Share

5. Pesona Seorang Ziva

Dengan rahang kokoh dan tegas. Seorang pria berumur 40 tahun berbalik memandang Ziva yang kini menunduk dengan kedua tangan yang saling menggenggam karena takut akan kemarahan sang papa. Dewantara Natpraja menyorotkan tatapan mematikan kepada putrinya itu.

“Sudah puas?” tanyanya mengeluarkan suara serak nan basah.

“Lapor! kurang puas, Pa. Ziva ... belum selesai dan Papa sudah menjemput Ziva secepat itu.”

“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Ziva? Membuat keluarga Pramono kecewa padamu?”

Ziva berdecak mendengar nama keluarga itu. Pria nafsuan yang ingin menikah dengannya berada di sana.

“Ziva tidak ingin menikah dengannya, Pa. Ziva ....”

“Cukup Ziva! Seminggu lagi kalian akan menikah.”

“Pa, Ziva tidak bisa.”

“Papa tidak menerima penolakan. Jangan membangkang! Siapa yang mengajarimu seperti itu?”

Ziva menghela nafas pelan dan segera ingin menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Tapi ia memutar otak untuk menyusun kata yang akan keluar dari mulutnya agar sang papa tidak marah besar.

Ah! Ingin sekali Ziva berteriak ia sudah tidak perawan dan juga telah diperkosa. Entah apa yang akan terjadi pada tubuhnya selanjutnya. Semoga saja ia tidak mengandung benih pria brengsek itu.

“Apa yang ingin kamu katakan!”

“Ziva sebenarnya ....”

“Ziva!” Suara teriakan nyaring menggelegar, membuat Ziva terpekik begitupun dengan sang papa yang segera menampilkan wajah damai di depan mamanya. 

Pawangnya telah berada di depan mata. Mana berani papanya memarahinya.

Ziva merasa menang banyak sekarang. Ia berbalik dan memeluk sang mama yang terlihat sangat merindukannya.

“Kemana dirimu selama ini, Ziva? Toni telah mencarimu ke segala penjuru kota. Tapi kamu tidak di temukan.”

“Ziva bersembunyi, Ma. Tapi Toni yang kepo itu telah menemukan Ziva.”

“Kepo? Bahasa apa itu, Sayang?”

“Ah? Maksudnya cerewet gitu.” Dapat Ziva lihat sang papa memberikan peringatan dengan sorot mata yang sangat menyeramkan. 

Keluarganya tidak pernah memakai kosa kata gaul dan itu dilarang turun temurun dari masa kakek buyutnya. 

“Pa, kamu memarahi Ziva?” tanya sang mama. Dewa segera menggelengkan kepalanya dan memberikan Ziva peringatan agar tidak mengadu.

“Tidak, Ma. Papa hanya sedikit mengintrogasi Ziva karena membatalkan perjodohan itu."

"Ma ... Ziva tidak ingin menikah dengan pria nafsuan itu.”

Astaga, Ziva keceplosan lagi.

“Pria nafsuan? Siapa yang kamu maksud?”

“Siapa lagi kalau bukan Anggara, Ma. 

"Baiklah, Ziva akan jujur ke Papa dan Mama. Sebenarnya ketika dua kali kencan dengan Anggara, pria itu beberapa kali ingin menyentuh Ziva, Ma. Dia ....”

“Cukup Ziva! Kamu telah melampaui batas.” Sang papa membantah segala penjelasan Ziva.

“Lanjutkan, Sayang. Mama ingin mendengarkannya.” Wanita itu melirik sinis ke arah suaminya. Dewa terdiam dan menghela nafas.

“Mama,” ujar Dewa. Namun wanita itu enggan untuk menatapnya. Alarm di otaknya telah berbunyi. Nanti malam pasti istrinya akan merajuk dan tidak akan memberikannya jatah.

Ziva ingin tertawa keras melihat raut wajah papanya. Tapi ia juga sedih. Kapan dirinya akan menemukan pasangan dan cinta sejatinya. Seperti kedua orang tuanya yang setiap malam menghabiskan malam panjang di atas ranjang, tanpa memikirkan dirinya yang hanya sendiri dan sendirian. 

“Anggara menyentuh paha Ziva, terus pinggang seksi Ziva dan hampir merema ....”

“Cukup Ziva! Papa ingin bukti bukan hanya omong kosong kamu,” sungut papa nya.”

“Pa, itu sudah jelas. Ziva putri kita. Tidak mungkin dia berbohong.” Sang mama membelanya. Ziva mengangguk setuju.

“Sayang, Ziva harus membuktikannya kepada kita. Papa akan menelpon Anggara untuk mengajakmu makan di restoran nanti malam. Siapkan dirimu Ziva. Kalau tidak terbukti ... kamu tidak akan bisa  menolak perjodohan itu.” 

