Share

Tak Peduli

Drrt!

Ponselnya terus berbunyi membuat Damar pun mengangkat panggilan telepon tersebut.

"......"


"I-iya Bu! Saya segera ke kantor!" jawab Damar terbata.

"Bawa anak dan istrimu sekalian!" kata seseorang di seberang telepon lagi.

Suaranya terdengar tidak ramah sama sekali.

Tanpa membantah, Damar pun mengiyakan apa yang diperintahkan oleh atasannya tersebut.

Sepertinya, atasannya sudah tahu live streaming yang dibuat tetangganya itu?

"Aku harus baik-baikin Nadine, supaya dia tidak berkata yang tidak-tidak tentang yang ku lakukan selama ini!"

Pikiran waras Damar kembali bekerja setelah sekian lama.

Saat tahu Nadine keluar dengan membawa tas pakaian yang tak terlalu besar, didekatinya  wanita itu.

"Dek!" panggil pria itu.

"Ada apa? Kalau mau menghalangi langkahku, maaf! Aku lebih takut dengan dosa berdekatan dengan lawan jenis yang bukan muhrimku!" sarkas Nadine.

Damar sontak menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Pihak kantor menyuruh kita untuk menghadap. Aku mohon kali ini kamu ikut, ya?"

Tatapannya begitu memelas.

Dia bahkan sampai lupa dengan kemarahannya tadi.

Di sisi lain, kening Nadine mengkerut mendengar apa yang diucapkan oleh Damar. "Aku kan tidak ada hubungannya dengan orang kantor? Lantas kenapa harus mereka berdua ya pergi ke sana?" batinnya penuh tanya.

Hanya saja, Nadine enggan menanggapi Damar lagi.

Dia memilih melangkahkan kakinya untuk cepat-cepat berlalu dari rumah kontrakan yang lebih layak menjadi kandang tersebut.

Damar jelas tak terima.

Dicekalnya tangan Nadine, cepat. "Tolong Dek, kali ini saja! Tolong Mas! Selamatkan Mas dari situasi ini! Tolong ikut Mas ke kantor dan jelaskan semuanya!" pintanya.

"Maksudnya? Menjelaskan bahwa kamu memberikanku nafkah 600.000 setiap bulannya? Atau menjelaskan bahwa 3 bulan terakhir kamu memberikanku nafkah 300.000?"

Damar memelototkan matanya tak percaya. "Bukan seperti itu dek, Tolong jelaskan kepada pihak kantor jika uang tunjangan untuk istri Kamu menerimanya! Jangan katakan kalau aku memberikanmu 600.000 setiap bulannya!" pintanya.

Deg!

"Tunjangan dari kantor? Kok aku baru mendengarnya? Emang berapa nominal yang di jatah untuk tunjangan istri?" selidik Nadine.

Dia curiga dengan keterdiaman Damar.

Sebenarnya apa yang disembunyikan oleh ayah dari anaknya tersebut?

"Mas!"

"Tidak banyak kok Dek. Kamu nanti kalau ditanya tinggal jawab saja kalau kamu menerima uang tunjangan dari kantor dan juga mengelola semua gajiku!" kata Damar enteng.

Seketika Nadine pun tertawa terbahak-bahak.

Ia sangat tak menyangka jika suaminya sebodoh itu.

"Kenapa kamu malah tertawa, Dek? Kali ini saja tolong aku, setelah itu jika kamu mau pergi dariku, silakan! Aku tidak akan menghalangimu lagi! Tapi sebelum itu, Aku mohon selamatkan aku kali ini!" ucap Damar, tak tahu malu.

Nadine menggelengkan kepala tak percaya. "Bagaimana aku bisa menolongmu Mas? Berapa gajimu sebulan, aku tidak pernah tahu detailnya. Kamu hanya beri jatah setiap bulan 600.000. Lebih parahnya lagi, setelah aku melahirkan anak kita kamu malah menjatahku 300.000 saja! Waras kamu?" singgung Nadine, akhirnya.

Mau tak mau, Damar pun menceritakan dan menjelaskan berapa banyak yang ia hasilkan selama ini setiap bulannya.

"Gaji pokok ku dalam sebulan adalah 5 juta Dek, uang tunjangan untukmu setiap bulannya diberikan 3 juta oleh kantor, lembur dan bonus jika digabung dengan uang tunjangan serta gaji bulananku maka mendekati 10 juta kadang lebih dari itu!"

