Share

Chapter 6

Tettt... tettt... tett...

Bunyi bell terdengar tepat pada saat aku akan memakai sepatu. Hari ini Mbak Tania akan mengajakku ke pembukaan cafe milik temannya.

Di kantor cuma Mbak Tania ininlah orang yang benar-bebar tulus ingin berteman denganku. Yang lain-lain cuma baik kalau ada maunya saja. Selebihnya mereka malah lebih suka menggosipkan hal yang tidak-tidak di belakangku.

Ceklek! Onde mande, bukan Mbak Tania rupanya. Tetapi Chris, pacar Maddie. Aku menepuk dahiku sendiri, Aku lupa kalau malam ini Maddie akan diundang dinner di rumah calon mertuanya.

"Kenapa kamu memukul-mukul dahimu sendiri? Kamu terpesona melihat ketampanan luar biasa saya?" ucap Chris datar. Aku mengerutkan kening. Bagaimana bisa seseorang bermaksud bercanda, tetapi dengan air muka yang datar seperti itu. Tidak sinkron sama sekali. Lagi pula Chris ini biasanya sangat irit dalam berbicara. Rasanya aneh saja melihatnya tiba-tiba mengajak bercanda. Eh ini dia maksudnya bercanda atau memang narsis sih? Aku bingung sendiri.

"Tampan dari Hongkong? Wajah sudah pas-pasan seperti itu malah merasa tampan pula. Orang yang berkata seperti itu pada Kak Chris, kalau tidak buta ya pasti katarak matanya." Aku membalas kenarsisannya dengan ejekan. Laki-laki kepedean seperti ini harus diberi pelajaran sesekali.

"Oh berarti kamu ngatain kakakmu sendiri kalau matanya buta atau katarak ya?" sahutnya sambil menaikkan sebelah alisnya.

Mampus! Alamat diomelin Maddie dari subuh sampai tengah malam ini mah, kalau Chris mengadu.

"Jangan dong, Kak. Saya 'kan cuma bercanda, supaya kakak nggak cepet tua karena terlalu serius. Gitu lo, Kak." Aku mencoba merayunya. 

"Jadi maksud kamu saya sudah tua begitu?" Chris melotot.

Yaelahhh ini orang sensitif amat ya? Mending kurayu dengan kopi saja. Biasanya cara ini cukup ampuh.

"Ya sudah. Saya minta maaf ya, Kak? Berhubung Kak Maddy belum siap dandan, saya buatkan kopi mau tidak?" tawarku sambil mencoba tersenyum semanis kopi.

Chris tidak menjawab pertanyaanku. Ia justru memindaiku mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Mungkin dia heran melihatku berdandan malam-malam seperti ini.

"Mau ke mana kamu malam-malam begini?" Netra hitamnya menatapku intens dengan pandangan menyelidik.

Nah, benar kan tebakanku? Ia pasti heran karena jarang melihatku berdandan. Di rumah ini biasanya aku selalu berperan sebagai Upik Abu.

"Mau ke pembukaan kafe teman, Kak. Saya diajak Mbak Tania. Lumayan, makan malam gratis. Hehehehe."

"Baju kamu tidak ada lagi yang lebih sopan?" pungkasnya sembari menatapku sekali lagi.

Mendengar pertanyaannya, aku memeriksa dandananku sebentar tapi menyeluruh. Aku mengenakan celana jeans dan kaus lengan panjang berwarna putih. Tidak sopan di mananya coba? Aku jadi bingung.

"Bukannya ini sudah tertutup semua? tidak sopan di mananya coba?" Aku menatapinya dengan pandangan bingung campur kesal. Salah terus aku ini di matanya. Besok-besok pindah sajalah aku di hidungnya!

"Itu dad* mu seolah-olah ingin keluar dari kausmu. Lebih baik ditutupi dengan blazer atau jaket."

Aku melihat Chris meraih rompi coklat yang tersampir di sofa. Itu rompinya si Reen.

"Siniin tangannya," kata Chris sambil memasukkan lengan kanan dan kiriku ke dalam rompi. Karena bingung, aku menuruti saja perintahnya. Jarak wajah kami hanya tinggal sejengkal. Aku bahkan bisa melihat kembali iris mata onyxnya yang segelap malam. Kulihat dia memandangi wajahku dengan tatapan mata yang seperti separuh melamun. Napasku mulai tersangkut-sangkut saat menatap wajahnya.

"Kalian berdua sedang ngapain ini?" Tiba-tiba saja Maddie muncul sambil menatapi posisi kami berdua yang tampak saling berhadapan dengan tajam. Aku langsung menjauhkan diri dan duduk di sofa.

