terluka saat ini tengah berkumpul di ruang perawatan. Ruangan ini memang diperuntukkan bagi para anak buah Om Axel yang terluka selama latihan fisik. Dan di sinilah ia berada. Merawat kekasihnya yang terluka tentu saja. Perannya masih harus ia lanjutkan. Ia tidak mau lagi membuat orang-orang salah paham lagi, tentang perasaannya pada Antonio."Hm," jawaban irit Xander yang berupa lenguhan, tidak dimengerti dengan baik oleh Seruni. Hmnya itu menyatakan sakit, atau bisa jadi karena tenggorokannya seret bukan? Tetapi tentu saja Seruni tidak berani bertanya. Takutnya dijawab tidak, dipelototin yang ada.Seruni menuang sedikit alkohol pada kapas. Kemudian ia mulai membersihkan luka-luka di wajah Xander dengan hati-hati. Sembari bekerja, ia berkali-kali mendesis lirih sendiri. Ia ngeri melihat luka-luka di