Sudah seminggu ini Seruni tinggal di rumah baru Xander. Dan selama itu juga hatinya gundah gulana. Sejak ia tinggal di rumah mewah ini, ia selalu merasa bersalah terhadap keluarganya di kampung setiap kali ia akan mengisi perut. Bayangkan saja, saat di kampung dulu, lauk sehari-hari mereka begitu sederhana. Tempe, tahu, telur, kerupuk dan sayur bening, adalah menu utama mereka. Bila ia gajian, barulah ada menu ikan atau ayam di meja makan. Kalau daging, mereka hanya bisa berharap pada jatah pembagian daging kurban dari masjid setempat.
Dan kini saat ia dihadapkan dengan berbagai macam menu-menu lezat menggoda selera, rasa bersalahnya kian merajalela. Di sini ia bisa makan enak hingga kenyang, sementara ibu dan adiknya di kampung entah bisa mengisi perut mereka dengan layak atau tidak. Dilema ini selalu muncul di kala ia dihadapkan pada makanan kesukaan adik kecilnya, yaitu rendang daging. Bayangan adiknya yang selalu berangan-angan bisa menikmati menu kesukaannya itu sesering mungkin mencuil hati nuraninya.
Seruni mengambil sepotong daging rendang yang empuk. Memindahkannya ke piring dan memotongnya sedikit dengan sendok dan garpu. Mengunyahnya pelan-pelan sembari menikmati cita rasanya. Ketika rendang daging yang lezat itu melewati tenggorokannya, air mata Seruni kembali menggenang. Ia teringat pada percakapan tentang makan tempe rasa daging rendang yang pernah diajarkan oleh adiknya.
"Mbak tau nggak cara makan tempe tapi jadi rasa daging rendang? Caranya, pas Mbak gigit tempenya, Mbak harus tutup mata. Terus bayangin kalau kita sedang menggigit-gigit daging rendang. Terus aja pikirin kayak gitu, Mbak. Nah, ntar lama-lama rasanya jadi sama kok kayak daging rendang. Beneran lho, Mbak. Dini selalu memakai cara seperti itu kalau Dini sedang kepingin makan daging rendang."
Teringat kembali pada cerita lugu adik kecilnya, membuat air mata Seruni menitik perlahan. Kasihan sekali adik kecilnya. Dini jarang sekali makan enak karena ayahnya memang pemalas. Selama ini dialah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ayah tirinya hanya bekerja serabutan saat musim giling di perkebunan tebu milik Pak Sunyoto. Sementara musim giling tebu adalah sekitar sebelas sampai dua belas bulan sekali. Jadi bisa dikatakan bahwa ayah tirinya hanya bekerja sekali dalam setahun. Itu pun hanya dalam kurun waktu satu periode musim giling, yaitu sebulan. Bayangkan mereka akan makan apa selama sebelas bulan sisanya kalau ia tidak bekerja.
Ibunya sudah berkali-kali memohon pada ayah tirinya agar menjadi buruh pabrik tetap saja. Dengan begitu akan ada gaji di setiap bulannya. Seperti almarhum ayah kandungnya dulu. Tetapi ayah tirinya selalu menolak dengan alasan menjadi buruh tetap di perkebunan itu sangat berat. Setiap hari harus melakukan pemupukan, penyiangan, pembumbunan hingga panen akan yang akan menguras habis tenaganya. Ayahnya beralasan kalau ia tidak bisa melakoni semua itu karena penyakit asma yang diidapnya. Padahal masalahnya hanya satu. Ayah tirinya memang pemalas.
Kalau ibunya sendiri, dulunya memang bekerja di pabrik. Tetapi seiring bertambahnya usia, gerakan ibunya jadi tidak selincah dulu lagi. Sementara pekerjaan di pabrik gula membutuhkan ketelitian dan mobilitas yang tinggi. Ibunya kalah tenaga dengan yang muda-muda. Akhirnya bisa ditebak. Ibunya di rumahkan dengan sejumlah pesangon yang tidak seberapa. Itu pun uangnya langsung habis saat digunakan ayah tirinya untuk membeli sebuah motor tua. Ayah tirinya memang sebajing-bajinganya suami dan seorang ayah.