"Tidak ada apa-apa. Saya cuma memeriksa matanya yang tadi kelilipan," jawab Chris santai. Ia tidak terlihat gugup sedikit pun. Nada suaranya juga datar-datar saja. Bayangkan, berbicara dengan pacar sendiri pun dia masih saja menggunakan kata-kata saya. Luar biasa sekali bukan? Apa tidak pegel itu mulut berbicara formal seperti itu sepanjang hari?

"Baiklah. Ayo kita berangkat, Chris. Dan Lyn, nanti tolong kamu rapikan lagi kamar Kakak ya? Eh kayaknya kunci rumah Kakak ketinggalan di kantor deh. Nanti kamu tungguin kakak pulang ya? Jangan sampai tidur dulu. Nanti kakak tidak ada yang membukakan pintu."

"Tapi ini aku mau pergi juga lho, Kak? Bagaimana dong?" Aku bingungan.

"Ya kamu jangan lama dong perginya. Pokoknya sebelum Kakak pulang, kamu harus sudah pulang lebih dulu. Begitu saja bingung?" omel Maddie. 

"Yuk Chris!" Dan kakakku pun dengan santai menggandeng pacarnya. Meninggalkanku tanpa mau mendengarkan keberatanku sama sekali.

"Ngapain kamu bengong di situ? Ayo antar Kakak ke depan, sekalian mengunci pintu."

Beginilah kakakku. Dia tidak akan pernah mau mendengarkan penjelasan, apalagi pendapat orang lain. Segala keinginannya adalah mutlak dan harus selalu dipenuhi. Titik. Aku mengantar Maddie dan Chris sampai di depan pintu. Baru saja aku bermaksud menutup pintu, wajah imut Mbak Tania sudah muncul di depan pintu.

"Astaga kaget saya, Mbak. Dateng-dateng ke rumah orang bukannya kulonuwun dulu." Aku mengelus dada.

"Ah kelamaan. Yuk, kita kemon, Lyn. Gue udah nggak sabar ini pengen makan enak sekaligus refresh mata. Konon katanya

Temen gue ini mengundang semua relasi-relasinya yang mapan dan tampan. Siapa tahu ada yang bisa dijadiin pacar." 

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Mbak Tania. Setiap berbicara tentang pria, Mbak Tania selalu saja langsung bersemangat empat lima. Kalau menurut Mbak Tania, itu karena efek kelamaan menjomblo katanya.

***

Aku langsung jatuh cinta dengan suasana kafe ini. Kesannya sangat intimate dan romantis. Tempat ini bagai perwujudan dari segala impianku yang selalu suka dengan suasana yang sedikit temaram dan klasik. Kalau kata ibuku sih seleraku itu tua dan kuno.

Mbak Tania terlihat langsung menemui ownernya dan mengucapkan selamat berikut basa basi busuknya. Hahahaha. Kenapa aku bilang basa basi? Itu dikarenakan matanya berkeliaran memandang cogan-cogan yang berseliweran saat mengucapkan kata-kata terimakasih. Itu artinya si mbak tidak tulus berucap bukan? Hehehehe...

Sementara aku memilih duduk menyendiri saja, di meja paling sudut. Berdekatan dengan tanaman hias. Sepertinya ini adalah tempat yang paling strategis untuk mengamati suasana kafe. Aku tidak terlalu suka dengan keramaian. Yang lebih seru itu adalah mengamati.

Seperti mengamati pria berkemeja lurik, yang terus menerus memandangi gadis bergaun hijau itu misalnya. Atau gadis remaja tanggung yang bingung memilih menu di meja prasmanan. Mungkin dia bingung memilih menu mana yang lebih enak. Yang di sebelah kanan atau yang di sebelah kiri. Tetapi pada akhirnya gadis tanggung itu malah mengambil keduanya. Hahaha.

Aku tertawa kecil melihat Mbak Tania nampak salah tingkah, saat seorang pria membantu mengambilkan minumannya. Keduanya kemudian beranjak menuju meja di sudut kolam ikan.

Duh mudah-mudahan saja Mbak Tania menemukan jodohnya, dan segera melepaskan status jomblo menahunnya. Walaupun Mbak Tania mempunyai pariban di kampungnya, tetapi ia tetap saja suka ngelaba di sini. Lain di kota, lain di kampung katanya.

Tiba-tiba mataku seperti melihat sekelebat bayangan pria yang masuk dari arah pintu samping. Sekilas aku seperti mengenal cara berjalan pria yang terlihat sedang menyalami owner kafe tersebut.

Saat dia berpaling ke kiri, menuju meja prasmanan. Barulah aku melihat jelas wajahnya. Fixed! Itu Albert, si calon suami potensial yang ingin dijodohkan dengan adikku.

