Bugh! Bugh! Bugh!
Riri yang geram dengan Haikal karena Haikal sudah mengerjainya, langsung memukul Haikal menggunakan bantal berulang-ulang.
"Dasar nyebelin, ngeselin! Enak banget kamu bilang kalau kamu ngerjain aku. Kamu nggak tau apa, kalau jantungku tadi hampir meledak gara-gara kelakuanmu itu?" gerutu Riri sambil terus memukul Haikal.
"Aduh, aduh! Ampun, Ri, ampun. Udah, udah! Aku ngaku salah. Sorry, sorry!" ucap Haikal namun masih tertawa.
"Kamu bilang 'sorry' tapi masih ngetawain aku. Seneng banget ya, bisa ngetawain orang?" Riri kembali memukuli Haikal karena Haikal tak kunjung menghentikan tawanya.
"Oke, oke. Aku berenti ketawa." sekuat tenaga Haikal berusaha menghentikan tawanya. "Maaf," ucapnya ambigu setelah benar-benar berhasil menghentikan tawanya. Sedangkan Riri hanya menanggapi dengan menaikkan satu alisnya pertanda dirinya bingung Haikal
RIRI POV"Jadi intinya, Anda mengidap suatu penyakit. Anda mengidap penyakit kanker otak stadium lanjut. Dan ini sudah dalam tahap yang berbahaya. Saya sarankan agar Anda dikemoterapi untuk membunuh sel kanker serta meminimalisir terjadinya penyebaran sel kankernya," jelas sang Dokter yang aku ketahui bernama Arya.Jedderrr!!!Aku mematung mendengar pernyataan Dokter Arya. Tubuhku terasa lemas dan bergetar menahan tangis yang hendak pecah. Rasanya seperti ada petir di siang hari yang cerah yang sedang menyambarku saat itu. Tapi, dengan cepat aku menetralkan kembali rasa keterkejutanku."Tapi, saya sedang hamil, Dok. Apa tidak berbahaya bagi kandungan saya? Dan kalau saya dikemoterapi, otomatis keluarga saya akan tau tentang keadaan saya. Saya tidak mau membuat mereka bersedih. Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyaku kemudian setelah memberikan alasan.Kulihat wajah
Sebulan setelah Riri dan Haikal menginap di rumah orang tua Haikal, kehidupan Riri berjalan seperti biasa. Wanita itu sudah kembali masuk kuliah. Haikal masih melakukan permintaan Riri waktu itu.Seperti menyuapinya makan, membacakan dongeng sebelum tidur, membawakan bunga sepulang dari kantor, bahkan apartemennya sudah seperti toko bunga karena saking banyaknya bunga yang dibawa Haikal setiap hari. Dan tidak lupa juga menemani Riri cek-up ke dokter.Kini kehamilan Riri memasuki bulan ke empat. Selama ini penyakitnya sempat beberapa kali kambuh. Baik di apartemen saat sendiri atau saat ada Haikal, mau pun saat berada di kampus. Tetapi, karena Riri selalu membawa obatnya ke mana pun ia pergi, maka ia tidak pernah sampai pingsan.Seperti saat ini, kepalanya kembali berdenyut hebat. Cepat-cepat ia mengambil botol obatnya, mengeluarkan isinya dan meminumnya. Perlahan-lahan rasa sakitnya berkurang."Sa
HAIKAL POV Pagi ini aku sudah dibuat kesal dengan ucapan Riri. Bagaimana mungkin dia menyuruhku untuk memilih antara dia dan anak yang ada dalam perutnya? Jujur saja, itu adalah pilihan yang sulit bagiku. Aku tidak ingin kehilangan anak yang dikandungnya. Tetapi aku juga tidak ingin kehilangannya. Aku tidak tahu seberapa penting dirinya bagiku. Yang aku tahu, kehadirannya sangat penting untuk anak yang berada dalam perutnya ketika lahir kelak. Aku tidak mungkin bisa memberikan kasih sayang yang lengkap tanpa ibunya. Membayangkan aku merawatnya sendirian tanpa sosok ibunya, itu sudah membuatku frustrasi. Bagaimana jika itu benar-benar terjadi? Mungkin aku akan gila! Lagipula, kenapa tiba-tiba dia menanyakan hal itu? Bahkan dia berpesan padaku bahwa kalau pilihan itu harus dilakukan, maka dia menyuruhku untuk memilih anak yang dikandungnya. Dan masih banyak lagi pesannya yang menurutku sudah seperti surat
