Weekend kali ini cuaca pagi hari sangat cerah. Jadi, Riri memanfaatkan hal itu untuk berjogging di taman komplek dekat rumahnya. Beginilah ia setiap tidak ada jadwal kuliah.
Sebelumnya, perkenalkan nama lengkapnya adalah Rifqah Dzakiyah Tsurrayya' Zahirah. Gadis itu biasa dipanggil Rifqah atau Riri saja oleh keluarga dan teman-temannya. Ia merupakan seorang mahasiswi semester lima jurusan designer.
Riri adalah anak pertama di keluarganya. Adiknya bernama Akhdan Muhammad. Akhdan adalah seorang mahasiswa semester awal jurusan kedokteran. Ia dan adiknya sangat dekat. Mereka selalu terbuka satu sama lain. Tidak ada satu rahasia pun di antara mereka. Bahkan dapat dikatakan jika Riri lebih terbuka kepada adiknya daripada kepada ibunya. Kecuali hal-hal yang sangat pribadi tentunya.
Berbicara tentang ibunya, ibunya bernama Khairun Nisa'. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Dan ayahnya bernama Malik Luthfi. Beliau adalah seorang Direktur di cabang perusahaan Perdana Corp. Perusahan yang berkecimpung di bidang berlian dan perhiasan. Perusahaan itu bukan milik ayah Riri. Tapi milik sahabat ayah Riri. Ayahnya Riri hanya dipercayakan sahabatnya untuk mengelola perusahaan itu.
"Kamu mau pergi jogging, Ri?" tanya Nisa' saat melihat anak sulungnya sudah bersiap-siap hendak pergi.
"Iya, Bun. Mumpung masih pagi, udaranya masih seger dan belum terlalu ramai," jawab Riri.
"Oh, ya udah. Tapi pulangnya cepet ya, Ri?" pesan Nisa'.
"Emangnya kenapa, Bun? Nggak biasanya Bunda nyuruh cepet pulang?" tanya Riri heran karena tak biasanya Nisa' berpesan begitu.
"Nanti siang sahabat Ayah mau dateng berkunjung ke sini sama keluarganya. Kamu bantu Bunda nyiapin hidangan untuk mereka. Jadi, Bunda mau kamu pulangnya jangan lama-lama, ya?" ucap Nisa' menjelaskan.
"Sahabat Ayah? Sahabat Ayah yang mana, Bun?"
"Sahabat SMA Ayah. Kamu belum pernah ketemu sama mereka. Karena mereka selama ini tinggal di luar negeri. Dan baru beberapa tahun lalu pulang ke Indonesia," terang Nisa'.
"Ooh, gitu. Oke deh, Bun. Nanti Riri bakalan pulang cepet. Kalau gitu Riri pergi dulu ya, Bun? Assalamualaikum, Bunda!" pamit Riri.
"Ya, Wa'alaikumsalam. Hati-hati!" balas Nisa'.
Riri pun langsung pergi jogging ke taman. Sesampainya ia di taman, ternyata sudah cukup ramai orang. Setelah melakukan pemanasan selama beberapa menit, ia pun mulai jogging mengelilingi taman. Setelah ia jogging mengelilingi taman sebanyak sepuluh kali putaran, dilihatnya jam di tangannya sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Ia pun bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, Riri langsung menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Setelah itu, ia membantu Nisa' menyiapkan hidangan untuk menyambut sahabat Malik dan keluarganya yang akan berkunjung.
Sekitar pukul 11.30 siang, keluarga sahabat Malik tiba di kediaman mereka. Nisa' meminta Riri untuk mengganti pakaiannya dan berhias. Meski sedikit bingung, namun tetap dilakukannya permintaan dari sang bunda.
Selesai mengganti pakaian, Riri hanya memakai bedak tipis dan menyisir rambutnya. Karena jujur saja, Riri adalah tipikal wanita yang tidak pandai berdandan. Setelah rapi, lalu ia membantu Nisa' di dapur untuk membuatkan teh dan menyajikannya bersama dengan camilan yang ia buat bersama Nisa' tadi ke ruang tamu.
"Naah, ini dia anak pertama kami. Riri, ayo kenalan dulu, Nak. Ini Om Tommy Adhitya Perdana, sahabat Ayah dari SMA sekaligus pemilik perusahaan tempat Ayah bekerja selama ini. Dan ini istri Om Tommy, namanya Tante Mawarni. Lalu itu putra tunggal Om Tommy, namanya Haikal Leonard Perdana. Dia CEO baru di perusahan Om Tommy yang lain," Malik memperkenalkan keluarga sahabatnya, Tommy, pada Riri.
