"Nara? A ... Azlan?" Flora terbata-bata saat menjawab, pastinya dia juga syok saat melihat kami.Wajah Flora seketika pias, sedangkan Azlan seperti orang yang bingung mau berbuat apa. Dan aku ... ah, aku bisa apa selain hanya mematung dengan mata membelalak dan mulut menganga.Sungguh ini sebuah kejutan di luar dugaan. Siapa sangka yang bayar Flora untuk jadi anaknya ternyata kawan lama dari Pak Wijaya. Tapi kenapa Flora tidak cerita? Apakah dia sengaja atau memang tidak tahu?"Lho, kalian sudah kenal?" tanya Bu Wijaya.Bukannya menjawab, kami bertiga justru mengarahkan pandangan ke Pak Robby dan istrinya. Seolah paham dengan kebingungan Flora, akhirnya Pak Robby berdiri dan mendekati Flora."Duduk dulu, Bella." Pak Robby mengajak Flora untuk duduk di kursi tepat di hadapan Azlan."Tunggu, tunggu ... nama anak kamu ini Bella atau Flora, Rob?" tanya Pak Wijaya kebingungan."Begini, Bro. nama lengkap Bella itu ... ehm ... Flora Salsabila. Teman kecilnya panggil dia Flora, dan di rumah d
"Lama amat kamu, Ra?" tanya Azlan setengah berbisik ketika aku baru saja mendaratkan tulang duduk."Nggak usah berisik!" sahutku tanpa melihatnya, lalu berpura-pura tersenyum dengan Bu Wijaya yang memang memperhatikan aku dan Azlan."Maaf, saya terlalu asyik di toilet sampai lupa balik. Habisnya, lukisan di lorongnya itu keren banget." Aku masih berusaha mencari alasan dan mengulas senyum, berharap tidak akan dicurigai."Iya, Tante. Bagus banget lukisan dan juga desain interiornya. Selera Tante memang kelas elit," puji Flora menimpali kebohonganku."Ah, kalian ini bisa aja." Bu Wijaya tersenyum dengan ekspresi pura-pura tersipu.Acara makan malam telah berakhir, acara dilanjutkan dengan obrolan ringan di ruang tamu. Tentu saja obrolan itu bermuara pada rencana mereka, yaitu perjodohan antara Bella—si anak adopsi palsu—dengan Azlan.Dengan seksama, aku menyimak. Berharap ada kesempatan untuk menyela dan membuat rencana perjodohan gagal tanpa memberatkan Flora, karena kasihan jika harus
Dengan langkah gontai, aku berjalan tanpa tahu arah. Bahkan aku tak peduli dengan sekitar, termasuk tatapan orang-orang yang melihatku. Hingga tanpa aku sadari, sebuah mobil menepi dan menghalangi jalanku.Kepalaku mulai berputar, jalanku pun mulai terhuyung. Di saat hampir limbung, tangan seseorang menangkap tubuhku."Nara, kamu kenapa, Ra?" tanya lelaki yang wajahnya samar-samar aku lihat.Beberapa kali aku mengerjapkan mata agar kesadaranku tidak hilang. Mata juga turut berkabut akibat terlalu banyak menangis, sembab dan berat rasanya.Dapat kurasakan lelaki itu membopong tubuhku yang lunglai, aku hanya bisa pasrah tanpa bisa menolak. Beberapa saat kemudian, kurasakan tenggorokanku basah oleh air dan membuat kesadaranku semakin membaik."Nara, apa yang terjadi denganmu, Ra? Kenapa kamu sampai seperti ini?" lelaki itu kembali bertanya.Samar-samar aku mulai mengenali wajah dan suaranya. "Om Fadli?" sontak aku kaget.Aku baru menyadari posisiku sekarang telah berada dalam mobilnya. R
(POV Azlan)Namaku Azlan Wijaya Pratama, satu-satunya penerus kerajaan bisnis Wijaya Pratama. Saat ini, aku terjebak dalam sebuah pernikahan toxic. Aku sadar bahwa wanita yang aku nikahi, mulai berubah. Dia bukan lagi seorang gadis sederhana seperti yang dulu kukenal.Aku mengenalnya saat masih kuliah, dia begitu lugu dan polos. Bahkan saat dibully oleh gadis yang sangat menyukaiku, dia tak berani membalas. Sejak saat itu, aku berusaha dekat dengannya dan ingin melindungi dia.Elina, gadis cantik tanpa kehidupan yang glamour. Waktu itu, ayahnya mengalami kebangkrutan dan Elina harus berjuang agar tetap bisa lanjut kuliah. Dia wanita yang pantang menyerah jika sudah punya keinginan.Melihat ketangguhannya, aku jatuh cinta dengan Elina. Bahkan diam-diam memberikan uang modal untuk ayahnya agar bisa memulai usaha kembali. Tentu saja itu uang pemberian Papa yang selama ini aku kumpulkan.Walaupun aku terlahir di keluarga kaya raya, tetapi Mama dan Papa mengajarkan padaku untuk tidak boros