RIRI POV Gerubuk! Gerubuk! Gerubuk! "Assalamualaikum!" seru orang yang membuat kegaduhan itu. Aku dan Bunda serentak melihat ke arah asal suara kegaduhan tersebut lalu menjawabnya. "Wa'alaikumsalam," sahutku dan Bunda kompak. "Loh? Dewi, Rani? Ada apa? Kenapa kalian kayak orang yang dikejar-kejar setan begitu?" tanya Bunda heran. Sedangkan aku hanya cekikikan melihat mereka. "Itu tuh setannya, Tante! Kita dipaksa ke sini dalam waktu 15 menit. Kalau kita telat, kita bakalan kena hukuman dari dia," tunjuk Dewi padaku dengan wajah kesal. Aku segera mengubah raut wajahku menjadi serius dan berlagak marah. "Kalian telat 3 menit! Siap-siap kalian dapet hukuman dari aku," ucapku setelah melihat jam dan tersenyum miring melihat mereka. "Kamu gila ya, Ri? Kita udah secepet yang kita bisa buat bisa
Setelah pulang dari rumah Nisa', Riri langsung menuju kamar mandi. Sedangkan Haikal memilih menonton televisi yang berada dalam kamar mereka. Selesai mandi dan berpakaian, Riri duduk di meja rias. Ia menyisir rambutnya dan memakai tipis bedak ke wajahnya.Haikal yang melihat Riri telah selesai mandi, ia pun bergegas menuju kamar mandi dan mandi.Selesai merias dirinya, Riri bangkit dari duduknya. Namun ia terpaku memandang cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Diperhatikannya perutnya yang sudah terlihat membuncit. Dielusnya perlahan perutnya seolah mengelus kepala anaknya dengan penuh rasa sayang.Gimana keadaan kamu di dalam sana, Nak? Kamu baik-baik aja, 'kan? Obat-obatan Mami nggak mempengaruhi tumbuh kembang kamu, 'kan? Mami harap kamu kuat di dalam sana. Mami pun bakalan berusaha sekuat Mami untuk bertahan dengan penyakit Mami supaya kamu bisa lahir ke dunia ini. Biar kamu bisa nikmati keindahan dunia ini. Da
Riri menghapus air matanya lalu bangkit. "Udah ah. Cukup sampe sini acara sedih-sedihannya. Kita makan, yuk. Aku udah laper, nih," ajak Riri untuk mengalihkan kesedihannya. "Ya udah, yuk. Aku juga laper," sahut Haikal. Mereka keluar dari kamar dan berjalan menuju meja makan. Tadi Nisa' membawakan makanan untuk mereka. Setelah Riri mengambilkan nasi dan lauk di piring masing-masing, mereka makan dalam diam. Namun Haikal masih menyuapi Riri seperti biasa. Selesai makan dan mencuci piring, mereka kembali masuk ke kamar. Mereka sama-sama duduk di sofa, namun dengan kesibukan masing-masing. Haikal sibuk dengan laptop dan berkas-berkas kantornya, sedangkan Riri sibuk menonton televisi. "Haikal, kapan kamu mau ketemuan sama Clara?" tanya Riri memecahkan keheningan di antara mereka. "Dia ngajak ketemu besok siang. Mungkin jam makan siang. Kenapa?" jawab dan tanya Haikal. "Mm
RIRI POVPagi ini aku terkejut setengah mati. Bagaimana tidak? Aku terbangun dari tidur dengan keadaan yang tidak seharusnya. Aku terbangun dalam keadaan tanpa busana sehelai benang pun. Tangan Haikal memeluk tubuhku erat. Yang lebih mengejutkan lagi, keadaan Haikal pun sama. Hanya selembar selimut yang menutupi seluruh tubuh kami.Apa yang sebenernya terjadi? A-apa jangan-jangan aku dan Haikal ...? Aku terbelalak dan langsung menutup wajahku. Arrgghhh .... Ini memalukan! Kenapa Haikal ngelakuin hal itu ke aku? batinku bertanya frustrasi."Kal, Haikal! Bangun, Kal!" Kuguncang tubuh Haikal kuat."Sebentar lagi, ya. Aku masih ngantuk," racaunya belum membuka matanya."Bangun sekarang! Aku mau bicara sama kamu. Cepetan banguuuun ...." aku semakin kuat mengguncang-guncangkan tubuhnya."Ada apa sih, Ri? Aku m
RIRI POVAku berjalan menuju kelas dengan senyum sumringah yang mengembang di bibirku ketika mengingat aktivitasku dan Haikal tadi sebelum ke kampus.Tapi senyum itu tidak berlangsung lama. Ketika aku teringat akan Clara, senyum itu berubah menjadi penyesalan.Aku bukan menyesal karena telah melakukannya dengan Haikal. Tetapi aku menyesal karena telah melakukannya dengan lelaki yang tidak mencintai diriku. Aku menyesal mencintai suamiku sendiri. Memang tidak ada yang melarangku untuk mencintainya. Karena dia suamiku sendiri. Tetapi dirinya yang tidak mencintaiku itulah sebabnya mengapa aku menyesal mencintainya.Aku berjalan sambil meratapi dan mengeluhkan nasibku pada Sang Pencipta. Kenapa Allah memberikan nasib yang begitu buruk padaku? Aku bersuamikan seorang pria yang mencintai wanita lain dan sekarang aku tengah mengandung anaknya. Ditambah penyakit yang sedang kuderita saat ini yang