"Siang, Om. Siang, Tante," sapa Riri dengan ramah pada Tommy dan istrinya seraya tersenyum dan mencium punggung tangan mereka.
"Siang juga, Riri/Sayang," Tommy dan istrinya secara bersamaan balas menyapa Riri lalu tersenyum ramah.
Lalu gadis itu beralih pada anak laki-laki Tommy dan Mawarni, yaitu Haikal sambil mengulurkan tangannya un sopan.
Namun laki-laki yang bernama Haikal itu hanya menyambut uluran tangan Riri tanpa menjawab sapaan gadis itu ataupun tersenyum. Walau ada perasaan kesal pada Haikal, namun Riri berusaha mengabaikannya saja. Bagaimana pun juga, Riri berpikir jika laki-laki itu adalah tamu ayahnya.
"Ini udah waktunya makan siang, ayo, kita makan," ajak Nisa' pada tamu suaminya itu.
"Aah, iya. Ayo, Tom, War, Nak Haikal, kita makan siang dulu," ajak Malik juga sambil berdiri dan memandu keluarga sahabatnya itu menuju meja makan.
"Silakan duduk," Nisa' mempersilakan mereka duduk.
Riri langsung saja membantu ibunya menyajikan makanan ke meja makan.
"Silakan dinikmati, Om, Tante, Mas Haikal," ucap Riri, mempersilakan mereka setelah selesai menyajikan makanan di meja makan.
"Terima kasih, Riri sayang," jawab Tommy dan istrinya lagi-lagi kompak.
Kemudian mereka menikmati makan siang sambil mendengarkan kisah persahabatan antara Malik dan Tommy.
"Kamu tau nggak, Ri? Dulu Om Tommy itu orang yang terkenal paling ganteng dan pintar sewaktu SMA dan kuliah. Banyak cewek yang mau jadi pacar Om Tommy dulu. Dan itu ngebuat Om Tommy sedikit jadi pria yang playboy," ucap Malik menceritakan tentang masa muda Tommy.
"Kamu jangan gitu dong, Malik! Jangan ceritakan masa lalu yang itu, dong. Itu 'kan masa-masa aku sewaktu masih khilaf," ucap Tommy.
"Iya, iya, aku tau. Itu masa-masa kamu khilaf. Tapi sewaktu kamu udah ketemu sama Mawarni, kamu langsung jadi playboy insyaf," ejek Malik sambil terkekeh. Yang lain pun ikut tertawa bersama Malik, kecuali Haikal.
"Oh iya, Riri. Om dan ayah kamu dulu punya kesepakatan. Kalau kami akan menjodohkan anak kami setelah anak-anak kami dewasa supaya persahabatan kami akan tetap berlanjut sampai kami tutup usia nanti. Jadi, karena Om cuma punya anak cowok, maka akan Om jodohkan sama kamu, Ri. Kamu mau, 'kan?" kata Tommy memberitahukan tentang kesepakatan yang dibuatnya bersama Malik.
"Uhuk ... uhuk ... uhuk ...," Riri tiba-tiba terbatuk.
Gadis itu sangat terkejut sampai-sampai tersedak makanan yang sedang ia kunyah. Nisa' langsung menyodorkan segelas air kepada Riri. Riri langsung menenggak air pemberian Nisa' hingga tandas.
Aku nggak salah denger, 'kan?! Ayah sama Om Tommy mau ngejodohin aku sama anaknya Om Tommy itu?? Tapi, anaknya Om Tommy itu kok tenang banget? Apa dia udah tau tentang ini dan dia juga udah setuju sama perjodohan ini? Tapi, kalau diliat dari mukanya, kayaknya dia nggak setuju. Terus, kenapa dia diem aja? Aah, andai aja aku bisa baca pikirannya, batin Riri berkecamuk.
"Pelan-pelan dong, Ri, makannya," Nisa' memperingatkan. Menarik kembali perhatian Riri.
"Apa, Om? Dijodohin? Riri nggak salah denger, Om?" tanya Riri tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya sekaligus memastikan pendengarannya.
"Bener, Sayang. Om mau jodohin kamu sama Haikal," jawab Tommy, meyakinkan pendengaran Riri tadi.
