Jam sudah menunjuk ke angka tujuh kurang beberapa menit saat Ganes terlihat berlarian. Derap langkah kakinya terdengar menggema di seluruh lorong rumah sakit yang dilalui.Napas Ganes tersengal-sengal. Ia benar-benar tak habis pikir jika harus terlambat masuk di hari keempatnya bekerja. Alih-alih menunjukkan etos kerja yang tinggi, hal itu akan menjadi celah bagi para petinggi untuk memperhitungkan kinerjanya. Beruntung, pagi itu hampir tak terlihat pasien di lobby rumah sakit. Oleh sebab itu, Ganes berani menderap langkah tergesa, menaiki anak tangga dengan kecepatan di atas rata-rata.Betapa terkejutnya ia saat tiba di tempatnya harus stand by. Bayangan akan berleha-leha demi bisa menarik napas lega, nyatanya berubah bak mimpi buruk setelah melihat ruangan di ujung lantai tiga itu telah terbuka tirainya. Ganes memejam, lantas berusaha berpikir positif untuk mengawali harinya.Sayang, tepat saat ia berbalik arah menuju ke toilet karyawan, sosok Jendra telah berdiri sembari berkacak p
Ganes berlarian kecil di sisi lain jalan. Kedua tangannya menggenggam erat belanjaan yang beratnya bukan kepalang.Alih-alih menghentikan angkutan umum untuk mempermudahnya tiba di tujuan, ia memilih berjalan kaki sebab lupa meletakkan di mana dompetnya terakhir kali.Bukan tanpa sebab. Jika bukan karena perintah atasan dengan gold card, ia tak akan mau disuruh tanpa diberi uang saku. Terlebih, karena yang memberinya perintah adalah sang direktur. "Sialan itu direktur! Mana hp sama dompet lupa di mana naro! Katanya aja barangnya enggak banyak! Enggak taunya seberat galon buat masing-masing tas belanjaan! Niat bener ngerjainnya!"Peluh membanjiri kening Ganes yang mulai licin. Napasnya mulai tersengal-sengal. Tak adanya angin yang berembus, makin membuat Ganes merasa kepanasan. Ditambah dengan terik mentari yang tiada habisnya.Ganes telah melewati belokan terakhir sebelum tiba di rumah sakit saat diletakkannya kedua tas belanjaan di aspal. Ia duduk berselonjor kaki di bahu jalan.Ali
Usai Ganes menyebut nama sang direktur utama seenak jidat, alih-alih mendapat dompet dan ponselnya yang hilang, ia malah dibekap oleh Faruk, kawan sekaligus supervisor di tempatnya bekerja. Ia membeliak, lantas mengangguk saat Faruk mengisyaratkan untuk tetap diam."Jangan sembarangan ngomong, Nes! Sadar enggak sih, kamu? Dia itu direktur utama. Namanya bak larangan untuk disebut dengan semena-mena! Buat bertatapan aja udah kayak larangan minum miras, apalagi maki dia, Nes!"Ganes membuang muka, mengempas tangan Faruk yang sebelumnya membekap mulutnya kuat-kuat."Aku enggak peduli, Ruk. Kalo cuma masalah kerjaan yang dibikin rumit, aku enggak masalah. Aku bisa terima! Tapi, beda lagi saat apa yang dipermainkan oleh si Jendra adalah uangku! Aku mengumpulkannya siang dan malam, diterpa panas dan hujan! Dia tak berhak untuk mencuri satu rupiah pun dariku, Pak Faruk!"Hampir saja Ganes beranjak, meninggalkan Faruk yang diperam gelisah saat tiba-tiba saja terdengar ucapan seseorang di loro
Ganes tengah terbahak-bahak setelah mengingat apa yang ia masukkan dalam bungkusan mi ayam dan es kelapa muda yang ia berikan pada Jendra. Alih-alih memberikan makanan layak untuk membangkitkan semangat, ia memilih untuk membalas dendam. Telah ia campurkan banyak sambal dalam mi ayam, lantas banyak garam pada air kelapa muda.Beruntung, penjual mi ayam yang kala itu tengah berbincang dengan orang lain tak melihat kelakuannya yang absurd. Tak adanya bukti dan saksi mata, akan membuatnya terbebas dari banyak praduga.Meski ia yakin, Jendra tak akan melakukan hal lain yang bisa mencemarkan nama baiknya sendiri, tetap saja ada rasa was-was yang sedari tadi menghantui. "Kalo dimakan ya syukur, dia kena batunya. Enggak pun, enggak papa. Aku rela."Sembari terus melahap mi ayam yang nikmat, Ganes terus tertawa. Tawa yang bahkan tak pernah ia sungging selain pasca mendapatkan uang lebih banyak dari yang diharapkan.Diana, sang tetangga yang paham betul bagaimana watak Ganes pun hanya bisa ber