"Lho kok nggak jadi dimakan rendang dagingnya, Nduk? Tidak enak ya?" Mbok Iyem heran melihat Seruni yang menyisihkan rendang ke piring lainnya. Padahal rendangnya juga baru digigit secuil. Mbok Iyem jadi merasa tidak enak hati. Jangan-jangan daging rendangnya tidak enak.
"Rendangnya kepedesan kali, Mbok. Lihat tuh Mbak Uni sampai keluar air mata pas mencicipinya. Cabainya kebanyakan kali ya?" Wati, salah seorang ART yang dipekerjakan Xander nyeletuk. Seruni buru-buru menggeleng. Lihatlah akibat rasa sentimentil yang tidak pada tempatnya, ia telah membuat Mbok Iyem menjadi tidak enak hati.
"Bukan tidak enak, Mbok. Enak banget malahan. Saya hanya teringat pada keluarga di kampung yang hanya bisa makan daging setahun sekali," guman Seruni pelan. Mbok Iyem dan Wati saling memandang. Kalimat Seruni sukses membuat mereka ikut bersedih karena teringat kampung halaman. Mereka berdua sangat paham dengan apa yang dirasakan oleh Seruni. Karena mereka berdua pun merasakan hal yang sama di awal-awal kedatangan mereka di ibukota.
"Iya, Mbok mengerti perasaanmu, Nduk. Tapi dengan kamu tidak makan seperti ini apa ada gunanya buat mereka? Tidak 'kan? Yang ada kamu malah bisa jatuh sakit." Mbok Iyem mengelus pelan bahu Seruni. Mencoba menasehati nona mudanya.
"Yang benar adalah kamu harus makan yang banyak agar kuat mencari rezeki. Dengan begitu kamu jadi bisa menyisihkan sebagian rezeki untuk membantu keluargamu di kampung." Nasehat Mbok Yem sabar. Seruni menganggguk dan melanjutkan mengisi perut walau ia telah kehilangan selera. Nasehat Mbok Iyem memang benar. Bersikap sentimentil memang tidak akan menghasilkan apa-apa.
Perasaan bersalah terus menggelayuti hati Seruni hingga ke restaurant. Selain itu sudah beberapa hari ini juga ia kerap bermimpi buruk. Ia takut kalau terjadi sesuatu yang buruk terhadap ibu dan adiknya. Untungnya tadi pagi-pagi sekali Mayang meneleponnya dan mengatakan kalau ia akan pulang ke kampung untuk menghadiri pernikahan salah seorang sepupunya. Ia sangat gembira mendengarnya. Dengan begitu ia jadi bisa meminta tolong Mayang untuk melihat-lihat keadaan ibunya.
Seruni memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul 12.30 WIB. Berarti sebentar lagi, Mayang akan tiba di kampung. Karena Mayang tadi berangkat sekitar pukul enam pagi. Sementara jarak antara Jakarta ke Banjarnegara itu sekitar 6 jam lebih tiga puluh menit via mobil pribadi. Mayang memang lebih suka menggunakan transportasi mobil apabila pulang ke Banjarnegara. Ia takut jatuh saat naik pesawat katanya.
"Mbak Uni, tolong antarkan pesanan meja 14 ya, Mbak? Saya kebelet pipis ini. Udah kelamaan nahannya," cicit Sahara meringis-ringis sembari memegangi bawah perutnya. Ramainya tamu yang datang di jam makan siang memang membuat para waitrees kewalahan. Sampai-sampai untuk menunaikan panggilan alam pun mereka kesusahan. Seruni mengacungkan jempol sembari berjalan ke arah meja koki. Ia segera mengangkat baki dengan catatan meja 14 dan berjalan secepat yang ia mampu menuju ke meja tamu. Semakin mendekati meja 14 Seruni menarik napas panjang beberapa kali. Berusaha menetralisir emosin agar tekanan darahnya tidak meningkat saat menemui tamunya. Tuan Antonio Brata Kesuma yang terhormat. Sebenarnya Seruni merasa heran. Antonio kerap menyatakan kalau ia bosan dengan menu-menu yang ada restaurant ini. Tetapi hampir bisa dikatakan setiap hari tuan besar ini malah makan siang di sini. Kata-katanya kontradiktif sekali.
