Menjelang akhir tahun pasti pekerjaan setiap kurir pasti banyak. Diskon-diskon berterbaran di mana-mana. Penjualan online naik, paket yang dikirim makin banyak, Kang Paket makin capek, makin lama pulangnya.
Devan menipiskan bibir melihat tumpukan paket yang menggunung. Sudah bertahun-tahun dia jadi Mas Kurir, tapi tetap membuatnya merasa heran tiap kali melihat tumpukan paket sebanyak ini. Memang tidak sebanyak saat ramadhan menjelang lebaran, tapi kalau akhir tahun tetap saja banyak.
Devan dan teman-temannya bergerak cepat, memilah paket-paket yang harus segera diantar dan mana yang bisa ditunda. Meski begitu Devan tetap berharap bisa mengantar semuanya hari ini, karena bisa dipastikan besok akan menumpuk lagi.
Tidak apa. Demi uang, Devan rela berada di bawah teriknya matahari sepanjang hari. Hujan pun sebenarnya ia tak masalah, yang jadi masalah kalau paket yang dia bawa jadi basah. Nanti bukannya dapat bonus malah potong gaji gara-gara customer komplain.
Devan menghela napas ketika berhenti di depan sebuah kos-kosan. Paket yang ia antarkan atas nama Sofia. Tante-tante umur tiga puluan, dengan lemak lebih banyak diperut sampe berlipat lipat, tapi doyan sekali pakai baju kurang bahan.
"Assalamu'alaikum, paket." Devan mengetuk pintu kamar paling ujung, yang depan kamarnya banyak bergantung pakaian dalam.
Lima detik tak ada sautan, Devan mengetuk lagi. Gelisah karena orangnya lama. Padahal ia tahu penghuninya ada di dalam, soalnya jendelanya terbuka. Kalau bukan karena paket COD, sudah pasti ia selipkan lewat jendela.
"Pakeeet." Devan agak mengeraskan suaranya. Ia melihat lagi paketnya, alamat benar, nomor teleponnya ada, tapi Devan tidak mau menelepon. Ia kapok, pernah ia telepon dan berujung dapat kiriman gambar-gambar tak senonoh beberapa kali. Sering ditelepon juga dianya dengan modus tanya paketnya, padahal tidak ada. Akhirnya Devan memilih ganti nomor dan tak mau lagi membagi secara gratis nomornya pada tante-tante itu.
"Lama banget sih, Tante." Devan menggerutu. Malas menunggu dan memegang paketnya, pasalnya isinya beberapa mainan orang dewasa dan juga obat kuat. Devan geli dan jijik.
Tak lama si tante membuka pintu, tubuhnya basah dan hanya pakai handuk yang ukurannya kekecilan, biar bisa pamer paha.
"Mana uangnya, cepat." Devan menodong, menatap jidat si tante yang dirasa paling aman, putih mulus hasil mercuri. Tangan kirinya yang memegang paket agak dikebelakangkan.
"Tunggu sebentar yaaa," pinta si tante dengan centil lalu masuk kembali tanpa menutup pintu. Berjalan lenggak-lenggok kayak entok, lalu tiba-tiba menunduk sampai hutan rimbanya terlihat.
Devan langsung mengalihkan pandangannya sambil mengucap istighfar dalam hati. Menyesal karena tadi tak mau melihat kancut dan beha di jemuran. Kalau tahu matanya akan dinodai pasti mau saja ia lihat itu dalaman yang dari atas sampe bawah ada.
"Kamu nggak mau main-main dulu, Tante ada mainan baru loh."
Tante genit itu datang, tapi Devan masih tidak mau menolehkan kepalanya. Tangan kanan Devan meminta, tangan kirinya memberi.
"Ayo main dulu." Si Tante masih membujuk, ia mengambil tangan Devan yang langsung ditepis oleh yang punya.
Devan menghitung uangnya, lebih kelebihan dua puluh ribu. Devan mengembalikan, tapi Si Tante menolak.
“Tante bisa tambah kalo kamu mau main-main dulu.” Tangannya bergerak lagi menggapai lengan Devan.
"Makasih," balas Devan galak, lalu pergi menjauh.
Pernah ia ditawari jadi gigolo sama Si Tante. Katanya biar dapat uang cepat dan enak, daripada susah-susah jadi kurir antar paket, panas dan melelahkan.
Sepertinya Devan harus bilang ke temannya, kalau sama Tante Sofia ini dapat tip yang lumayan.