Dengan ragu Ziva mengangguk. Lihat saja Anggara Pramono. Pria nafsuan itu akan terjebak ke dalam permainannya.

 ****

Dengan dress pendek di atas paha. Ziva berlenggak-lenggok di depan Anggara. tatapan pria itu nyalang memperhatikan penampilannya malam ini. Jauh lebih cantik dan juga seksi dengan belahan dada yang rendah.

“Selamat malam,” sapa Ziva menampilkan senyuman ramahnya.

Anggara sempat memberikannya tatapan nakal, membuat rencana Ziva sukses.

“Kamu sangat aneh, Ziva. Kenapa kamu tidak ingin dijodohkan denganku? Aku bisa menjadi suami yang perkasa dan menanamkan benih di rahimmu dan akan menghasilkan baby yang lucu dan menggemaskan.”

Dalam mimpimu! Ziva sangat muak mendengarnya.

“Ya ... kan aku hanya refleks menolaknya kemarin. Jadi, sekarang aku akan perlahan menerima dirimu.”

Tatapan berbinar terlihat di kedua mata pria itu. Pria itu beranjak dari duduknya dan menarik tangan Ziva untuk berdiri. Tanpa aba-aba, pria itu memeluknya dengan sangat erat. 

Ziva menampilkan smirknya. Saatnya beraksi, mereka juga berada di ruangan VIP. Kedua orang tuanya tengah mengawasinya dari cctv.

Ziva mengelus bahu Anggara dengan sensual, membuat tubuh Anggara meremang. Tubuh mereka sangat menempel Ziva dapat merasakan Anggara menang banyak malam ini.

Tangan Anggara bergerak dan mengelus bokongnya. Ziva tidak bereaksi apapun membuat pria itu semakin berani. 

Biasanya Ziva selalu menolak sentuhannya dan memukulnya sangat keras atau menendang kakinya, seperti malam pertama dan kedua mereka kencan.

“Ziva,” lirih Anggara.”

“Hem. Kenapa? Aku nyaman kita pelukan seperti ini.”

Anggara mengangguk, walaupun sebenarnya tubuh Ziva merasakan sesak, karena Anggara menekan tubuh mereka semakin menempel.

Kalau tidak memperhalus rencananya Ziva tidak akan sudi melakukannya. Sekarang saja Ziva ingin menendang bokong pria itu sampai terpental. Namun ia harus sabar, ketika Anggara mulai berani dan hampir menyentuhnya semakin berani.

“Ah!” Ziva segera melepaskan pelukannya. Sehingga Anggara menarik tangannya. Mengurungkan niat untuk menyentuhnya.

“Ayo kita menikmati malam bersama dengan menghabiskan makanan. Semuanya.”

“Semuanya?” Anggara menautkan kedua alisnya. Ziva mengangguk. Ia sengaja memesan makanan dalam jumlah yang banyak.

“Aku kan calon istrimu. Bagaimana kita mukbang dan saling jujur satu sama lain. Siapa yang kalah menghabiskan makanan yang ada di piring ini semuanya.”

Anggara menelan salivanya ketika melihat sepiring ayam goreng dengan level pedas dan ukuran jumbo.

“Aku duluan, ya? Apa pernah kamu tidur dengan wanita lain selama ini? Apa kamu masih perjaka?”

Anggara berdehem dan tidak menjawabnya. 

“Aku akan memakannya.”

Ziva mengangguk setuju dan menggeser sepiring ayam berukuran jumbo itu ke depan Anggara. Pria itu melipat ujung kemejanya dan segera memotong ayam tersebut dan memakannya.

Rasa pedas yang akan membakar lidah dan akan membuat lambung bergoyang berirama.

“Bagaimana? Enak?” tanya Ziva kembali.

Anggara mengibaskan tangannya di depan mulutnya. Menghalau rasa pedas yang terasa membakar lidahnya.

“Aku tidak kuat." Anggara hanya memakannya sepotong. Pria itu segera minum susu sebanyak-banyaknya. Ziva telah menyediakannya.

“Hah ... sekarang giliranku, huh. Apa kamu mencintaiku?”  

Ziva tersenyum miring dan menggelengkan kepalanya, “Aku tidak Mencintaimu.” Ziva menekan setiap suku katanya.

“Perjodohan dibatalkan!” Suara Dewa langsung memenuhi indra pendengaran mereka semua. Dewa tidak ingin mempunyai menantu yang kurang ajar dan juga brengsek.

“ Apa maksud, Om?!” bentak Anggara tidak terima dipermainkan seperti ini.

“Bye, Anggara Pramono!” Setelahnya, Anggara diseret keluar oleh anak buah papanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status