"Selamat siang, Tuan. Ini pesanan tuan. Homemade spanish sausage platter dan mineral water. Selamat menikmati." Seruni meletakkan pesanan Antonio di atas meja dan menyilangkan tangan ke dada. Gestur wajib waitress yang harus ia lakukan pada setiap tamu. Baru saja ia ingin membalikkan badan kembali ke pantry, Sahara berlari-lari kecil menghampirinya.
"Mbak Uni, ini hape Mbak bunyi terus di loker. Jadi saya buka aja loker si Mbak dan mengambil ponselnya. Siapa tau ada berita mendesak yang harus Mbak terima. Ini Mbak, bunyi lagi tuh ponselnya," Sahara menyerahkan ponsel ke tangan Seruni. Jantung Seruni seketika berdetak dua kali lebih kencang saat melihat nama Mayang yang berulang kali meneleponnya.
"Halo Mbak, Mayang. Ada a--"
"Uni, sepertinya kamu pulang ke kampung sekarang juga. Ibumu sakit keras, Uni!"
"Hah? Ibu sakit? Sakit apa, Mbak? Terus Ibu sekarang ada di mana?" Sekarang bukan hanya jantung Seruni yang berdetak kencang, tapi kedua tangannya juga gemetaran hebat. Ibunya sakit keras ternyata.
"Di rumah sakit, Uni. Sepertinya ibumu stress dan kelelahan. Ibumu sekarang kerja serabutan di perkebunan. Sudahlah, nanti saja detailnya Mbak ceritakan. Sebaiknya sekarang kamu minta izin pada manager restaurant untuk pulang kampung. Apabila manager restaurant mempersulit, baru kamu telepon langsung Senor Miguel. Mbak tidak bisa menelepon Senor Miguel di luar club. Karena hal itu dilarang keras oleh Pak Xander. Kamu tau sendiri 'kan aturan-aturannya? Ingat ya, Uni kalau kamu dipersulit saja, baru kamu menelepon. Jangan melangkahi jabatan. Paham, Uni?"
Seruni mengangguk gugup. Saking cemasnya ia sampai lupa kalau Mayang tidak akan bisa melihat anggukannya di ujung telepon sana. Yang ada di pikirannya saat ini adalah keadaan ibunya. Dengan langkah tertatih-tatih, Seruni berjalan secepat mungkin ke sudut retaurant. Biasanya Pak Sofyan kerap berdiri di sana untuk memantau para tamu dan waitress yang berlalu lalang. Ia juga tidak menyadari kalau Antonio sudah berdiri dari meja 14 dan membuntuti langkahnya diam-diam. Dan tebakannya memang benar. Pak Sofyan ada di sudut ruangan. Hanya saja Pak Sofyan tidak sedang memperhatikan tamu yang berlalu lalang. Tetapi duduk diam dan dengan serius memandangi ponsel.
Seruni menyeret langkah kian cepat menghampiri sang manager. Ia nyaris terjerembab saat langkahnya membentur undakan yang sedikit lebih tinggi dari ubin. Untungnya ada sepasang tangan yang dengan sigap menahan kedua bahunya.
"Terima ka--kasih Tuan Anton." Seruni tergagap saat memindai wajah penolongnya. Dan seperti biasa wajah si anak sultan ini datar-datar saja.
"Saya menolong kamu hanya karena faktor kemanusiaan belaka. Jangan setelah kakimu tidak sempurna, tanganmu ikut patah juga. Entah seperti apa penampakanmu nantinya."
Tarik napas, buang napas. Sabar.
Tanpa mempedulikan kalimat Antonio, Seruni bergegas mendekati Pak Sofyan.
"Selamat siang, Pak Sofyan. Saya minta izin pulang ke Banjarnegara ya, Pak? Ibu saya sakit keras. Saya janji lusa saya akan masuk kerja seperti biasanya. Saya--"
"Astaga, Seruni. Kamu mengagetkan saya!" Pak Sofyan nyaris menjatuhkan ponsel saat mendengar suaranya.
"Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud mengagetkan, Bapak. Saya hanya ingin minta izin cuti--"
"Tidak bisa! Kamu itu masih dalam masa trainning, Seruni. Kamu tidak bisa sesuka hati izin keluar masuk restaurant seperti ini. Memangnya ini restaurant nenek moyangmu?" Sofyan mengamuk. Waitress yang satu ini memang ada-ada saja permintaannya. Setelah boss besar memperbolehkannya pulang pukul enam sore, sementara pekerja lain pulang pukul sepuluh malam termasuk dirinya, sekarang malah minta izin cuti lagi. Diberi hati malah meminta jantung.
"Apa restaurant ini juga punya nenek moyang, Anda Pak Sofyan? Tetapi sepengetahuan saya, restaurant ini masih milik Miguel Santos," celetuk Antonio santai-santai mengancam. Sofyan seketika terdiam. Ia nyaris tidak percaya kalau teman baik boss besarnya ini memihak Seruni. Masih segar dalam ingatannya kalau si anak sultan ini kemarin dulu memaki-maki Seruni karena kecerobohannya. Tapi kini si tuan besar ini malah menyindir-nyindirnya.
"Apa perlu saya memberitahu Miguel kalau Anda kerap menonton video bokep saat Anda seharusnya sedang bekerja?" ancam Antonio dengan senyum mengejek. Detik berikutnya ponsel Sofyan telah berpindah tangan. Antonio bersiul saat memeriksa laman-laman situs porno yang ditelusiri Sofyan. Laki-laki gaek ini doyan nonton beginian juga ternyata.
"Tolong kembalikan ponsel saya, Pak Anton. Saya mohon. Saya membutuhkan pekerjaan ini," pinta Sofyan gugup. Selain malu pada Seruni ia juga takut dipecat. Ia sama sekali tidak menyangka kalau anak sultan ini ternyata mengamati kelakuan nakalnya. Selama ini tidak seorang pun yang tau akan kegemaran terlarangnya ini. Antonio ini seorang pengamat yang cermat rupanya.
"Dan ibu Seruni juga membutuhkan kehadiran putrinya di sisinya,"
Satu sama.
"Baiklah, kamu boleh cuti sehari Seruni. Tapi ingat, lusa kamu sudah harus ada di sini. Mengerti?" Walaupun kartu As-nya sudah ketahuan, tapi Sofyan tetap berusaha bersikap tegas. Bagaimanapun ia adalah seorang manager.
"Terima kasih, Pak sofyan. Terima kasih banyak. Saya janji insya Allah lusa saya sudah akan kembali bekerja. Sekali lagi terima kasih," Seruni berkali-kali membungkukkan tubuh dan segera berlalu dari hadapan Sofyan. Ia harus buru-buru mengecek ponsel untuk mencari tiket bus ke Banjarnegara. Kemarin dulu Sahara telah mengajarinya cara memesan bus online. Hanya saja kalau buru-buru seperti ini masih bisa mendapatkan tiket? Selain itu ia juga tidak tau jalan-jalannya. Seumur hidup baru kali inilah ia meninggalkan kampung halaman. Itu pun dengan menumpang kendaraan pribadi Mayang. Ia benar-benar buta jalan.
"Kamu sudah sering pulang pergi ke kampung sendirian?" Antonio yang masih setia mengikuti langkahnya mulai bersuara. Seruni menggeleng cepat.
"Saya tidak pernah pulang kampung sendirian. Saya di Jakarta ini juga baru tiga mingguan. Waktu saya kabur ke sini juga saya menumpang mobil Mbak Mayang. Jadi saya tidak tau ini bagaimana caranya bisa pulang?" desah Seruni bingung. Ia takut kesasar.
"Ya sudah, kalau begitu kamu akan saya antar pulang ke Banjarnegara. Saya tidak suka melakukan aksi kemanusiaan setengah-setengah."
"Tuan serius?" Seruni memandang wajah Antonio dalam-dalam. Ia takut kalau telinganya salah dengar. Antonio itu 'kan tidak bisa berbicara enak lebih dari 3 menit. Bagaimanalah jika mereka terjebak dalam mobil selama 12 jam lebih pulang pergi? Seruni malah takut kalau ia akan diturunkan di jalan dalam satu jam pertama saja.