Hari sudah malam dan paket Devan masih bersisa lumayan. Devan memberhentikan motornya di depan sebuah rumah berpagar dan dua lantai. Paketnya Mas Eki, Devan harap ada orangnya, atau paling tidak bisa ia lewat pagar.
Devan memencet bel beberapa kali, dan belum ada juga yang keluar. Akhirnya Devan menyelipkan di pagar. Dan mengirim pesan kalau paketnya ia taruh di depan, tak lupa juga bilang alasan kenapa baru malam ia antar.
Devan balik lagi ke kantornya, saat sampai ada lagi paket yang diturunkan. Akhirnya Devan dan teman-temannya janjian untuk jangan dulu pulang, tetapi memilah dulu paket-paketnya agar besok pagi mereka bisa mengantar lebih cepat.
"Ayo semangat, demi bonus."
Sebelum lanjut, Devan memilih untuk makan malam dulu, mumpung temannya masih di jalan. Setelah itu barulah ia duduk memilah paket sampai jam sebelas malam.
Devan membuka ponselnya, puluhan chat dari nomor tak dikenal. Saat Devan membukanya, pertanyaan kamu di mana dan kenapa belum pulang, lengkap dengan sapaan "sayang". Ia tahu itu siapa, dan Devan tak membalasnya. Nanti saja.
Devan pulang dan kembali lagi esok paginya. Ia dan teman-temannya janjian datang jam enam pagi. Begitu terus sampai tahun berganti. Devan sampai tidak pernah makan bersama Eleanora lagi. Padahal kalo makan sama Eleanora, ia bisa menghemat 20-30 ribu seharinya.
Beberapa hari ini ia dan Eleanora hanya berpapasan sebentar. Perempuan itu seperti mengerti kalau Devan sedang lelah, sehingga setiap bertemu cuma tersenyum dan memberikan semangat. Bukan berpapasan sih, lebih tepatnya Eleanora seperti menunggu dirinya pulang dan berangkat kerja.
Kadang Devan jadi merasa bersalah karena seakan masa bodoh dengan luka yang ia berikan di kepala Eleanora. Namun, mau bagaimana lagi, saat pulang ia sangat lelah, dan tak jarang ia pulang jam 12 malam, dan kalau pagi, ia harus buru-buru agar tak kesiangan mengantar paket.
Semua itu ia lakukan bukan demi memberi kepuasan pada customer karena cepat mengantar paketnya, tapi demi duit, demi bonus yang banyak. Devan rela pergi pagi pulang malam.
Hari ini Devan pulang cepat. Masa-masa paket menggunung sudah habis. Hari ini juga yang menerima gaji dan bonus yang lumayan, lebih banyak dari tahun lalu.
Masuk kamar, Devan baru menyadari satu hal. Seingatnya selama beberapa hari sibuk, ia tidak pernah menyapu kamarnya tapi kamarnya selalu bersih dan rapi. Dan yang bikin bingung, ia tidak pernah mencuci baju, tapi baju di lemarinya tidak habis habis.
Devan membuka jaketnya, sadar dengan baju yang ia pakai saat ini. Baju itu ia pakai tiga hari lalu, tapi tadi pagi sudah terlipat rapi di lemari, wanginya juga bukan wangi deterjen, pasti ada tambahan pewangi. Devan tidak bisa menebak, tapi dia suka wanginya.
Devan tidak ambil pusing, mungkin dia yang sudah mencuci pakaian dan menyapu kamarnya, hanya dia saja yang lupa. Ia langsung mandi tanpa pikir apa-apa lagi. Soalnya sudah lama ia tidak mandi sore.
Selesai solat asar, ia ganti pakaian. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, Eleanora masuk terlihat kaget. Sedang Devan sudah mulai terbiasa dengan Eleanora yang muncul tiba-tiba.
"Ehehe, Sayang, udah nggak sibuk?” Eleanora masuk, ada ember di tangannya. Itu ember Devan.
Kenapa embernya bisa ada pada Eleanora?