Sebelum dia melihatku, lebih baik aku segera menghindarinya. Satu-satunya tempat persembunyian yang paling aman adalah toilet. Bergegas aku melewati meja belakang, yang ditumbuhi oleh kerimbunan tanaman hias menuju ke dalam toilet wanita.

Aman! batinku. Lolos juga aku dari pria arogant dan luar biasa mesum itu. Mungkin karena kelamaan tinggal di luar negeri, Albert sudah lupa adat sopan santun ketimuran. Aku ingat kekurang ajarannya saat ia mengambil ciuman pertamaku. Ia terlihat santai-santai saja, seperti tidak ada kejadian. Sementara aku kebingungan dan malu setengah mati.

Setelah menunggu kira-kira sepuluh menit, aku pun melangkah keluar toilet. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Memeriksa keadaan. Setelah Malam menurutku aman, aku pun melangkah keluar. Baru saja berjalan selangkah, aku menjerit kaget. Tiba-tiba saja ada yang menarik pinggangku dan mendesakkan tubuhku menuju kerimbunan tanaman hias belakang kafe.

"Mau lari ke mana kamu, Woman?" Aku seketika merinding mendengar suara yang begitu dekat dengan telinga kiriku. Apalagi saat merasakan napas seseorang yang menyapu-nyapu bahu dan leherku. Albert Tjandrawinata!

"Lepaskan saya, Sir! Anda jangan kurang ajar terhadap saya ya?" Aku mendorong dadanya dengan sekuat tenaga, sambil berusaha melepaskan belitan tangannya di pinggangku.

Pasti tadi ia sempat melihatku di kafe dan diam-diam menungguku di pintu toilet.

"Kalau saya tidak mau kenapa?" tantangnya santai. 

"Enak banget ini memeluk kamu. Empuk dan harum lagi. Kamu enak dipegang di sini dan di sini." Katanya sambil mengelus sekilas dada dan pinggangku. Duh ini orang mesumnya di manapun dan kapan pun sepertinya. Aku jadi semakin ngeri saja terhadapnya. Bagaimanalah nasib pernikahan adikku, bila ia mempunyai suami model seperti ini.

Sekuat tenaga aku kembali mencoba mendorong dadanya. Dan lagi-lagi tidak berhasil. Ia tidak bergeser barang sedikitpun. Aku mulai memukul-mukul dadanya dengan membabi buta. Sebenarnya aku ingin berteriak. Tetapi aku takut mengundang huru hara di acara orang. Namun aku juga tidak sudi dilecehkan. Aku semakin kesal mendengar kekehan pelan tawanya saat melihat usahaku melepaskan diri.

Benar-benar brengsek calon iparku ini. Aku bahkan mulai merasa ia mengendus-endus leherku lagi.

"Aku suka aromamu, Woman. Feels like heaven. Pure in all area. Kamu adalah fantasiku dalam dunia nyata. Murni dan tak tersentuh." 

"Apa Anda sudah pernah ke surga, Sir? Makanya Anda tahu suasananya seperti apa? Tetapi rasa-rasanya Anda juga tidak akan mungkin masuk ke surga jika melihat kelakuan Anda yang seperti iblis ini. Tolong lepaskan saya!"

Aku kembali mendorong-dorong wajahnya yang sedari tadi berusaha menginvasi ceruk leherku.

"Kalau Anda tidak melepaskan saya juga, saya akan berteriak. Biar saja orang--" 

"Lyn! Lyn! Lo di mana?" Samar-samar Aku mendengar Mbak Tania memanggil-mangil namaku. Mungkin dia merasa kalau dia sudah terlalu lama meninggalkanku. Ini kesempatanku untuk bisa melepaskan diri dari pria mesum ini.

Kudorong sekuat tenaga dadanya, dan anehnya langsung terlepas. Aku menyadari itu bukan karena kekuatan doronganku. Melainkan karena Albert memang sengaja melepaskanku.

"See you, Woman!"

katanya sambil mengedipkan sebelah matanya dan melangkah santai menuju ke dalam kafe.

Kulihat Tania sedang celingukan mencariku di antara ramainya para pengunjung cafe. 

"Di sini!" 

Aku keluar dari kerimbunan tanamab dan melambaikan. Agar Mbak Tania melihat keberadaanku. Sejurus kemudian Mbak Tania telah menghampiriku. Sesuatu yang aneh air mukanya tampak bingung dan panik.

"Lyn, gue minta maaf sebelumnya ya? Bisa nggak kalau lo pulang sendiri? Ini gue dapat telepon dari rumah sakit, adik gue kecelakaan. Gue harus segera ke sana untuk menandatangani persetujuan tindakan operasi." Wajah Mbak Tania sudah pucat pasi karena khawatir.