Sementara itu yang ditatap lekat-lekat merasa darahnya berdesir. Jantungnya serasa jumpalitan tidak karuan seperti sedang melakukan bungee jumping.
"Saya tidak akan menjanjikan sesuatu kalau saya tidak berniat untuk menunaikannya. Hidup saya tidak sebercanda itu, Seruni."
"Bukannya saya tidak mempercayai niat Tuan. Hanya saja, Banjarnegara itu jauh, Tuan. Menurut Mbak Mayang, sekitar 12 jam lebih pulang pergi kalau berkendara. Lagi pula saya yang punya kampung saja tidak tau jalannya, apalagi Tuan 'kan?" guman Seruni pelan.
"Maka untuk itulah aplikasi seperti maps dan waze diciptakan. Dengar Seruni, kamu cukup mengatakan ya saja. Sisanya biar saya yang mengurus. Belajarlah untuk mempercayai orang." Antonio gregetan melihat Seruni yang terus meragukan keseriusannya.
"Terakhir kali saya mempercayai orang, saya malah dihianati habis-habisan. Saya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama dengan mempercayai orang-orang yang salah. Sekarang saya ingin menjalani hidup di jalan yang lurus-lurus saja."
Astaga Uni, kok kamu malah jadi curhat sih?
"Dengar baik-baik, Seruni. Hidup itu tidak ada yang lurus-lurus saja. Tetapi turun naik, berkelok-kelok dan penuh dengan tikungan tajam tak terduga. Namun kamu tidak perlu takut. Yang penting saat kamu menjalaninya, berjalanlah dengan waspada agar tidak celaka. Ingatlah, jangan mengeluhkan hidup. Karena hidup begitulah adanya. Mengenai kamu yang dihianati, mungkin pilihan kamu waktu itu salah karena kamu sedang didekatkan pada yang benar. Berpikir positif saja. Habis perkara."
"Jadi Tuan benar-benar serius ingin--"
"Kalau kamu tidak mau ya tidak masalah. Toh yang sedang kesusahan itu kamu, bukan saya."
"Ayo kita pergi, Tuan. Semakin cepat semakin baik." Seruni dengan segera meralat ucapannya. Ia takut kalau Antonio kembali menarik tawarannya.
Lama-lama kok gue jadi ngerasa kayak tuan takur ya? Sepertinya gue harus ganti panggilan ini. Kalau dipanggil Mas atau Abang cocok nggak ya? Eh Ton, lo mikir apa sih? Ganjen amat lo pengen di panggil Abang. Emang lo tukang bakso?
Antonio menggeleng-gelengkan kepala. Berusaha menepis pikiran yang tidak-tidak dari benaknya. Akhir-akhir ini ia memang cenderung gila. Perasaannya cenderung lebih memegang kendali dibanding otaknya. Fixed sepertinya ia harus berkonsultasi dengan seorang psikiater!
Notes.
Bungee jumping adalah sebuah aktivitas out bound saat seseorang terjun dari sebuah tempat tinggi. Biasanya sekitar beberapa ratus kaki atau meter, dengan satu ujung dari tali elastis yang ditempel di badan atau pergelangan kaki dan ujung talinya satunya terikat ke titik lompatan. Saat terjun, tali tersebut akan melar setelah mengambil energi dari lompatan, dan peloncat akan terlontar balik ketika tali tersebut memendek. Peloncat akan berosilasi naik dan turun sampai energi dari loncatan habis.
