"Di mana kamu Lyn?"
Aku mendengar suara ibu memanggilku, diiringi dengan suara langkah-langkah kakinya yang berderap menuju ke arah dapur.
Aku mendorong tubuh Albert, dan berlari ke dapur. Dengan cepat aku memposisikan tubuh di bak cuci piring dengan wajah yang berubah-ubah antara memerah dan memucat. Aku ingin memberi kesan pada ibu, kalau aku masih mencuci piring.
Jantung ku masih berdebar-debar hebat mengingat apa yang telah di lakukan Albert di pintu belakang rumahku. Laki-laki itu telah mencuri ciuman pertamaku!
"Lyn di sini, Bu. Sedang... sedang mencuci pi—pi piring," jawabku tergagap. Dari sudut mata sekilas aku melihat Albert telah masuk ke toilet belakang.
"Ya, sudah. Kamu beres-beres saja di belakang. Tidak usah hilir mudik ke sana ke mari seperti setrikaan. Lagi pula kamu juga belum mandi dan berantakan sekali. Bikin malu Ibu saja." Ibu mengomeliku seraya mengecek sisa-sisa makanan yang masih tersisa di dapur.
Dalam hati aku ingin mengatakan bahwa selain belum mandi aku juga belum sempat makan. Dan semua itu juga bukan karena kemauanku. Tetapi jawaban yang keluar dari mulutku malah lain.
"Iya, Bu. Biar nanti Lyn yang akan membereskan semuanya." Mendengar jawabanku ibu mengangguk puas. Sejurus kemudian kening ibu berkerut. Ia seperti memikirkan sesuatu.
"Lho tadi Nak Al pamit ke belakang mau mengambil air putih katanya. Ini anaknya kok tidak ada. Mana dia?" Ibu celingak celinguk mencari sosok Albert. Wajahku seketika kembali memucat.
"Ta-- tadi setelah minum ia langsung ke toilet, Bu." Aku menjawab tergagap-gagap karena gugup. Kerasnya dentaman jantungku rasa-rasanya nyaris bisa terdengar oleh ibu.
"Ya, sudah. Setelah beres-beres kamu mandi sana. Dan ingat tidak usah kegenitan dan mencoba mencari-cari perhatian Nak Al. Dia lebih cocok dengan Reen dibandingkan dengan kamu. Ibu dan Bu Deasy ingin sekali berbesanan. Ibu harap kamu tidak membuat masalah dengan mencoba-coba menggodanya. Ingat itu, Lyn," ancam ibu serius.
Aku mengangguk patuh pada perkataan Ibu. Dalam hati aku ingin mengatakan, bahwa di sepanjang usiaku yang menginjak usia dua puluh dua tahun ini, aku tidak mengerti cara menggoda pria. Jadi buat apa ibu takut kalau aku menggoda Albert?
Coba saja Ibu tadi tahu apa yang sudah dilakukan pria itu padaku. Bukan aku yang menggodanya. Tapi dia lah yang sudah melecehkanku. Tapi aku merasa percuma saja bila mengatakannya. Aku yakin jikalau pun ibu melihatnya, ibu pasti berpikir bahwa aku lah yang memulainya. Selama ini aku memang tidak pernah benar di matanya.
Setelah ibu berlalu aku kembali mulai menghidupkan keran air untuk pencuci piring. Aku baru saja mencuci sebuah pinggan, saat aku merasa ada yang memeluk pinggangku dari belakang. Bahkan saat ini orang tersebut telah mengendus-endus ceruk leherku. Aku memberontak. Berusaha melepaskan diri dengan tangan yang dipenuhi busa pencuci piring. Ternyata pria mesum itu lagi!
"Hmmmm... kamu harum sekali, Woman. Aromamu sungguh menggugah rasa kelelakianku." Aku merasa ada yang salah dengan indera penciuman pria ini. Aku yang bahkan belum sempat mandi dan masih bersimbah peluh malah dikatakan harum.
"Anda jangan kurang ajar ya, Sir? Dan tolong jangan mempersulit saya di sini. Anda pasti sudah mendengar kata-kata ibu saya yang ingin menjodohkan Anda dengan adik saya. Jadi tolong jaga sikap dan kelakuan Anda terhadap saya. Saya ini calon kakak ipar Anda. Perlakukan saya dengan baik dan penuh rasa hormat." Aku berusaha memperingati Albert, dengan menbawa nama adik dan ibuku. Agar laki-laki sadar posisi.