(POV Azlan)"Mas Azlan beneran mau ke Bandung?" tanya Elina yang seakan meragukan kepergianku untuk urusan kerjaan.Aku tahu, dia pasti curiga dan berpikir kalau aku hanya beralasan agar bisa bersama dengan Nara. Sikap Elina semakin posesif sejak mendapati aku mengigau, dalam igauan tersebut katanya aku mendesah seraya menyebut nama Nara. Ah, bodohnya aku. Kenapa sering kali memikirkan Nara, membayangkan bercinta dengannya. Tanpa kusadari sampai terbawa di bawah alam sadar."Mas," panggil elina kembali."Elina sayang, istriku yang teramaaaat aku cintai. Kamu bisa tanya ke Dara, tanya saja apa agenda kerjaku dan dengan siapa di sana aku akan bertemu.""Halah, bisa saja kamu bayar sekretarismu itu untuk bohong, Mas.""Elina, cukup ya. Kalau alasan cemburumu karena igauan itu, harusnya kamu mikir donk. Siapa yang menyuruhku untuk meniduri wanita lain? Aku lelaki normal, El. Meskipun hatiku tidak menginginkan, tapi otakku tidak bisa menolak." Akhirnya kekesalanku tertumpah."Sudahlah, El
Bicara mengenai wanita bayaran, nyatanya sekarang aku juga terjebak dalam permainan yang diciptakan oleh istriku sendiri. Aku yang mulai menaruh perasaan pada Nara, harus berjuang melawan perasaan tersebut. Dan ini sungguh menyiksa.Kenyamanan saat bersama Nara, telah lama tidak aku dapatkan dari Elina. Elina lebih sibuk dengan urusannya. Apalagi setelah dia mendapatkan tekanan dari Mama, psikis dia tentu saja tidak baik-baik saja. Aku tak pernah menuntut apapun pada Elina, karena melihat kondisi dia saja sudah sangat memprihatinkan waktu itu.Membuat Elina bahagia adalah pilihanku, meskipun terkadang permintaannya di luar nalar. Termasuk menyewa rahim wanita lain untuk melahirkan benihku, dan justru wanita bayaran itu mampu menjerat perasaanku.Nara ... setiap aku menyebut nama wanita itu, bayangan kenikmatan dari sensasi menyentuh tubuhnya seperti aliran listrik yang sangat kuat. Libidoku langsung naik dan membuat bagian tubuh lain menegang.Bagiku sekarang, tubuh Nara adalah candu.
Terlahir sebagai anak konglomerat tidak sepenuhnya bahagia. Justru banyak problema yang harus dihadapi, bahkan sering terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan. Sebagai penerus kerajaan bisnis Wijaya Pratama, aku pun tidak hanya diberi limpahan warisan. Melainkan juga limpahan tanggungjawab mengurus perusahaan, mempertahankan agar tetap eksis dan terus berkembang menjadi lebih besar. Selain itu, aku juga dituntut untuk menjaga sikap di depan umum. Tak ada cela di mata semua orang agar mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak. Itu sebabnya, ayahku mengajarkan semua tata cara dari bersikap, berbicara, dan bagaimana cara menjalankan bisnis yang baik. Semua itu ditanamkan sejak kecil, agar saat dewasa aku sudah bisa menerapkan semua ilmu.Aku akui, eksistensi perusahaan Wijaya Pratama sudah mendapatkan tempat spesial. Hal tersebut membuat aku sebagai penerusnya lebih mudah memenangkan setiap projek.Namun, di balik kesuksesanku sebagai penerus bisnis Wijaya Pratama, ada banyak ma
Tidak berapa lama aku duduk, muncullah Nara dan Flora. Terlihat dari sirat wajah mereka, menandakan ada masalah serius yang sedang terjadi. Entah drama apa yang sedang mereka mainkan, yang pasti keluargaku adalah targetnya.Aku tak akan pernah membiarkan orang-orang serakah seperti Nara, Flora, ataupun Om Robby mempunyai kesempatan menguasai hartaku. Akan aku pastikan mereka enyah dari kehidupanku.Nara, dia akan tersingkir setelah melahirkan bayi itu. Sedangkan Flora dan Om Robby beserta istrinya, mereka akan aku buat selamanya tak lagi menginjakkan rumah ini.Acara makan malam usai dan dilanjutkan obrolan hangat antar keluarga sekaligus membicarakan perjodohan. Ya, perjodohan antara aku dengan anak palsu dari Om Robby.Perdebatan antara Mama dan aku sempat terjadi, pasalnya Mama terus saja memojokkan Elina. Sulit sekali bagi Mama menyadari bahwa sikap dialah yang telah membuat Elina menjadi pembohong besar. Aku tahu, Elina melakukan semua sandiwara demi keutuhan rumahtangga. Jika sa