"Tapi, Om ..., Riri masih kuliah dan Riri juga belum siap. Ntar-ntar aja deh, Om, ngomongin perjodohannya. Lagian Riri ini 'kan jelek, Om. Nggak pantes rasanya kalau Riri bersanding sama anaknya Om. Dan Riri yakin kalau anak Om pun nggak setuju sama perjodohan ini. Buktinya dari tadi dia cuma diam aja. Nggak ngomong sedikit pun. Jangankan ngomong, dia juga nggak mau senyum waktu Riri nyapa dia tadi," ucap Riri mencoba memberi alasan agar Malik dan Tommy membatalkan niat mereka menjodohkannya dengan Haikal.
"Kalau masalah Haikal, kamu nggak perlu khawatir, Sayang. Dia udah setuju, kok. Makanya Om sama Tante ngajak dia kemari untuk kenalan sama kamu," kali ini Mawarni yang menjelaskan.
"Tapi, Tante-," ucapan Riri yang ingin kembali memberikan alasan, terpotong oleh ucapan Nisa'.
"Apalagi yang kamu raguin sih, Ri? Kamu yakin aja sama keputusan Ayah, Bunda, dan Om juga Tante ya, Nak? Kami pasti mikirin kebaikan untuk anak-anak kami. Nggak akan ada orang tua yang mau ngasih hal yang buruk untuk anaknya," ucap Nisa', menasehati.
"Haah. Kalau itu yang ngebuat Ayah, Bunda, Om dan Tante bahagia, oke. Riri setuju," kata Riri pasrah setelah menghela nafasnya.
"Makasih ya, Sayang ...," ucap Nisa' sambil tersenyum bahagia dan memeluk anak gadisnya itu.
Riri membalas pelukan ibunya dengan lebih erat untuk menghilangkan keraguan di hatinya. Namun, keraguan itu masih menggelayut di hatinya.
Setelah selesai makan, Tommy, Mawarni, Haikal, serta Malik kembali ke ruang tamu. Sementara Riri dan Nisa' membersihkan piring kotor dan masakan yang tersisa di meja makan.
Kayaknya aku harus ngomong lagi sama Bunda tentang perjodohan ini. Mudah-mudahan Bunda bisa berubah pikiran dan nunda atau mungkin mau ngebatalin perjodohan ini, pikir Riri.
"Bun, apa menurut Bunda ini nggak terlalu cepet? Rasanya Riri belum siap untuk berumah tangga. Riri juga masih ragu sama anaknya Om Tommy ...," kata Riri mengeluarkan pendapatnya.
"Apa yang kamu raguin dari Nak Haikal? Dia anak yang baik dan sopan. Bunda udah beberapa kali ketemu sama Nak Haikal. Dia juga pintar. Dia udah mapan dalam segala hal. Bunda dan Ayah yakin, dia bisa jagain kamu dan ngebimbing kamu," Nisa' mengutarakan penilaiannya terhadap Haikal.
"Tapi, Riri tetep masih ragu, Bun," kata Riri, kekeuh.
"Oke. Sekarang kamu kasih tau Bunda, alasan yang ngebuat kamu ragu," tantang Nisa'.
"Yang ngebuat Riri ragu sama anaknya Om Tommy itu, kayaknya anaknya Om Tommy nggak suka sama Riri. Kayaknya dia terpaksa nerima perjodohan ini," Riri menjelaskan alasan yang membuatnya ragu.
"Kenapa kamu punya pikiran begitu? Dari mana kamu tau kalau Haikal nggak suka sama kamu? Dan dari mana kamu tau kalau dia terpaksa nerima perjodohan ini? Emangnya kamu bisa ngebaca pikiran Nak Haikal?" selidik Nisa' dengan mata menyipit.
"Emang sih, Riri nggak bisa baca pikiran dia. Tapi, keliatan banget di mukanya, Bun. Seolah-olah, di mukanya itu udah terpampang tulisan 'Aku nggak suka sama kamu. Dan aku terpaksa nerima dijodohin sama kamu', gitu, Bun," ucap Riri dengan nada mantap.
"Kebanyakan mengkhayal, kamu!" balas Nisa' dengan terkekeh pelan. "Kamu nggak perlu berpikiran begitu. Kalau emang bener Nak Haikal nggak suka sama kamu dan terpaksa nerima perjodohan ini, kamu harus bisa sabar ngejalaninnya. Lakuin yang terbaik untuk bisa ngerebut hatinya. Lakuin aja tugas kamu sebagai istrinya dengan baik. Bunda yakin, cepat atau lambat, hatinya juga bakalan luluh," sambungnya dengan wejangannya.
