Share

Bab 7

Eleanora senyum-senyum di belakang Devan yang mondar mandir sejak tadi. 

Beberapa jam berlalu, tapi kesal di wajah Devan tak juga hilang. Malah makin menjadi. Eleanora tidak yakin kalau Devan cemburu. Mungkin kesal karena ia datang mengacau kesenangannya. 

Eleanora mengedikkan bahu. Ia memegang pundak Devan dari belakang. "Capek, Sayang. Jangan mondar mandir terus," keluhnya. "Kamu kenapa sih?” 

Eleanora mendorong Devan agar duduk di tepi tempat tidur. Tak paham dengan Devan. Tidak biasanya lelaki incarannya seperti itu. 

"Kamu kenapa siiih?" Eleanora bertanya lagi, kini wajahnya dihadapkan begitu dekat dengan wajah Devan. Tapi Devan tetap tidak mau melihat dirinya. 

Gemas, Eleanora mencubit kedua pipi Devan. Yang akhirnya ditepis Devan. 

"Saya jengkel." Devan berdiri. 

Eleanora ikut berdiri. "Jengkel kenapa?” 

"Jengkel karena saya jengkel."

"Hah?” Eleanora yang bingung jadi makin bingung mendengar jawaban Devan. "Ya udah main game lagi gih. Aku balik ke kamarku." 

Eleanora pergi meninggalkan Devan sendirian. Ia merasa bersalah. Sepertinya Devan memang jengkel diganggu saat main game tadi, dan bukan karena Devan merasa cemburu padanya. 

Eleanora menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Memang tidak mungkin kalau Devan cemburu, apalagi setiap hari ia hanya buat kesal laki-laki itu. 

Eleanora membuka ponselnya, mencoba browsing kiat-kiat mendekati lelaki. Namun semua yang disebutkan di internet tidak menarik minatnya. Sepertinya akan memakan waktu lama, Eleanora tidak mau. Ia ingin hasil yang cepat. Bahkan resolusinya tahun ini yaitu menjadikan Devan miliknya. Mengikat Devan dengan perasaan dan pernikahan. 

Kalau sulit membuat Devan mencintainya, setidaknya ia harus membuat Devan menikahinya. Yakin Eleanora cinta lebih mudah tumbuh setelah menikah. 

Di kamar sebelah, Devan juga berbaring di tempat tidur dengan wajah ditutup bantal. Padahal bantalnya apek, tapi ia tetap bertahan. Ia tidak mengerti, mengapa ia seperti kucing ingin kawin yang gelisah sana sini. 

"Van, ayo main lagi." Rifki tiba-tiba datang menggebrak pintu yang memang tidak ditutup sejak tadi. 

Devan terkejut sampai berjingkat di atas tempat tidur. 

"Ko mau bikin saya mati kah?" Devan melempar bantalnya ke wajah Rifqi. 

Rifqi tertawa lalu mengajak Devan ke kamarnya dengan sedikit memaksa. Sampai di kamar Rifqi, Devan diledek habis-habisan oleh Bang Idris dan Rifqi. 

Penghuni kosan itu rata-rata termasuk individual. Kenal sih memang saling kenal, tapi tidak akrab sampai ngumpul bersama. 

Devan sampai malam di kamar Rifqi, makan dan solat di sana. Walaupun sering digoda, Devan tetap bertahan. Untuk saat ini rasanya diejek Rifqi dan Bang Idris lebih baik daripada harus bersama Eleanora walau hanya diam-diaman.

Sejak hari itu Devan menghindari Eleanora, ia ke kamarnya hanya untuk mandi dan ganti baju. Pulang kerja dan tidur ia di kamar Rifqi. 

Setiap berpapasan dengan Eleanora, Devan cepat berlari menjauh, entah itu segara pergi kerja atau segera masuk kamar Rifqi. Namun, meskipun dihindari Eleanora tetap mengirimkan pesan seperti biasa, juga membersihkan dan merapikan kamar Devan. Eleanora juga tetap mencucikan pakaian Devan. 

Devan sempat merasa risih juga takut dengan Eleanora yang terus mencucikan pakaiannya. Pasalnya ia teringat akan bapaknya yang pernah dipelet perempuan pakai bedak dan pakaian kotor bapaknya. 

Bapaknya dikasih pakai bedak, dicuri pakaiannya yang sudah seharian dipakai lalu dipakai tidur. Setelahnya bapaknya jadi terkesan selingkuh dengan perempuan itu, tergila-gila. Membuat bapaknya selalu kembali dan teringat pada perempuan itu meski sudah bapaknya caci maki sedemikian rupa. 

Kejadian itu saat Devan masih balita. Ia tak ingat, hanya diceritakan oleh ibu dan kakaknya bagaimana mereka dulu saat bapaknya dipelet orang. 

Setelah semalaman ketakutan, esoknya Devan segera mencuci sendiri bajunya sebelum berangkat kerja. Tak membiarkan Eleanora mengambil pakaian kotornya lagi. Takut ia, trauma. Jangan sampai Eleanora berbuat gila lagi dengan pakai pelet. 