Ganes mengernyit. Ia telah mendekat di balik bangku yang dekat dengan suara yang tengah mempertanyakan mengenai hubungannya dengan Rajendra. Ditundukkannya kepala, lantas memberi isyarat pada Diana untuk duduk di sampingnya.Diana yang baru usai memesan, langsung duduk sembari bertanya-tanya. Hampir saja ia melempar tanya jika Ganes tak langsung meletakkan telunjuk di depan bibir."Dengarkan saja. Coba klik fitur rekaman di ponsel."Permainan Ganes yang diucapkan dengan nada rendah itu membuat Diana langsung bertindak. Diberikannya ponsel pada Ganes, lantas turut mencoba mendengarkan.Ganes telah mengangkat ponsel Diana setinggi telinga, berusaha bersandiwara seolah-olah tengah menghubungi seseorang nun jauh di sana."Setauku, Rajendra memang tak pernah punya hubungan baik dengan perempuan. Bahkan dengan ibunya. Ada sesuatu yang mungkin sedang ia pikirkan atau bahkan ada sesuatu yang mungkin menjadi momok tersendiri baginya. Yang jelas, dia juga enggak sakit seperti yang banyak orang
Ganes tengah menatap nyalang pria yang ada di hadapan. Dengan tangan mengacung di depan wajah, telah ia berikan pria itu sebuah peringatan. Dianggukkannya kepala sembari merampas lagi uang yang telah diambil dari tangan Diana sebelumnya."Aku memang bukan perempuan yang berani melawanmu secara fisik dan mental, tapi aku percaya, bukti yang kupunya lebih penting dari segalanya!"Pria yang mengaku bernama Kelvin itu terperenyak. Ia menunduk, lantas mencoba bernegosiasi pada Ganes dengan suara yang tertahan."Kita bisa bicarakan ini dengan baik, Mbak."Ganes kembali naik pitam. Bukan tanpa sebab. Ia melihat sendiri, bagaimana pewawancara itu mencoba mengelabui Diana dengan menepuk pundak sang tetangga secara pelan, berulang-ulang.Beruntung, sejak Kelvin, pria yang katanya menduduki kursi manager itu datang, Ganes langsung mengabadikan setiap momen yang ada. Terlebih, saat melihat wajah yang katanya punya posisi penting, sama sekali tak mencerminkan kewibawaan."Ngomong baik-baik? Apa ka
Rajendra tampak kebingungan. Entah kenapa, ia merasa tak nyaman. Terlebih setelah membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Gracia."Pak, kayaknya besok aku enggak masuk. Aku kecopetan di jalan Sudirman. Kakiku keseleo. Ini masih nunggu ambulans datang."Jendra tahu betul, daerah yang disebutkan oleh Gracia masih berada di kawasan sekitar rumah. Didongakkannya kepala, lantas segera bergegas keluar rumah.Dengan motor dengan CC besar dan jaket hitam dengan logo tiga garis besar membentuk segitiga, ia keluar, membelah jalanan tengah kota demi menyisir tepian jalan. Meski lajunya telah dipelankan, tetap saja ia belum menemukan sosok Gracia.Hampir saja ia tiba di persimpangan terakhir menuju kediamannya saat melihat Gracia berada di seberang jalan sembari meringis kesakitan. Dengan sigap, Jendra menghentikan laju motornya di jalur berbeda.Setalah men-standart-kan motor, Jendra menyeberang jalan. Didekatinya Gracia yang tengah kesakitan. Dengan gagahnya, ia berlutut, lantas meraih kaki Gr
Gracia gemas. Ia berdecak tepat saat Jendra memutuskan untuk melihat ke depan rumah. Lantas, ia terkejut bukan kepalang saat menyadari bahwa sang direktur utama telah membawa banyak petugas kesehatan."Ini dia, Pak," ujar Jendra sembari menunjuk pada Gracia.Sadar bahwa rencananya mulai berantakan, Gracia mengambil duduk di sofa. Diraihnya ponsel yang ada di nakas dengan susah payah setelah menggeser pinggul demi memberi ruang pada petugas kesehatan."Diangkat kakinya, Mbak. Sini," pinta petugas kesehatan perempuan. Telah ditepuknya paha agar kaki Gracia bisa dilihat dengan seksama.Sayang, Gracia menggeleng dengan pelan. Nada bicaranya terlihat gugup dengan keringat yang bercucuran.Melihat itu, Jendra yang tahu betul bahwa Gracia tampak terkejut bukan kepalang, langsung menjelaskan duduk perkaranya."Katanya ada panggilan darurat dari sini. Itu sebabnya mereka kemari. Kamu kan yang telepon? Sorry, aku enggak kepikiran juga sih buat manggil mereka ke sini. Tapi kalo dipikir-pikir ema