Devan mengacak rambutnya yang masih basah. Malas mengeringkan pakai handuk. "Dari tadi pulangnya kah, Sayang?" Eleanora menaruh ember itu di kamar mandi. "Nggak mau bilang." "Kamu dapat embernya di mana?" Bukannya protes soal Eleanora yang lagi-lagi masuk sesuka hati. Devan malah salah fokus ke ember yang Eleanora bawa. Seingatnya ia baru pulang dan embernya tidak pernah ia taruh di luar kamar. "Di bawah jemuran, kan kamu yang simpan di situ. Habis ngejemur nggak dikasih masuk lagi." Devan mengangguk. Ia tak ingat kapan terakhir kali mencuci dan menjemur pakaian. Rasanya tidak mungkin kalau karena saking capeknya ia sampai ngelindur dan melakukan semua itu. Saat ini mereka sedang diam-diaman. Eleanora sibuk dengan ponselnya, sedang Devan tak tahu mau berbuat apa. Tak lama ia ingat sesuatu, ia harus cari kerja sesuai jurusan kuliahnya. Ia tak bisa kaya kalau hanya jadi kurir terus-terusan. Devan mengambil laptop dan mejanya, lalu duduk di lantai, bersandar di tempat tidur. Berhad
Belum nikah, bukan penyuka one night stand, bukan juga orang sakit. Tiba-tiba pas baru buka mata setelah tidur semalaman ada wajah cewek tepat di hadapan. Devan terkejut bukan main, tidak teriak, tapi refleks kepalanya membuatnya kesakitan karena terbentur tembok. Sudah setengah jam berlalu, ia sudah wudhu, sudah solat subuh. Harusnya panas di dadanya sudah mereda, tapi nyatanya ia makin tersulut setelah gadis itu bangun dengan tanpa rasa bersalah. "Hehe iya, aku udah duplikat kunci kamarmu dari minggu lalu." Sungguh, kalau makhluk di hadapannya bukan perempuan, sudah pasti ia cakar-cakar wajahnya yang sejak tadi senyum terus. Devan bukan lagi butuh energi sampai harus dikasih gula terus menerus. Bukannya diabetes, dia bisa darah tinggi lama-lama. "Maumu itu apa sih?” Devan menahan suaranya agar tidak membentak. Apalagi ini masih pagi, subuh baru lewat, malah mungkin tetangga kosnya ada yang masih tidur. "Mauku itu kamu. Kita nikah, biar bisa sama-sama terus sama bisa n
Devan terdiam di depan pintu kamar mandi, badannya masih basah, dengan handuk menggantung di pinggang. Dadanya naik turun, ingin mengamuk tapi tidak tahu sama siapa. Matanya nyalang menatap sosok yang sedang berbaring di tempat tidurnya dengan tangan menutup wajah. Pura-pura bermain ponsel tapi masih mengintip di sela-sela jarinya yang sengaja direnggangkan. Devan mengembuskan napasnya dengan kasar, berusaha mengurai emosinya. Bisa-bisa cepat tua dia kalau terus-terusan marah-marah. Ia mengambil bajunya di lemari dan membawanya ke dalam kamar mandi. Tidak bisa pakai di luar, nanti kesenangan Eleanora melihatnya lebih lama. “Maunya pakai di sini saja, Sayang.” Eleanora sudah duduk saat ia keluar kamar mandi. Cengirannya tak pernah lepas. Devan ingin menjauh dari Eleanora, tapi sayangnya sekarang hari minggu, ia libur. Perkara ia mandi pagi karena semalam ia pulang kemalaman dan malas mandi sebab terlalu lelah. Devan melewati Eleanora begitu saja, mengabaikan gadis itu. Ia keluar
Eleanora senyum-senyum di belakang Devan yang mondar mandir sejak tadi. Beberapa jam berlalu, tapi kesal di wajah Devan tak juga hilang. Malah makin menjadi. Eleanora tidak yakin kalau Devan cemburu. Mungkin kesal karena ia datang mengacau kesenangannya. Eleanora mengedikkan bahu. Ia memegang pundak Devan dari belakang. "Capek, Sayang. Jangan mondar mandir terus," keluhnya. "Kamu kenapa sih?” Eleanora mendorong Devan agar duduk di tepi tempat tidur. Tak paham dengan Devan. Tidak biasanya lelaki incarannya seperti itu. "Kamu kenapa siiih?" Eleanora bertanya lagi, kini wajahnya dihadapkan begitu dekat dengan wajah Devan. Tapi Devan tetap tidak mau melihat dirinya. Gemas, Eleanora mencubit kedua pipi Devan. Yang akhirnya ditepis Devan. "Saya jengkel." Devan berdiri. Eleanora ikut berdiri. "Jengkel kenapa?” "Jengkel karena saya jengkel." "Hah?” Eleanora yang bingung jadi makin bingung mendengar jawaban Devan. "Ya udah main game lagi gih. Aku balik ke kamarku." Eleanora
"Sayaaaang." Eleanora muncul dengan melongokkan kepalanya dari balik pintu. Devan yang baru selesai solat menengok sekilas lagi lanjut zikir. Sejak makan malam yang dibiayai Devan waktu itu, Eleanora jadi lebih sering datang dan muncul di hadapannya. Pulang lebih malam, datang lebih cepat. Itu Eleanora sekarang kalau di kamar Devan. Devan mulai biasa saja, tidak lagi takut atau menghindari Eleanora. Devan lanjut dengan ibadahnya, Eleanora sibuk dengan ponselnya di tempat tidur Devan sambil rebahan. Katanya Eleanora sedang datang bulan, untuk sementara tidak bisa jadi makmum Devan. Dan Devan sendiri tidak ke masjid karena kesiangan.Devan melanjutkan dengan membaca Alquran, Eleanora mendengarkan, tak tahu Devan membaca surah apa. Eleanora bukan gadis alim yang paham agama. Bahkan solat pun karena ikut-ikut Devan. Hampir jam enam Devan baru berdiri. Ia sudah mandi jadi sengaja lama-lama. Canggung juga kalau masih subuh Eleanora sudah di kamarnya. "Keluar dulu, Saya mau ganti baju.