Ponsel Seruni bergetar saat ia baru saja menyentuh pintu mobil. Seruni urung membuka pintu mobil. Ia justru membuka pengait tas dan mengeluarkan ponsel dengan terburu-buru. Ia yakin kalau yang menelepon adalah Mayang untuk mengabarkan kondisi terkini ibunya. Setelah mengecek ponsel ternyata dugaannya salah. Nama Xanderlah yang terlihat di layar ponselnya. Seruni menepuk kening. Astaga, ia lupamengabari Xander kalau ia akan pulang ke Banjarnegara. Untung saja Xander meneleponnya."Ya P-- Mas Xander. Ada apa?" Seruni hampir terpeleset kata memanggil Xander dengan sebutan bapak. Ia lupa kalau posisinya sekarang adalah pacar Xander. Akan terasa ganjil kalau ia memanggil pacar sendiri dengan sebutan bapak bukan?Jeda sejenak. Xander pasti menyadari kalau dirinya sedang bersama dengan orang lainmakanya ia memanggilnya dengan sebutan mas. Perjanjian mereka berdua memang begitu. Tidak boleh ada orang yang mengetahui soal sandiwara yang
Seharusnya setelah mobil berguling, akan terdengar suara benturan-benturan keras yang disertai dengan serpihan kaca-kaca yang berterbangan. Tetapi kali ini tidak. Wajahnya yang menghantam keras dashboard pun tidak sakit sama sekali. Kakinya juga tidak terasa nyeri. Padahal saat itu ia melihat pintu mobil terbuka sesaat sebelum mobil terbalik dan menjepit keras kaki kanannya. Aneh bukan? Alih-alih merasa sakit luar biasa, ia malah seperti berada dalam buaian. Hangat, aman dan nyaman. Atau jangan-jangan ini hanya mimpi? Padahal sudah lama sekali ia tidak pernah memimpikan kejadian ini."Tidak apa-apa, Seruni. Tidak ada apa-apa. Tenang saja. Bersama saya kamu akan aman. Percayalah." Seruni mengerjap-ngerjapkan mata. Ia heran mengapa seperti ad
"Memangnya kamu polisi bisa memenjarakan orang seenaknya? Kamu ini sebenarnya siapa sih?" Pak Herry kesal melihat seorang anak muda yang terus menghalang-halanginya mendekati Seruni. Padahal gara-gara anak tiri tidak tau diri inilah hidupnya kumpal kampil tidak jelas selama seminggu ini. Pak Nyoto benar-benar ingin memenjarakannya karena kaburnya Seruni."Oh, jangan-jangan kamu ini backingnya Seruni ya?" cetus Pak Herry. Melihat betapa protektifnya pemuda ini pada Seruni, membuatnya menyadari sesuatu. Seruni berani pulang karena membawa bodyguard rupanya. Pak Herry mendengus. Pemuda kota pesolek ini sedang menggali kuburannya sendiri karena sudah berani mengusik incaran Pak Nyoto."Kalau iya, kenapa? Ada masalah?" tantang Antonio santai."Kalau iya, berarti kamu sudah mencari masalah dengan Pak Nyoto. Kamu harus tau kalau Seruni itu akan segera menjadi istrinya Pak Nyoto. Bisa habis kamu di tanga
Antonio membolak balik tubuhnya dengan gelisah. Ia merasa begitu sengsara saat harus tidur di kursi kayu keras seperti ini. Belum lagi kakinya lebih panjang daripada kursi. Ia jadi terpaksa harus menekuknya atau membiarkan kakinya menjuntai begitu saja melewati batas kursi. Kerasnya kayu membuat punggungnya sakit, walau Seruni telah melapisinya dengan sprei kain sederhana. Penderitaannya itu masih ditambah dengan serangan nyamuk yang begitu beringas keroyokan ingin menghisap darahnya. Ia sedikit menyesal karena menolak dibakarkan obat anti nyamuk oleh Seruni. Bukan apa-apa. Ia seolah-olah merasa seperti sate yang akan diasapi. Belum lagi aromanya membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Menghirup asapnya bukan hanya nyamuk yang akan lari. Tapi ia juga bisa mati. Antonio kembali menepuk nyamuk yang hinggap di pipinya. Astaga, ternyata menjadi orang miskin itu sengsara luar biasa!Antonio membalikkan tubuhnya sekali lagi. Ia benar-benar kesulitan untuk memej
"Nggak ada apa-apa kok Tu--""Anda siapa?" Widuri memotong kalimat Seruni dengan tidak sabar. Ia penasaran dengan laki-laki gagah yang tiba-tiba berdiri di belakang Seruni. Widuri memindai Antonio dari atas ke bawah. Berbagai dugaan melintasi kepalanya. Laki-laki ini boleh juga. Dan kalau ia mau jujur laki-laki ini terlihat menarik justru karena gaya songongnya."Anda sendiri siapa?" celetuk Antonio seraya merangkul bahu Seruni santai. Widuri terkesima. Kedua bola matanya nyaris menggelinding dari rongganya, melihat intimnyalaki-laki songong ini memperlakukan Seruni. Siapa sebenarnya laki-laki sombong ini? Mengapa ia berani sekali merangkul-rangkul Seruni?Sementara Seruni sendiri tak kalah kaget. Ia bingung. Apa maksud si tuan besar ini merangkul-rangkul bahunya seperti ini? Biasanya Antonio ini jijikan orangnya. Ia bahkan pernah mengatakan kalau ia alergi bila berdekatan dengan orang-orang miskin seperti dirinya.