"Tapi, kalau Riri udah ngelakuin itu semua dan dia tetep nggak nerima juga, gimana?" tanya Riri masih ragu.
"Kunci satu-satunya, kamu harus tetap harus bersabar. Karena setiap kesabaran seseorang itu suatu saat pasti akan berbuah manis. Kamu harus ingat itu, ya?" pesan Nisa' yang dibalas Riri dengan anggukan kepala.
"Udah, yuk. Kita udah kelamaan di sini. Mereka pasti nungguin kita," ajak Nisa' menggandeng tangan Riri untuk menuju ruang tamu setelah selesai beres-beres di dapur.
"Maaf ya, semuanya. Kita kelamaan, ya?" tanya Nisa' basa-basi.
"Enggak kok, Mbak," jawab Mawarni.
"Karena waktu terus berjalan, sekarang kita tentuin aja hari pertunangan dan pernikahannya. Menurutku, gimana kalau pertunangannya Minggu depan?" usul Tommy semangat.
"A-apa? Minggu depan? Cepet banget, Om? Nggak bisa diundurin lagi, Om?" tanya Riri panik. Karena jujur saja, Riri benar-benar masih belum siap dan juga keraguan masih bergelayut di hatinya.
"Nggak bisa diundurin lagi, Ri, kalau dimajuin bisa banget malah," jawab Tommy sambil terkekeh.
"Jangan gitu dong, Om. Tolong diundurin lagi pertunangannya, ya? Please, Om," rayu Riri pada Tommy.
"Oke ...," ucap Tommy yang membuat Riri berbinar sebelum pria paruh baya itu melanjutkan kata-katanya. "Kalau gitu, kita ganti lusa aja hari pertunangannya dan Minggu depan hari pernikahannya. Setuju?" lanjutnya bertanya, meminta pendapat dari yang lainnya.
"Aku setuju-setuju saja," jawab Malik memupuskan harapan Riri.
"Tunggu, tunggu, tunggu. Kenapa harus secepet itu, Om? Ya ampun, Ayah! Jangan main setuju-setuju aja, dong! Riri belum siap untuk nikah dan berumah tangga, Yah. Please dong, Ayah ngertiin Riri," Riri memprotes dan memohon pada Malik.
"Itu nggak cepet kok, Riri sayang. Itu udah kami rencanakan dari lama," ucap Nisa'.
What?? Oh, ya ampun .... Aku harus apa dan harus gimana? Aku belum siap untuk tunangan apalagi nikah, batin Riri frustrasi.
Riri melirik Haikal dengan ekor matanya, mencoba untuk mendapatkan bantuan. Siapa tahu saja pria itu bisa diajak bekerja sama. Tetapi, Haikal sama sekali terlihat tidak peduli dengan tetap memasang tampang datar dan dinginnya.
Riri menghela nafas berat dan lelah. Sekarang, ia tidak tahu harus apa. Dan karena sudah merasa kalah, Riri akhirnya memilih diam dan menundukkan kepalanya. Sampai akhirnya Tommy dan keluarganya pamit pulang setelah selesai merundingkan tentang acara pertunangan dan pernikahan Riri dan Haikal.
Sepulang keluarga Tommy, Riri langsung masuk ke kamarnya dan mencari handphonenya. Riri langsung mengirim pesan kepada adiknya. Meminta adiknya untuk segera pulang karena kepalanya rasanya sudah mau meledak. Riri benar-benar sudah pusing memikirkan perjodohannya. Ia ingin meminta saran dari adiknya tersayang itu. Setelah adiknya menerima dan membaca pesan darinya, adiknya langsung membalas pesannya dan mengatakan bahwa ia akan segera sampai. Dan Riri berharap, semoga adiknya punya solusi untuk masalahnya.
" Aaarrgghhh!! Kenapa harus kayak gini, sih? Aduduh ... kepalaku sakit dibuatnya," teriak gadis itu, frustrasi sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. "Ini juga kepala, nggak bisa diajak kompromi banget. Di saat-saat begini kok malah nggak bisa ditunda sakitnya," gerutunya pada kepalanya sendiri.
Mungkin kalau ada orang lain yang mendengar, bisa-bisa ia dianggap gila. Karena sakitnya sudah tak tertahankan lagi, cepat-cepat Riri mencari obat pereda sakit kepala dan meminumnya. Setelah itu, ia mencoba untuk tidur. Berharap rasa sakit di kepalanya akan hilang. Tak lama ia pun terlelap ke alam mimpi.