inggu lalu bikin mereka rugi banyak. Gajinya juga tidak dipotong, malah ia diberikan pesangon lumayan. Devan bingung, tapi senang juga. Devan pulang malam kali ini, menyelesaikan tugas untuk terakhir kalinya pakai motor Rifqi. Ia tidak berani memakai motornya sendiri yang tiba-tiba muncul secara misterius. Ia takut ada apa-apa dengan motor itu.Saat menaiki anak tangga, ponselnya berbunyi. Salah satu teman kampusnya menelepon, gadis yang pernah ia taksir dulu. Agak lama Devan membiarkan panggilan itu, ia perlu mengatur detak jantungnya lebih dulu. Ia grogi meski merasa sudah tak punya rasa apa-apa.Devan menarik napas sebelum menyapa. “Assalamu’alaikum, Ra. Ada apa?”“Wa’alaikumsalam, Van sibuk kah?”Devan tidak langsung menjawab, bingung harus bilang sibuk atau tidak. Harusnya sih tidak, karena ia pengangguran sekarang, tapi kalau ditanya capek atau tidak ya pasti capek. “Tidak, cuma ini baru pulang kerja. Kenapa?”Ia penasaran, kenapa wanita secantik Nara yang dulu jarang mengajakn
Devan terbangun ketika samar samar mendengar suara azan asar yang berasal dari ponselnya. Ia bergegas bangun meski beberapa kali menguap dan menutup mata.Devan berdiri dan bergegas masuk ke kamar mandi lalu mencuci wajahnya dengan brutal. Jika tidak begitu, ia takut akan tertidur lagi. Ia sangat mengantuk saat ini, dan tidur siang adalah rutinitas yang sangat jarang ia dapatkan.Usai mandi dan solat asar, Devan mengaktifkan ponselnya yang sengaja dinonaktifkan sebelum tidur tadi. Selang dua-tiga menit, notifikasi beruntun masuk. Ada beberapa mantan customer yang menanyakan paket pesanan mereka, entah itu pertanyaan kapan sampai, kenapa lama, kapan di antar, ataupun pemberitahuan jangan dulu diantar atau harus di mana di taruh paket itu.Ia membalas satu persatu, mengatakan bahwa ia sudah resmi berhenti jadi tukang paket. Balasnya satu persatu, tapi isi balasannya sama semua hasil copy paste.Tak lama, terdengar suara Rifqi yang memanggil. Devan pura-pura budek karena rencana ia berni
Kata orang putus cinta itu lebih menyakitkan daripada sakit gigi. Namun, banyak yang tidak tahu kalau ditolaknya lamaran kerja oleh HRD lebih menyakitkan daripada dua hal itu.Sakit gigi dan putus cinta rasanya tidak ada apa-apanya dengan melihat email lamaran kerja yang tidak kunjung mendapat balasan atau membaca email penolakan berkali-kali. Rasanya sakit sekali sampai isi dompet meronta-ronta.Saking kesalnya, Devan sampai berguling ke sana kemari di atas tempat tidur, yang berujung jatuh ke lantai. Jatuh dari ketinggian lima puluh centimeter rasanya seperti jatuh dari gedung lantai lima. Sakitnya remuk redam.Devan menggeram, ia butuh udara segar. Dan pilihannya jatuh pada dipan di bawah pohon mangga. Sedikit bodoh memang memilih berada di bawah pohon pada tengah malam. Bukan hanya suasana yang horor, tapi juga akan berdampak pada tubuhnya akibat menghirup banyak gas karbondioksida. Namun sekarang Devan hanya butuh udara dingin malam hari. Berharap bisa menghangatkan hatinya yang