Share

Duka

***

Malam itu, karena tak ada lagi kegiatan yang harus kulakukan. Aku pergi ke ranjang dan mengistirahatkan kepalaku yang cukup penat, ternyata benar-benar sunyi jika Ayah dan Ibu pergi ke luar kota.

Hari ini, tepat libur mingguan. Jika tidak ada kegiatan khusus di sekolah, aku pasti hanya terbaring di atas sini seharian, sembari membaca buku dan sesekali ke dapur untuk mengambil makanan.

Sungguh heran.

Ayah dan Ibu sudah pergi sejak kemarin pagi dan dijadwalkan akan datang sebelum siang. Namun, aku melihat jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul dua siang. Belum ada tanda-tanda mobil angkutan yang Ayah dan Ibu naiki datang.

Pintu diketuk pelan, kubuka dengan rasa malas dan terkejutnya aku melihat Kak Margaret sudah berada di depan. Ia membawa makanan yang terbungkus rapi di dalam kotak, dan memberikannya kepadaku.

“Apa ini, Kak?” tanyaku.

“Ada makanan lebih di rumah, jadi aku memberikannya ke kamu,” ucap lembut Kak Margaret.

Aku tentunya senang, di samping sup yang sudah kuhangatkan, ada makanan lain yang bisa menemaniku selama seharian ini. Wajah Kak Margaret seketika mengingatkanku pada Sara, ia membuyarkan lamunanku dan tersenyum simpul.

“Apa kamu merindukannya?” tanya Kak Margaret setengah menggoda, ia tertawa kecil melihatku yang kikuk gara-gara hal tadi.

“Ahaha apa yang kamu katakan, Kak? Sebagai teman, iya aku merindukannya,” ucapku dengan mata terpejam, mencoba mengeles agar Kak Margaret tidak menyadari perasaanku yang sebenarnya.

“Kan? Seperti dugaanku, kamu memang menyukainya?”

“Aku? T-Tidak, aku sama sekali tidak menyukai wanita cerewet sepertinya,” jelasku, membantah.

“HAHA!”

Perbincangan di antara aku dengan Kak Margaret berjalan hangat dan lancar, saat kupersilakan masuk, ia langsung duduk di atas sofa sambil secara berkala memerhatikanku dari jauh.

“Jika kulihat lagi, wajahmu jauh lebih tampan dari pada waktu masih kecil dulu,” puji Kak Margaret.

Wanita itu bukan sosok wanita yang mudah melemparkan godaan dan pujian begitu saja, ia tipe wanita yang serius dan jika sekali memuji, berarti pujian itu memang benar adanya dan ia berkata dengan sungguh-sungguh.

“Aku ini laki-laki, sudah tentu tampan, kan?” tanyaku, mencoba merendah agar tidak tampil canggung di depannya.

“Benar, kalau laki-laki itu tampan, tapi ada kriteria ketampanan itu sendiri dan tidak semua laki-laki mendapatkan hal itu,” ucap Kak Margaret, membantah apa yang kupertanyakan.

“Jangan memujiku, Kak. Aku hanya laki-laki biasa.”

“Justru itulah letak perbedaanmu, kamu laki-laki biasa tapi wajahmu 100% seperti artis oriental Indonesia,” puji kembali Kak Margaret.

Demi menghindari pujian-pujian, aku menyalakan Tv dan memutarkan channel berita. Hampir seluruhnya diisi oleh berita tentang pemilihan umum yang akan datang, hingga muncul sebuah berita breaking news.

“… Terjadi kecelakaan maut di ruas Jalan raya Cianjur-Bandung, seluruh penumpang bus meninggal di tempat.”

“Akhir-akhir ini banyak kecelakaan yang terjadi, jalan raya semakin menakutkan, bukan benar begitu, Rafael?”

Tidak mungkin.

Ini pasti tidak mungkin, mereka tidak mungkin berada di bus itu!

“Rafael, apa kamu baik-baik saja?” tanya Kak Margaret.

Tanpa membalas ucapan Kak Margaret, aku langsung meraih ponselku dan mencoba menelepon nomor ponsel Ayah dan Ibu. Beberapa kali kucoba, tapi nihil jawaban dari mereka.

Pikiranku semakin campur aduk, kalut marut akibat berita yang kudengar. Beberapa kali kucoba menelepon, pada akhirnya tidak ada jawaban yang datang.

Karena panik, air mataku perlahan jatuh membuat Kak Margaret kebingungan. Ia mencengkeram kedua tanganku dan menanyakan ada apa.

“Ayah … Ibu … mereka sedang berada di perjalanan Cianjur-Bandung.”

“Tidak mungkin….”