Malam ini adalah malam pertunangan antara Riri dan Haikal. Para tamu undangan sudah ramai yang berdatangan di kediaman keluarga Perdana. Ya. Acara pertunangan diadakan di kediaman keluarga Perdana. Untuk acara pernikahan, nantinya akan diadakan di aula gedung pernikahan keluarga Perdana."Sayang, turun, yuk! Udah ditungguin di bawah," ajak Nisa' yang dibalas hanya dengan anggukan kepala oleh Riri.Setelah sampai di anak tangga paling dasar, Riri menundukkan kepalanya karena merasa risih melihat para tamu undangan yang memusatkan perhatian mereka hanya padanya. Namun sebenarnya, bukan hanya risih saja yang ia rasakan. Ia juga merasakan sakit di kepalanya datang lagi.Ia menunduk sambil meringis menahan rasa sakit di kepalanya. Sang bunda yang melihat anaknya itu menundukkan kepala, langsung menegakkan kembali kepala anak gadisnya itu."Jangan nunduk gitu dong, Sayang. 'Kan mereka dateng ke sini karena merek
Seminggu telah berlalu. Hari ini setelah pulang dari kantor, Haikal langsung pergi ke Bar untuk minum-minum. Pria itu merasa sangat frustrasi karena kekasihnya belum ada kabar sama sekali.Waktu itu, begitu kekasihnya tahu jika Haikal dijodohkan dengan anak sahabat Ayahnya dan tak bisa menolak, kekasihnya sangat marah dan memutuskan pergi dari Haikal. Haikal sudah puas mencari dan selalu menghubunginya. Namun, kekasihnya itu bagai hilang ditelan bumi dan tak bisa ditemukan. Dirinya putus asa dan sangat frustrasi.Untuk mengurangi rasa frustrasinya, maka ia memilih pergi ke Bar dan minum-minum. Dan di sinilah ia sekarang. Di sebuah Bar ternama di kota ini. Sudah dua botol minuman keras yang diminumnya. Dan dirinya pun sudah mabuk berat. Bartender sudah menegurnya dan menyuruhnya pulang. Namun, karena ia sudah tak bisa berjalan dengan baik, maka pihak Bar menyuruh bodyguard mencarikan taksi untuk Haikal agar mengantarkannya pulang.
Dua bulan sudah Riri dan Haikal menikah. Keadaan tetap sama. Tidak ada yang berubah dengan hubungan antara Riri dan Haikal. Mereka masih belum banyak bicara setelah pembicaraan mereka terakhir kali. Mereka hanya bicara jika diperlukan."Ri, gimana hubungan kamu sama suamimu?" tanya sahabat Riri yang bernama Dewi Agustina."Iya, Ri. Udah ada kemajuan belum?" tanya sahabat Riri yang lain, Rani Widiastuti."Masih sama, Dew, Ran. Aku udah nggak tau mau ngapain lagi biar bisa bikin dia bersikap biasa aja ke aku," ucap Riri lesu.Bahkan aku rela ngelupain kejadian malem itu supaya hubungan kami nggak canggung terus. Tapi, kayaknya emang sama sekali nggak ada harapan sama hubungan kami, sambung Riri di dalam hati."Kamu yang sabar aja, ya? Mudah-mudahan sikap suami kamu bisa berubah jadi lebih baik ke kamu nantinya," harap Dewi."Ya ..., semoga aja," Riri berkata lirih.