"Perlakuan kurang ajar Anda tadi, untuk kali ini saya maafkan. Tapi tidak di waktu lain. Ingat ini Indonesia. Bukan negeri barat sana. Sesuaikan tingkah laku Anda di mana Anda berpijak."
Aku memelototi pria kurang ajar yang sepertinya akan menjadi suami adik bungsuku. Mimpi apa aku mendapat adik ipar yang mesumnya tingkat dewa seperti ini?
"Siapa yang mau dijodohkan? Kamu kira saya mau saja didikte seperti anak kecil?" Albert berdecih.
"Dan juga saya tidak ingat bahwa saya tadi pernah meminta maaf kepadamu atas ciuman panas kita tadi?" imbuhnya santai sambil berjalan keluar. Fixed pria arogan mesum seperti ini amat sangat tidak pantas dinikahi oleh wanita manapun di dunia. Apalagi oleh adik perempuan kesayanganku. Never in a million years!
Tetapi apa dayaku. Bila aku menentangnya, jangan-jangan ibu merasa bahwa aku iri dan tidak senang kalau adikku berbahagia. Atau kemungkinan yang lebih parahnya adalah, beliau akan mengira bahwa aku lah yang ingin merebut Albert dari adikku sendiri. Forbidden fruit. Buah simalakama!
"Aha, satu lagi, kapan-kapan kita buat yang lebih panas lagi ya, Woman. Apakah kamu tahu kalau bibirmu manis sekali." Albert sekonyong-konyong berbalik dan mengedipkan sebelah matanya padaku. Setelahnya barulah ia melanjutkan langkah menuju ke ruang tamu.
Aku hanya bisa memandanginya dengan dada yang berombak-ombak karena kesal. Aku menarik nafas berulang kali. In hale ex hale, sabarrr. Setelah perasaanku agak sedikit tenang, aku pun mulai melanjutkan pekerjaanku. Yaitu menyulap semua peralatan dapur yang seakan-akan tiada habisnya ini.
===================
"Lynnnn, ke sini sebentar Dek!" Teriakan Maddie dari lantai dua menyinggahi pendengaranku. Sejenak kulepaskan kemoceng yang kugunakan untuk membersihkan meja tamu yang sedikit berdebu. Titah baginda ratu harus terlebih dahulu diutamakan.
Ketika aku tiba di kamar kakakku, aku menepuk kening melihat penampakan kamarnya. Berpasang-pasang pakaian terhampar manjah, menurut istilah Inces Syahrini, di atas ranjang. Belum lagi berpasang-pasang sepatu yang tampak bergelimpangan di lantai. Kamar kakakku ini bahkan lebih berantakan dari kapal pecah.
"Lyn, coba kamu pilihkan mana kira-kira gaun yang pantas untuk Kakak gunakan untuk menghadiri acara makan malam di rumah Chris. Kakak ingin menampilkan kesan yang elegant dan bersahaja di mata calon ibu mertua." Maddie kembali mengeluarkan beberapa gaun lagi dari lemari. Satu persatu gaun ia dekatkan dibadannya, sambil mematut-matut diri di depan kaca besar lemari pakaiannya.
Aku pun mulai memisahkan helai demi helai pakaian yang berantakan di atas ranjang, ambil memilih-milih mana yang sekiranya paling cocok untuk dikenakan oleh kakakku yang cantik ini.
Pilihanku jatuh pada dress selutut berwarna hitam yang tampak anggun. Aku juga menambahkan sehelai scarf batik yang bisa dipakai dileher untuk memberi kesan fasionable. Kesan yang ditimbulkan selain anggun juga Indonesiawi sekali.
"Ini cocok deh kayaknya, Kak. Tampak bergaya tetapi sekaligus ada unsur-unsur tradisional di dalamnya."
Kulihat kakakku manggut-manggut sambil menggantungkan gaun tersebut di belakang pintu kamar.
"Oke. Kakak akan pakai yang ini. Sisanya tolong kamu bereskan ya, Dek? Masukkan kembali baju-baju ini ke dalam lemari seperti semula. Terus kamu bersihkan juga sekalian kamarku ini ya, Dek? Rapikan seperti biasanya."
Kakakku memberi tugas sambil melenggang keluar menuju ke kamar mandi. Selalu begini. Akulah yang selalu kebagian sialnya. Nasib si Upik Abu. Pelan-pelan kususun semua gaun-gaun indah itu kembali ke dalam lemarinya.