“Aku sudah mencoba menelepon mereka, tapi tidak ada tanggapan sama sekali,” ucapku, tak hentinya kutelepon kedua orang itu untuk memastikan keselamatan mereka.

Kak Margaret langsung memelukku tanpa ragu, kepalaku dibenamkan di dadanya sembari tangan lembutnya mengelus rambut kepalaku. Aku semakin menangis sejadi-jadinya, memikirkan bagaimana jadinya jika aku hidup sendiri di sini.

“Tenanglah, kita berdoa bersama-sama semoga itu bukan bus yang ditumpangi oleh kedua orang tuamu.” Kak Margaret berbisik sambil terus menenangkanku, aku hanya bisa berharap demikian, semoga saja mereka menaiki bus yang berbeda dari apa yang kulihat di Tv.

Dua jam kami menunggu, pintu rumah kembali diketuk. Kini, yang datang adalah dua orang dari kepolisian.

Kubuka pintu kayu tersebut dan menatap keduanya dalam-dalam, “Ada yang bisa kubantu?”

“Apa ini rumah dari saudara Agus dan saudari Lifa?” tanya kepolisian, memastikan identitas dan alamat dari keduanya, Agus dan Lifa adalah nama dari kedua orang tuaku.

Aku mengangguk, mereka segera memintaku untuk ikut bersamanya. Mereka mengatakan kedua orangtuaku terlibat kecelakaan maut dan membutuhkan data untuk mengambil jenazah.

“Baiklah, tunggu sebentar,” ucapku.

Sambil menahan rasa sedih, aku mengajak Kak Margaret untuk ikut bersama ke RS. Awalnya, Kak Margaret menolak dengan alasan phobia darah. Namun, setelah kubujuk lebih banyak, pada akhirnya ia setuju.

Kami berangkat menaiki mobil polisi dan bergerak dengan cepat menuju tempat tujuan, RS di kota Bandung.

Beberapa wartawan sudah berdatangan ke RS tersebut, mengingat kejadian yang terjadi cukup mengerikan dan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan membuat berita ini menjadi paling hangat dalam beberapa jam saja.

“Kalian tunggu di sini, nanti ada yang memanggil kalian,” ucap polisi tersebut.

Aku dan Kak Margaret menunggu di ruang tunggu, selagi menunggu, wanita di sampingku terus mencoba mengabari kedua orang tuanya, mungkin memberitahu kabar terbaru tentang keluargaku pada mereka.

Tak hanya aku, ada banyak keluarga korban yang merasakan kepedihan yang mendalam, bahkan dari mereka ada yang jatuh pingsan akibat berita mendadak tersebut.

Untukku, aku sangat sedih, sangat kesepian, sangat terpukul. Aku bahkan masih meneteskan air mata untuk mereka, tapi aku sadar. Jika aku bersedih berlebihan, itu sama sekali tidak menghidupkan mereka lagi.

“Saudara Rafael, silakan kemari.” Datang seorang perawat pria, menghampiriku dan memintaku untuk mengisi beberapa formulir yang diberikan olehnya.

“Setelah semua di isi, pergilah ke loket di sana dan kamu bisa bertemu kedua orang tuamu,” ucap perawat itu sambil menunjuk loket di sebelah ujung kanan ruang besar tersebut.

Aku mengangguk, layaknya anak ayam yang diberi makan oleh induknya. Aku hanya mengikuti perintah dari mereka semua dengan wajah datar.

“Apa kamu ada keluarga atau kerabat lain?” tanya perawat di loket tersebut.

“Ada, Kakek dan nenekku yang berada di Cianjur.”

“Baiklah, silakan masuk,” ucap perawat tersebut.

Aku sadar, Kak Margaret pasti tidak tahan jika ikut masuk bersamaku. Aku menyuruhnya untuk menunggu di ruang tunggu selagi aku masuk ke ruang jenazah. Wanita itu mengangguk dan menyemangatiku sebelum masuk.

Satu polisi mengantarkanku ke samping dua jenazah yang berdampingan, keduanya sudah tertutup kantung jenazah berwarna putih yang tergeletak di atas ranjang.

“Apa kamu ingin melihat keseluruhan atau wajahnya saja?” tanya polisi tersebut.

“Wajahnya saja, tolong.”

Aku memejamkan mata, tak kuasa menahan kesedihan jika harus melihat keadaan kedua orang tuaku di depan mata. Apa yang terjadi tentu membuatku shock, tapi aku harus kuat. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan orang-orang.

Polisi itu membuka rasleting kantung jenazah dan tertampak jelas wajah Ayah dan Ibu yang sudah pucat. Mereka meninggalkanku dengan wajah yang putih berseri, kukecup pelan dahi keduanya dan bersiap merelakan mereka pergi dari hidupku.

Sekali lagi, orang terdekatku meninggalkanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status