"Tante, apa kata Dokter? Riri sakit apa?" tanya Dewi begitu Nisa' dan Haikal memasuki ruang rawat Riri."Iya, Tante. Riri sakit apa? Kenapa dia bisa sampe pingsan gitu?" tanya Rani juga."Riri baik-baik aja. Kata dokter, itu karena Riri nggak makan dengan bener. Tapi, kalau Riri terus-terusan nggak makan dengan bener, itu bakalan ngebahayain bayi yang ada di dalam kandungannya," jelas Nisa'."Bayi? Riri hamil, Tante?" tanya Rani, dengan tampang yang terkejut."Bener, Ran, Riri hamil. Baru sekitar 6 minggu," jawab Nisa'."Oh! Pantes aja," Rani berucap dengan keras yang membuat Nisa', Haikal dan Dewi terkejut."Apaan sih, Ran? Bikin kaget, tau!" sungut Dewi kesal."Iya, tadi 'kan Riri sempet cerita ke kita. Dia bilang kalau dia udah nggak nafsu makan dari beberapa minggu terakhir. Tapi yang paling parah beberapa hari belakangan ini. Pasti itu gara-gara dia h
Sepulang orang tua dan mertuanya, Haikal kembali ke dalam ruang perawatan Riri. Ia duduk di samping ranjang Riri yang saat ini sedang tertidur. Dengan setia ia menjaga Riri hingga ia ikut tertidur dalam posisi duduk. Sedangkan kepalanya direbahkan di sisi tangan Riri.Pagi harinya, Haikal terbangun dengan tidak mendapati Riri di ranjang. Ia celingukan mencari keberadaan Riri. Suara orang yang sedang muntah-muntah membuatnya melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.Begitu ia membuka pintu kamar mandi, tampaklah olehnya Riri yang sedang muntah-muntah di wastafel. Haikal masuk dan memijat tengkuk Riri.Ketika rasa mual Riri mulai berkurang, Riri membasuh mukanya agar terlihat lebih segar. Tetapi, saat Riri menegakkan tubuhnya, kakinya tiba-tiba menjadi lemas dan penglihatannya berkunang-kunang. Hampir saja ia terjatuh andai Haikal tidak sigap menangkapnya. Haikal segera menggendong Riri
Sudah 3 hari Riri dirawat di rumah sakit. Hari ini wanita itu sudah diperbolehkan pulang. Tetapi, ia tidak pulang ke apartemen Haikal. Nisa' meminta Riri dan Haikal untuk sementara waktu tinggal di rumahnya.Meskipun sempat terjadi perdebatan kecil antara Nisa' dan Mawarni, namun akhirnya terjadi satu kesepakatan. Yaitu, Riri dan Haikal akan tinggal bersama Nisa' selama seminggu. Kemudian seminggu berikutnya di rumah Mawarni.Haikal dan Riri tidak bisa menolak kesepakatan itu. Keduanya pasrah menuruti kemauan Nisa' dan Mawarni. Bahkan Haikal-lah yang mengusulkan kesepakatan itu agar Mawarni dan Nisa' tidak berdebat terlalu lama.Sore ini Riri sedang duduk di teras rumahnya. Dielusnya perutnya yang masih datar itu sambil tersenyum."Selamat sore, Sayang. Sedang apa kamu? Kamu baik-baik ya, di situ? Jangan bikin Mami mual terus, ya? Kamu nggak mau 'kan kalau Mami masuk rumah sakit lagi?" Riri berbicara pada
"Kamu harus nyuapin aku makan tiap hari. Bacain dongeng untukku tiap malam sebelum tidur. Dan nemenin aku cek up kandungan tiap bulan. Gimana? Sanggup, nggak?" Riri mengatakan persyaratan yang harus Haikal lakukan agar mau mempercayai ucapan suaminya itu."Kalau untuk bacain dongeng tiap malam sebelum kamu tidur dan nemenin kamu cek up kandungan tiap bulan sih, nggak masalah. Masih bisa aku usahain. Tapi kalau nyuapin kamu tiap hari ...? Nggak bisa diganti sama syarat yang lain ya, Ri? Kalau sarapan sama makan malam sih, aku masih bisa nyuapin kamu. Tapi kalau makan siang? Kamu 'kan tau aku itu kalau siang sibuk banget di kantor. Gimana aku bisa nyuapin kamu kalau makan siang?" Haikal mencoba untuk sedikit bernegosiasi dengan Riri."Kalau makan siang, aku yang bakalan dateng ke kantor kamu. Gimana?" jawab Riri lalu meminta pendapat."Apa nggak bakal bikin kamu kecapekan kalau tiap makan s
RIRI POVSinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kamar membangunkan aku dari lelapku. Perlahan kubuka mataku dan menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Mengerjap-ngerjapkan mataku sebentar lalu menggeliatkan badanku.Aku merasakan ada sesuatu yang menimpa perutku. Langsung saja kuarahkan pandangan mataku ke perut. Ternyata tangan Haikal berada di atas perutku.Apa dia semalam tidur sambil meluk aku? aku bertanya-tanya di dalam hati.Segera kuelakkan tangan Haikal dari perutku. Namun ia justru mengeratkan pelukannya. "Haikal, awasin tangan kamu. Aku nggak bisa bangun," ucapku sambil terus menyingkirkan tangannya."Sebentar lagi ya, Sayang. Aku masih ngantuk," racaunya. Sepertinya dia sedang mengigau."Kamu ngomong 'sayang'nya untuk siapa? Untuk aku, anak kamu, atau Clara?" tanyaku ketus dan menaikkan nada bicaraku. Itu berhasil membu