Damar akhirnya memilih jujur.

Sayang, semua telah terlambat.

Apa gunanya dia mengetahuinya sekarang?

Jujur, Nadine benar-benar merasa bodoh selama ini.

"Sekian tahun menikah denganmu, ternyata cukup fatal kamu mencurangiku. Setiap bulannya, bahkan tak ada 10% yang kamu berikan kepadaku," ucap wanita itu tajam.

Seketika Damar pun memberikan perincian, bahwa setiap bulannya ibu kandungnya menerima 3 juta.

Kakak dan adiknya masing-masing mendapatkan satu juta serta buat dirinya sendiri 3 juta, dan sisanya dia simpan di rekening pribadi miliknya sebagai tabungan.

Nadine sontak tertawa. "Bahkan kau menganggapku tak lebih dari sampah yang tak pantas untuk dihargai! Asisten Rumah Tangga di kota kita saja, gajinya sudah lebih dari 2 juta. Itu mereka tugasnya cuma bersih-bersih, sementara aku?" ucapnya.

"Aku bahkan memiliki tugas di dapur sumur dan kasur. Lebih kasarnya lagi, aku hanya kamu jadikan sebagai budak! Lantas apa yang harus aku lakukan untuk menolongmu?"

"Maaf mas, hadapi sendiri masalahmu sendiri. Aku sudah tidak mau ikut campur di dalamnya!" putus Nadine yang merasa bodo amat dengan masalah yang di hadapi oleh Damar.

Namun tiba-tiba saja Damar duduk bersimpuh di kaki Nadine.

Hal yang sama sekali tak pernah di lakukan oleh Damar selama ini!

Sayangnya, Nadine tak tersentuh. 

Dengan sigap Nadine pun langsung melangkah dengan langkah yang cukup lebar agar Damar tak bisa meraihnya lagi.

"Mbak Sari dan Mbak Ine, saya boleh minta tolong bawakan tas ini?" Saat sampai di depan rumah kontrakan yang selama ini di tempatinya, Nadine meminta tolong untuk di bawakan barang bawaannya yang tak seberapa itu.

Mengerti apa yang di maksudkan oleh Nadine kedua wanita tersebut langsung melaksanakan apa yang dipinta oleh Nadine.

"Sekarang kamu mau kemana Nadine?" tanya Mbak Sari membuka percakapan.

Nadine menarik napas panjang. "Mbak Sari dan Mbak Ine tahu tidak dengan rumah kontrakan yang disewakan? Tidak usah yang besar mbak, cukup ada 1 kamar saja tidak apa-apa. Saya perlu menyesuaikan budget yang ada!"

"Nasibnya Gibran memang sedang mujur! Di gang sebelah, ada kontrakan yang kosong, Nadine. Nggak besar sih, tapi cukuplah kalau buat kamu dan Gibran, apalagi tempatnya itu cocok untuk kamu, lingkup yang ramai dan tentu saja aman!" jawab Sari.

Nadine lantas tersenyum. "Tolong antar aku ke sana, Mbak. Jujur, saya berterimakasih ke Mbak Sari dan Mbak Ine. Entah apa yang akan terjadi padaku kalau mbak-mbak sekalian tidak memvideokan talak tadi," ucapnya penuh rasa syukur pada dua orang wanita yang sudah seperti kakaknya itu.

Sari tersenyum, menepuk bahunya.

Hanya saja Ine justru terdiam.

"Mbak Ine kok diam saja dari tadi? Kenapa?" heran Nadine.

Namun, Ine hanya menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Nadine.

Tak lama, wanita itu menangis tersedu-sedu!

Rupanya sedari tadi Ine menahan tangisnya karena melihat nasib Nadine yang memang tragis.

"Lohh, kok malah nangis? Piye to kieeehhh?" kata Sari

"Kamu yang kuat ya Nadine? Aku akan selalu ada untukmu! Bila perlu, aku akan ikut tinggal bersamamu untuk menjagamu!" kata Ine sambil sesenggukan.

"Beneran mbak? Dengan senang hati kalau begitu!" jawab Nadine antusias.

"Lah lah kok jadi begini? Kok aku nggak di ajak ikut tinggal bersama sekalian? Nggak adil ini!" protes Sari--mengundang tawa ketiganya.

Bahkan, Gibran pun ikut tersenyum!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status