"Iya, nggak apa-apa kok, Mbak. Saya juga harus cepat pulang karena Kak Maddie juga tidak membawa kunci rumah. Maaf juga ya tidak bisa menemani Mbak ke rumah sakit."

Mbak Tania menangguk sekilas dan setengah berlari menghambur keluar kafe. Semoga saja adik Mbak Tania tidak kenapa napa.

Ting! Ada SMS masuk.

Lyn, ini Kak Maddie. Kamu tolong datang ke Crand Condotel sekarang ya? Tolong rapikan apartemen Chris di lantai 7. Passwordnya 100122. Nanti Kakak segera menyusul ke sana.

Mulai lagi, satu titah baginda ratu. Aku agak heran. Tidak biasanya Maddy memakai SMS. Dari nomor yang lain pula. Biasanya ia lebih suka menelepon langsung. Aku juga jarang membuka SMS. Karena biasanya hanya berisi operator provider yg mengirimkan promo-promo. Ah sudahlah! yang penting titah baginda ratu harus segera dilaksanakan.

Tiga puluh menit kemudian ku sudah tiba di depan apartemen Chris. Aku segera menekan password sesuai dengan petunjuk di SMS. Pintu apartemen terbuka, dan aku melangkah masuk ke dalam ruangan, untuk memulai tugas sebagai upik abu.

Agar pakaianku nanti tidak kusut akibat aktivitasku membersihkan ruangan, aku pun membuka atasanku. Toh apartemen dalam keadaan kosong. Aku hanya mengenakan crop tank top dan shortpants. Aku memang biasa menggunakan seperti ini dibalik pakaianku. Terbiasa menjadi Upik Abu aku selalu siap dalam segala situasi.

Saat berjalan menyusuri ruangan, aku merasa heran. Apa yang mau membersihkan kalau ruangan ini ternyata rapi sekali? Apa aku mulai dengan membersihkan kamar saja ya?

Ketika tiba di kamar, semua juga tampak rapi. Hanya ada kemeja dan celana bekas pakai yang tergeletak sembarangan di ranjang. Lho bukannya ini kemeja dan celana panjang yang dipakai Chris tadi ya?

Samar-samar aku mendengar gemericik air di kamar mandi. Astaga pasti Chris lupa mematikan keran air saat pergi tadi. Baru saja Aku ingin masuk ke dalam kamar mandi, tiba-tiba saja pintu terbuka dan Chris keluar dari kamar mandi tanpa mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya. Chris telanjan* seperti bayi!

Kami sama-sama terdiam saking terkejutnya. Refleks Aku pun segera menutupi mataku dengan tangan. Dalam situasi canggung tersebut terdengar suara pintu yang yang didorong. Aku dan Chris serempak menoleh ke arah pintu.

"Apa yang sedang kalian berdua lakukan di sini? Begini rupanya kelakuanmu dibelakangku ya Lyn?Dasar adik kurang ajar!"

Aku ternganga melihat Maddie muncul di belakangku berikut kedua orang tua Chris dan juga... kedua orang tuaku!

Chris langsung menyambar bathrope dan mengenakannya tergesa. Ia juga menyambar satu bathrope lagi, dan memberikannya kepadaku. Aku menatapnya dengan bingung. Pikiranku rasanya masih shock dan seakan tidak percaya dengan runtutan kejadian ini.

"Pakai bathrope ini sebelum kamu memakai pakaianmu dengan lengkap. Kecuali kalau kamu memang ingin berakhir di ranjangku," ucapnya datar sambil mengenakan pakaian yang baru saja diambilnya dari walk in closetnya. Aku yang masih kaget hanya berdiri terpaku.

"Kenakan bathrope itu segera!" bentak Chris geram. Matanya menatapku dengan kemarahan membara.

"Sebelum kita menuju ruang sidang di depan sana, ada baiknya terlebih dahulu kamu jelaskan apa maksudmu datang ke sini dengan pakaian yang nyaris telanjang seperti tadi."

Aku masih terdiam dengan pikiran yang ngeblank. Jujur aku juga tidak tau harus menjelaskan apa kepadanya. Karena aku memang tidak mengerti mengapa situasi bisa menjadi complicated seperti ini.

"Marilyn, saya menunggu," desisnya sambil memandangku lekat-lekat.

"Saya akan menjelaskannya di depan saja. Sehingga saya tidak perlu mengulang-ulangnya lagi nanti," dengan linglung akhirnya aku bisa bersuara juga. Demi Tuhan, ada apa ini sebenarnya?!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
kira² siapa ini yg menjebak Lyn
goodnovel comment avatar
Putri
pandangan Serius
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status