Share

Beyond My Pride
Beyond My Pride
Author: Mayanov

Big Match

Tahun 1998

Terlihat seorang pembawa acara tengah menarik mic yang tergantung di depannya. Ia mulai membuka lipatan kertas kecil dari dalam saku jas. Lusuh. Namun, masih bisa terbaca.

"Di sudut merah, dengan tinggi 171 senti meter dan berat 66 kilo gram, lima kali menang dalam enam pertandingan. Tuan rumah kita ... Rico Bane 'The Black Horse'!! Telah siap menjamu tamunya malam hari ini ...."

Suara Nick si pemandu acara menggema di seluruh ruangan.

"Di sudut biru ... seorang pendatang baru yang langsung meraih posisi puncak! 'Jangan berkedip atau kau akan menyesal ...' adalah kalimat yang selalu ia ucapkan sebelum bertanding. Dengan tinggi 169 senti meter dan berat 67 kilo gram, belum pernah mengalami kekalahan ... Marco Geraldino 'The Magician' .... Inilah big match kita bulan ini! Kejuaraan bergengsi, untuk memperebutkan sabuk emas Walikota!"

Penonton bersorak-sorai setelah Nick selesai bicara.

Pertarungan di kelas Junior Middleweight itu merupakan match yang paling ditunggu-tunggu dalam serangkaian match dalam bulan ini.

Pertemuan dua orang yang sama kuat dan hampir tidak pernah mengalami kekalahan, merupakan satu hal selalu menjadi tontonan menarik bagi para penikmat tinju.

Kedua petinju telah siap berdiri di sudut masing-masing. Di samping mereka ada pelatih yang terus memberikan semangat dan sesekali mengingatkan tentang pertandingan yang akan mereka lewati.

"Marc, ini match terakhir dan kamu bisa istirahat panjang setelahnya!" tukas Armand yang merupakan ipar, pelatih, sekaligus manager dari Marco Geraldino 'The Magician'. Orang pertama yang melihat potensi besar pada diri Marco.

"Siap, Bang! Anak dan istriku menuntut liburan. Kau tau bagaimana Liza ...," sahut Marco.

"Yeah, dia adikku. Aku tau sekali wataknya. Aku heran kalian bisa bertahan hingga enam tahun lamanya ...," imbuh Armand.

Marco ingin terkekeh, namun Armand malah memasang gum shield pada gigi iparnya itu.

Dari kejauhan Marco bisa melihat Liza dan Razka tengah bersorak untuk mereka. Ada rasa bangga sekaligus khawatir tercetak nyata di wajah sang istri.

'Terakhir. Setelah ini aku akan mengambil libur panjang untuk kita ...,' batin Marco senang.

Teng teng teng!

Kedua petinju mulai maju ke tengah lapangan, setelah seorang wanita turun dengan papan di tangan. Ronde satu pun segera di mulai.

Marco Geraldino dan Rico Bane sang tuan rumah, memulai match ini dengan pukulan-pukulan jab ringan. Mereka berusaha membuka pergerakan lawan.

Sambil terus bergerak, Marco mulai menyicil dengan menambahkan pukulan-pukulan silang atau sesekali hook. Walaupun masih tidak dapat mengenai lawannya.

Rico Bane bukan lawan kaleng-keleng. Prestasinya sangat baik dalam musim ini.

Sebagai tuan rumah, pasti Rico memiliki semangat lebih besar untuk memenangkan match di malam hari ini tentunya.

Gengsi jika kalah. Apalagi match malam hari ini adalah match final. Pertaruhan atas segalanya. Yang paling utama adalah harga diri.

Yang menang akan diakui oleh pihak manapun, mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kualifikasi dalam pertandingan tinju dunia.

Bukan lagi jago kandang, tapi akan diperhitungkan oleh federasi tinju internasional.

Di sisi penonton, Liza memperhatikan match itu dengan harap-harap cemas.

"Mom ... apakah daddy akan menang?" tanya Razka yang masih berusia lima tahun. 

Liza menepuk kepala Razka dan kemudian mencium puncaknya.

"Tentu saja daddy akan menang. Ia tidak pernah kalah, bukan?" tanya Liza dengan senyum mengembang.

Tanpa terasa, sudah enam ronde mereka jalani. 

Kedua jagoan penonton yang tengah beradu di atas ring, sama-sama jago. Sama-sama keras dan sama-sama bertekad besar.

Tidak ada yang ingin merelakan sabuk kemenangan untuk pihak manapun.

"Hwooooaa!!" pekik penonton saat pukulan dari Marco mengenai wajah Rico Bane dengan kombinasi hook dan uppercut-nya.

Sekilas senyuman tersungging di wajah Liza. 

"Your Dad really great, Boy!" ungkap Liza kepada Razka yang berdiri di atas kursi.

Tidak ada lagi penonton yang duduk dengan tenang di kursinya. Semua berdiri, ikut terbawa suasana yang menegangkan.

Teng teng teng!

Suara bel menjadi penyelamat Rico Bane kali ini. Marco seperti tidak percaya. Hanya perlu satu pukulan lagi hingga musuhnya jatuh tersungkur dan tidak bisa kembali berdiri.

"Good job!" tukas Armand.

Ia mengambil botol minum Marco. Namun sayangnya, botol itu telah kosong.

"Hei! Di mana minuman untuk jagoanku?!" pekik Armand yang tidak percaya akan kinerja tim-nya yang lamban.

"Oke ... oke!" sahut salah seorang tim.

"Mungkin setelah ini kita harus mencari orang-orang baru," ungkap Marco sambil menyunggingkan senyuman.

