Share

Kalung Keberuntungan

Tidak semua kematian merupakan akhir menyedihkan. Sebagian di antaranya adalah awal yang lebih baik ....

*** 

Jordan menyalami pelayat terakhir yang datang ke rumahnya. 

Setelah siang tadi komandannya dan beberapa pasukan Elang datang, sore ini ia harus menerima beberapa rekan ayahnya yang masih berurusan dengan dunia tinju.

Jordan pernah berniat untuk masuk ke dunia yang sama dengan idolanya dulu, namun almarhum Armand menolak niatan itu mentah-mentah. 

Armand bilang, ia tidak ingin kejadian mengenaskan yang terjadi dengan Marco, kembali terulang.

Walaupun ia cukup yakin kalau ia bisa membawa anaknya menjadi juara, tapi ia tidak bisa menjaganya setiap saat.

Buktinya, ia harus kehilangan Marco di depan matanya sendiri. Di dalam pengawasannya.

"Apakah kita masih menerima tamu yang datang melayat?" tanya Kanaya, istri Jordan yang tengah mengandung enam bulan. 

Jordan diam saja sambil terus menatap foto ayahnya. Tersenyum seakan mengejek dirinya yang tidak becus menjalankan wasiat.

"Sudah cukup. Aku yakin kalau mereka akan paham. Aku perlu istirahat begitu juga denganmu dan calon anak kita ...," ungkap Jordan dalam dekapan Kanaya.

"Oke ...," sahut Kanaya. Sesekali ia mengelus rambut suaminya yang kusut. 

Siapa yang akan menyangka kalau mereka akan menemukan Armand tewas dalam tidurnya?

Hanya tersisa penyesalan. Menyesal karena Jordan merasa kurang berusaha untuk menemukan Razka. 

Ia tidak menyangka kalau ternyata ayahnya sudah sangat lelah menunggu. Sampai akhirnya ia tidak punya waktu lagi dan memutuskan untuk menyerah.

'Haruskah aku terus berusaha menemukannya?' Jordan mulai bimbang. 

Apa untungnya menemukan anak ini? 

Selama bertahun-tahun, ayahnya menunggu untuk bertemu dengannya. Namun anak itu tidak ada sedikit pun niat untuk menampakkan diri.

Apakah sebenarnya Razka tahu, tapi ia sengaja menghindar?

"Aku akan beristirahat di kamar. Sebaiknya kamu jangan terlalu lelah, Sayang. Biar saja Bibi Nora yang membereskan sisanya. Ia akan datang sebentar lagi ...," jelas Jordan.

Tadi Jordan telah menghubungi Bibi Nora, asisten rumah tangga yang harusnya libur hari ini.

Sekalian, ia mengabarkan kalau ayahnya telah meninggal dunia.

Bibi Nora bilang, ia akan datang dan membantu-bantu di rumah hari ini. Walaupun sedang libur, ia tidak sibuk. Jadi ia mengabulkan permintaan Jordan, agar bisa datang dan membantu.

"Iya, aku akan mandi dulu ...," sahut Kanaya.

*** 

Malam sudah semakin larut. Jordan tidak bisa memejamkan matanya.

Setiap ia memejamkan mata, bayangan ayahnya kembali muncul.

Secepat yang ia bisa, Jordan menghilangkan bayangan itu. Masih terlalu menyakitkan.

Di sampingnya, Kanaya telah tertidur cukup lelap. Wajahnya yang kelelahan membuat Jordan enggan membangunkan sosok itu, sekedar untuk menemaninya menghabiskan malam.

Jordan menyibak selimut yang menutupi tubuh shirtless-nya. 

Ia melangkahkan kakinya menuju lemari pakaian. Mencari sebuah baju kaos dan mengenakannya dengan cepat. 

Jordan juga mengambil jaket kulit yang tergantung di belakang pintu, lalu topi hitam di sebelahnya.

Sebelum membuka pintu kamar, Jordan mengambil ponsel yang tersambung ke kabel pengisi daya dan melepaskan soket yang tadi terhubung.

Matanya mengamati layar ponsel. Masih jam setengah sebelas. Pantas saja ia tidak bisa tidur bagaimanapun ia berusaha.

"Aku pergi dulu, Sayang. Hanya cari angin sebentar. Jangan khawatir, ya ...," bisik Jordan di samping Kanaya.

Jordan tau kalau Kanaya mendengarnya saat wanita itu menggeliat ringan. Dengan perlahan, Jordan membuka pintu kamar dan keluar dari sana.

Tanpa berpikir dua kali, Jordan mengeluarkan motor besar kesayangannya. Benda yang selalu bisa menghibur saat ia dilanda kesedihan.

Jordan melajukan motor menembus sunyinya malam. 

Ia mengarahkan motor itu menuju ke kantor polisi. Rencananya ia ingin menemui tersangka yang ia bawa kemarin. Seharian ini ia hanya memikirkannya saja.