Sore itu Devan pulang dalam keadaan perut kosong dan wajah yang kecoklatan parah. Ia belum makan seharian. Niatnya mau puasa, tapi ia batalkan karena emosinya terlalu besar untuk ditahan. Saat mengantarkan paket terakhir tadi ia dimaki-maki oleh customer karena pesanan yang dia antarkan tidak sesuai harapan si customer. 

Devan tentu saja tidak menumpahkan emosinya ke customer. Ia masih takut kalau gajinya akan dipotong lebih banyak. Ia memilih mengguyur wajahnya dengan air mineral, ia juga minum karena merasa haus menahan emosi. Menyesal sebenarnya, tapi mau bagaimana, sudah terjadi. 

Ketika Devan masuk ke pekarangan kosan, ia melihat Eleanora duduk di bawah pohon mangga bersama tiga perempuan penghuni kosan lainnya sedang bercerita dengan heboh. Pertama kalinya Devan melihat Eleanora banyak bicara dan tertawa. Mereka bersenda gurau sambil makan rujak mangga muda. Mangga di depan kosannya itu memang selalu berbuah walaupun tak banyak. 

Lima menit Devan di parkiran, bengong sambil mengintip Eleanora. Kalau dilihat sekarang Eleanora seperti remaja pada umumnya yang ceria dan polos. Namun entah kenapa kalau dengan Devan bawaannya minta dinikahi dan suka agresif sentuh-sentuh. 

Lamunan Devan buyar saat ponselnya berbunyi. Ada chat WA yang masuk, dari Eleanora, menyuruhnya segera mandi karena sebentar lagi azan magrib. Devan mengulum senyum lalu bergegas ke kamarnya di lantai dua. Ia melewati kamar Bang Idris dan Rifqi yang tertutup.

"Kak El, baru pulang?” 

Teriakan Eleanora membuat Devan menoleh. Eleanora menegur penghuni kos yang lain yang baru pulang. Eleanora memanggil temannya itu dan mengajaknya bergabung. Eleanora memang baik pada semua orang. 

Melihat Eleanora yang sama sekali tak menoleh padanya padahal jarak mereka tidak begitu jauh membuat Devan melanjutkan langkahnya. Ada rasa yang menyelip ingin disapa riang oleh Eleanora seperti biasa. 

Malam harinya Devan memasak nasi di magicom miliknya yang sudah empat tahun lebih itu, sudah usang, sudah wajib diganti karena untuk memasak beras dua genggam saja butuh waktu sejam lebih. Usai memasak nasi, Devan memasak air, menyeduh mi instan yang sudah tinggal setengah sisa kemarin. 

Sudah beberapa hari ini Eleanora tidak pernah lagi datang membawa makanan untuknya. Bukannya ia pelit untuk beli makan sendiri, ia hanya mencoba untuk irit dan meminimalisir pengeluaran. Ia ingin segera punya rumah sendiri. 

Kesal airnya tak kunjung mendidih, Devan akhirnya memilih memesan online. Saking kesalnya ia memesan banyak sekali. Ia sampai bingung harus makan apa lebih dulu dan bagaimana menghabiskannya. 

Devan memanggil Rifqi dan Bang Idris, tapi dua orang itu sedang tidak ada di kos. Devan menghela napas, ragu memanggil Eleanora.Cukup lama Devan menimbang sampai es dari minumannya mulai mencair. 

Begitu di depan kamar Eleanora, Devan langsung mengetuk, takut kalau menunda-nunda ia akan gamang lagi. 

Tak lama Eleanora keluar dengan penampilan yang langsung membuat Devan mengalihkan pandangan. Eleanora keluar hanya memakai tanktop dan celana pendek, bahkan rambutnya masih basah. 

"Kenapa, Sayang?” tanya Eleanora sambil menggosok rambutnya dengan handuk kecil. 

Devan membalikan badannya, memunggungi Eleanora. "Temani saya makan."

"Okee." Eleanora langsung menutup pintu dan berjalan mendahului Devan. 

Devan otomatis menarik rambut Eleanora agar gadis itu berhenti. "Pakai baju yang benar dulu," katanya lalu masuk ke kamarnya, meninggalkan Eleanora yang tertawa di luar. 

Tak lama Eleanora datang, memakai training merah dan kaos lengan pendek berwarna hitam. Rambutnya yang sepunggung ia biarkan terurai berantakan, belum disisir. Eleanora agak terkejut dengan makanan yang Devan punya. "Kamu mau nyogok aku, Sayang?" tanyanya heran. 

Pasalnya di depannya saat ini ada nasi padang, bakmi ayam, pizza, martabak telur dan manis rasa coklat keju,  ada donat juga es cappucino, masing-masing satu kotak. 

"Kamu bisa romantis juga, Sayang." Eleanora terkekeh. Sedang Devan menggaruk kepalanya yang tak gatal, malu dengan sindiran Eleanora. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status