Seruni gelisah. Semakin jarum jam bergerak ke arah kanan, debaran jantungnya juga semakin kencang. Hari ini adalah hari ulang tahun ayah Xander. Dan Xander akan menjemputnya pada pukul tujuh tepat nanti. Sementara waktu sekarang telah menunjukkan pukul 18.30 WIB. Itu artinya setengah jam lagi Xander akan segera tiba. Jujur, ia tidak percaya diri. Bayangkan saja, ia yang hanya seorang gadis kampung sederhana, dengan fisik yang kurang sempurna pula, harus berperan sebagai pacar Alexander Delacroix Adams. Putra kebanggaan mafia berdasi negeri ini, Axel Delaroix Adam. Bagaimana ia tidak panas dingin karenanya?Satu jam yang lalu ia tidak setegang ini. Karena pada saat itu ia belum tau seperti apa keluarga Xander yang sebenarnya. Tetapi setelah ia iseng mencari informasi tentang keluarga besar Delacroix Adams di internet, nyalinya ciut seketika. Ia sedang bermain-main dengan seorang mafia internasional rupanya. Ia khawatir kalau ia akan dilenyapkan, apabila san
Seruni mengalihkan pandangan. Sungguh ia tidak tega melihat binar mata jahil Nuri meredup. Ia dan Nuri sama-sama perempuan. Istimewa ia juga baru ditinggalkan Bian. Melihat orang yang kita cinta bersama dengan wanita lain, sakitnya memang tidak terkira. Kita seperti dipaksa untuk mengakui bahwa diri kita tidak berarti meski kita mencintai mereka setengah mati."Saya--saya keluar sebentar ya?" Nuri meminta diri dengan suara tergagap-gagap. Kesedihan jelas tergambar di raut wajahnya. Seruni merasa rangkulan Xander di bahunya kian mengetat. Seruni mendongak. Mengamati air muka Xander. Wajah Xander berubah kaku dengan mulut membentuk satu garis lurus. Xander marah. Dan semua itu pasti dikarenakan ia menyaksikan kesedihan Nuri. Seruni meringis. Makin lama cengkraman Xander kian kuat. Sepertinya Xander tidak sadar kalau ia telah menyakitinya."Mas, sakit." Seruni berbisik pelan. Kaget, Xander melepas cengkramannya. Selanjutnya ia menyusul Nuri y
"Ini pada mau ke mana sih Mas? Nggak jadi ya acara makan-makannya?" Tante Raline, ibunya Xander, menghadang langkah Om Axel. Di samping Tante Raline, ada seorang wanita paruh baya lain yang mengikuti. Seruni merasa familiar dengan sorot mata jahil tante-tante cantik ini. Oh iya, garis wajah dan cengirannya sebelas dua belas dengan Om Axel. Pasti tante ini yang namanya Liberty Delacroix Adams alias si flawless Lily. Adik satu-satunya Om Axel. Untung saja ia sempat membaca tentang silsilah keluarga Xander di internet. Jadi sedikit banyak, ia bisa memahami keunikan keluarga ini. Walau jujur ia tidak mengira ternyata mereka semua segila ini."Jadi dong, Sayang. Tapi anak-anak pada mau olahraga dulu. Sebagai tuan rumah yang baik, ya Mas harus menjamu mereka dong. Kamu dan Lily mau ikut nonton tidak? Lumayan bisa nonton MMA live, gratis lagi." Ta