Jordan merasa kalau ia akan mendapatkan sesuatu darinya kali ini. Menurut informasi dari Ben tadi siang, orang itu tetap tidak ingin buka mulut. Namun sekarang, Jordan merasa kalau orang itu akan bicara padanya. Feeling Jordan lumayan kuat saat ini.

Dengan kecepatan normal, Jordan menelusuri jalan Kota Metro yang tidak pernah ramai setelah jam sembilan malam. 

Entah sejak kapan, Kota Metro menjadi kota yang memiliki jam malam. Padahal tidak ada yang menetapkannya. Hanya terjadi begitu saja.

Ckiiiit!

Jordan menghentikan motor besarnya di depan kantor polisi Kota Metro. 

Lampu yang masih sangat terang, menandakan kalau ada orang lain di dalam sana.

Biasanya akan ada dua atau tiga polisi yang dinas malam. Berjumlah lebih banyak jika ada tahanan yang menginap di sel.

Seperti malam ini, Jordan berniat untuk bertemu dengan sosok yang membantu Razka kabur kemarin sore.

Cklek.

Jordan membuka pintu dan langsung menemukan Ben juga Riki yang sedang menyaksikan acara TV. Hanya acara memasak di luar negeri. 

"Jo? Apa yang kamu lakukan di sini? Ada hal penting?" tanya Ben kaget. Seharusnya rekannya itu berada di rumah dalam keadaan berkabung.

"Aku ingin bertemu orang itu. Kamu masih mengurungnya, kan?" tanya Jordan yang sudah kembali melangkah menuju satu-satunya sel yang ada di kantor polisi mereka.

Ben bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti langkah Jordan. Sedangkan Riki, polisi muda itu kembali stand by di pos pertama.

"Tentu saja. Aku menunggumu masuk kembali untuk menginterogasinya. Sejauh ini, yang kudapatkan hanya nama saja. Selebihnya, ia tetap bungkam."

"Bagaimana kau mendapatkan namanya?" tanya Jordan penasaran.

"Yang pasti bukan dari mulutnya sendiri. Kebetulan ada seorang polisi dari distrik sebelah yang mengenali orang itu. Nama orang ini James Rowan. Mantan petinju amatir yang hanya bermain dalam pertandingan jalanan. Namanya tenggelam hampir sepuluh tahun silam," jelas Ben.

"Kau bilang ia petinju?" tanya Jordan memastikan indra pendengarannya sendiri.

Ben mengangguk.

"Ya, sama seperti ayah dari anak itu. Bedanya, ia tidak begitu bersinar dan tidak pernah mencapai puncak karirnya. Namanya bahkan hilang sebelum ia melambung. Katanya, kematian Marco 'The Magician' ikut menariknya dalam keterpurukan. Aku juga tidak paham maksudnya bagaimana ...," jelas Ben.

Penjelasan rekannya barusan membuat Jordan semakin bersemangat. 

Kalau memang benar kalau orang itu adalah mantan petinju, itu artinya jalannya akan jauh lebih mudah. 

Jordan meraba lehernya. Menggenggam kalung dengan liontin kepala harimau yang diberikan sang ayah kemarin.

Saat ini mereka berdua telah berhenti di depan sel. 

Di dalamnya ada tiga orang tahanan yang telah menginap beberapa hari belakangan. Salah satunya James Rowan.

Tanpa Jordan minta, Ben membuka sel itu dan membawa James keluar dari sana. 

Dengan borgol yang mengunci kedua tangannya, James didudukkan di belakang meja interogasi.

Jordan dan Ben berdiri di samping kiri dan kanannya. 

"Di mana anak itu?" tanya Jordan membuka pembicaraan.

Namun, seperti dugaan mereka berdua, orang itu akan diam. Ia pikir, ia sedang melindungi anak itu.

"Bicaralah. Apa kamu ingin kamu menggunakan kekerasan?" tanya Ben mencoba mengancam.

Namun, lagi-lagi James tetap bungkam.

Jordan menarik kursi di hadapan James dan langsung duduk di sana.

Jordan mengeluarkan kalung yang ia kenakan, lalu melepaskannya. Ia meletakkan kalung itu di atas meja, hal itu menarik perhatian James.

Untuk sesaat, James ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia urung melakukannya.

"Aku cukup yakin kalau kau mengenali benda ini. Kalung keberuntungan 'The Magician'," kata Jordan.

Laki-laki itu menoleh sedikit. Mencuri pandang dengan ragu-ragu.

"James ... aku satu-satunya keluarga Razka yang tersisa. Katakan di mana dia, agar aku bisa menolong anak itu memperbaiki kehidupan yang telah ia lewatkan selama ini ...," ungkap Jordan penuh harap.

Ia tau kalau James sedang menyimak dengan baik. Semoga saja hatinya tergerak.

[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status