"Fokus saja dengan match ini. Kamu berutang liburan dengan adik dan ponakanku tersayang ...," jelas Armand sambil menyeka segaris darah yang keluar dari pipi Marco.

Sebuah pukulan silang dari Rico Bane sukses mengenai wajahnya yang lumayan tampan.

"Aku tidak akan melewatkannya, Bang. Kalau kau mau, kau juga boleh ikut dalam acara kami nanti." 

"Negatif. Itu acara kalian. Aku tidak ingin mengganggu di dalamnya."

Armand menerima botol minuman yang telah terisi penuh, dari salah satu timnya. 

"Minumlah. Sepuluh detik lagi lonceng akan berbunyi." Armand memerintahkan.

Marco Geraldino mengamati botol yang disodorkan Armand padanya sembari membuka penutup.

Setelah merasa puas, Marco menjauhkankan wajahnya dari botol itu. 

"Jangan lupa doakan aku. Seperti kemarin-kemarin, aku akan menyelesaikannya di dalam ronde ganjil. Akan menjadi kemenangan KO yang ketujuh," ungkap Marco lagi.

"Buka mulutmu!" perintah Armand.

Teng teng teng!

Marco membuka mulutnya dan menerima gum shield yang dipasangkan Armand.

"Selesaikan dia, Boy!" 

Armand meletakkan botol air minum yang tersisa setengah dan mengamati pertandingan dari pinggir ring.

Marco memulai terlebih dahulu. Ia melancarkan jab-jab ringan seperti sebelumnya.

Namun tiba-tiba saja, rasa pusing meliputi.

Marco mundur sambil terus berusaha melindungi dirinya. Ia melirik ke arah Armand. Namun, yang ia lihat hanya gerak bibir Armand. Marco bahkan tidak bisa memfokuskan kelima indranya.

Marco mengalihkan pandangannya ke arah Liza dan Razka. Keduanya terlihat khawatir. Marco ingin bilang 'jangan khawatir', namun ia sendiri dalam keadaan yang sangat membingungkan.

Semua hal di sekelilingnya terasa aneh. Semuanya bergerak dengan sangat lambat.

"Deeefeeenseee, Maarc ... Deeefeennseee ...." 

Kata-kata Armand terdengar begitu lambat di telinga Marco.

'Ada apa denganku? Jantungku ...,' Marco memegangi dadanya yang mulai terasa sesak.

"Yeeeeeaaahh!!" 

Sorakan pendukung Rico Bane menggema di seluruh ruangan saat tubuh Marco jatuh tersungkur.

Wasit maju dan menarik mundur Rico Bane. Sang wasit langsung mengecek keadaan Marco yang masih tidak bergerak.

"Mom, kenapa daddy terjatuh?" tanya Razka bingung.

"Tidak tau, Sayang. Seharusnya ia tidak jatuh. Daddy hampir memenangkannya," jawab Liza yang tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari sana.

Namun, mata Liza menangkap sesuatu. Ia melihat seseorang mengambil botol minum milik Marco yang masih tersisa setengah. 

Matanya mengikuti kemana orang itu membawa.

Laki-laki itu memberikannya kepada seseorang yang duduk di bangku VIP.

Liza mengenalnya. Orang itu adalah Sebastian Varos. Salah satu ketua gangster yang sangat candu dengan judi, apa pun bentuknya.

Liza mengepalkan tinju. Ada perasaan curiga dan amarah yang beradu saling bertaut.

Teng teng teng!

Mata Liza kembali ke atas ring. Ia tidak percaya kalau suaminya kalah dalam pertandingan malam hari ini.

"Ini tidak mungkin terjadi ...," lirih Liza yang langsung membawa Razka untuk turun dan menghampiri Marco juga Armand.

"Awas ... awas! Kami perlu ambulance!" tukas Armand sambil terus membuka jalan untuk orang-orangnya yang tengah menggotong tubuh Marco. 

Tubuh itu tidak bergerak dan sangat lemah.

"Sayang!" panggil Liza berusaha menembus kerumunan.

Agak sulit, apalagi saat ia harus membawa Razka di dalam gendongannya.

Sampai akhirnya tubuh Marco masuk ke dalam ambulance, Liza tidak bisa menyusul.

Liza terduduk di pinggir jalan selama hampir setengah jam lamanya. Air mata tidak bisa dibendung. Ia hanya bisa menenangkan dirinya dan Razka.

Wanita muda itu memutuskan untuk mencari taksi. Namun kembali ia urungkan karena Liza tidak tahu kemana abangnya membawa Marco.

Saat baru akan berdiri, sebuah panggilan masuk di ponselnya.

"Bang! Gimana daddy-nya Razka?" tanya Liza to the point.

"Liz ... sorry. Kata dokter, Marco sudah berhenti bernafas bahkan sebelum kami sampai ke rumah sakit," ungkap Armand lemas.

Mendengar hal itu, tubuh Liza terasa kaku. Ia hampir saja menjatuhkan ponselnya, karena tidak ada lagi tenaga yang tersisa. 

"Enggak ... Abang pasti bohong, kan?" elak Liza yang tentu saja tidak percaya.

"Sungguh, Liz. Abang minta maaf ... saat ini mereka menawarkan autopsi, bagaimana ...,"

Armand terus menjelaskan, namun Liza tidak lagi mendengar.

Otaknya dipenuhi kesedihan. 

Sambil menggendong Razka, ia berjalan masuk ke dalam gedung. 

"Mereka kira aku tidak mengetahuinya, huh? Dasar maniak!"

[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status