Kulihat lemari ini bahkan sudah sesak dengan tumpukan gaun-gaun yang bahkan sebagian masih ada yang berlabel alias baru. Tetapi kakakku itu masih saja selalu ribut dan mengatakan bahwa dia tidak punya gaun yang bagus setiap akan keluar rumah.
Sementara aku hanya membeli gaun jika sudah dalam keadaan terpaksa sekali. Sebenarnya aku bisa saja meminjam gaun kakak atau adikku. Tetapi masalahnya setiap aku menggunakan gaun mereka bagian dadanya akan sangat sesak seolah-olah minta dibebaskan.
Karena bagian dadaku ukurannya agak diluar rata-rata wanita Indonesia. Untuk memakai sebuah kemeja saja, biasanya aku harus menambahkan beberapa kancing ekstra. Karena jikalau tidak, bagian dadanya akan sering terbuka sendiri kancingnya karena sesak. Belum lagi sela-sela kulit daging dadaku akan mengintip-ngintip karena terbuka di sela-selanya. Sementara itu ukuran pinggangku sangat kecil. Tentu saja itu semakin mempertegas ukuran dadaku. Ribet sekali jika menjadi aku bukan?
Kesulitan ini sudah aku alami sejak aku mendapatkan haidku yang pertama. Saat aku mengadukannya pada ibu, ibu mengatakan semua wanita akan seperti itu. Untuk menyiasatinya, ibu mengusulkan agar aku memakai kaos-kaos ukuran besar, untuk menyamarkannya. Kata ibu, tidak baik memamerkan aurat. Dan aku pun mengikuti usul ibu. Setiap hari aku akan mengunakan kulot atau legging dengan atasan kaos-kaos besar.
Namun aku merasa aneh saat ibu melakukan hal yang berbeda pada kakak dan adikku. Menurut ibu, wanita sudah selayaknya memperlihatkan kefeminiman mereka. Kemeja slim fit, atau kaos body fit akan sangat indah dikenakan. Semakin memperlihatkan sisi kewanitaan seseorang katanya. Aku jadi bingung. Yang mana satu yang benar nasehatnya bukan?
Tettt... tettt... tett...Bunyi bell terdengar tepat pada saat aku akan memakai sepatu. Hari ini Mbak Tania akan mengajakku ke pembukaan cafe milik temannya.Di kantor cuma Mbak Tania ininlah orang yang benar-bebar tulus ingin berteman denganku. Yang lain-lain cuma baik kalau ada maunya saja. Selebihnya mereka malah lebih suka menggosipkan hal yang tidak-tidak di belakangku.Ceklek! Onde mande, bukan Mbak Tania rupanya. Tetapi Chris, pacar Maddie. Aku menepuk dahiku sendiri, Aku lupa kalau malam ini Maddie akan diundang dinner di rumah calon mertuanya."Kenapa kamu memukul-mukul dahimu sendiri? Kamu terpesona melihat ketampanan luar biasa saya?" ucap Chris datar. Aku mengerutkan kening. Bagaimana bisa seseorang bermaksud bercanda, tetapi dengan air muka yang datar seperti itu. Tidak sinkron sama sekali. Lagi pula Chris ini biasanya sangat irit dalam berbicara. Rasanya aneh saja melihatnya tiba-tiba m
Suasana diruang tamu ini terasa begitu panas. Aku yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu bersama Chris, sudah disambut oleh caci maki oleh Maddie. Kakakku itu terus saja menangis histeris, sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Memaki-makiku dan Chris tanpa jeda. Aku kebingungan karena menjadi tertuduh, padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Sementara Chris, ia hanya diam seribu bahasa dengan bibir membantuk satu garis lurus. Wajah datarnya tidak menunjukkan reaksi apapun. Wajahnya sedatar tembok.Aku melirik ke arah ibuku. Wajah ibu sudah berubah menjadi ungu saking marahnya. Sedangkan kedua orang tua Chris duduk diam, dan masih tampak shock melihat situasi ini. Dan inilah yang paling aku takutkan. Wajah ayah yang nampak begitu kecewa. Aku tidak takut dimusuhi seluruh dunia, asal jangan ayah! Karena dihidupku hanya ayahlah yang aku punya. Kata Ayah juga ikut membenciku, itu artinya aku tidak diinginkan oleh siapa-siapa lagi bukan?Chr
"Lepas- hemmptt! Aku merasa bibir Chris mulai melahap bibirku ganas. Mengulumnya dan memagutnya dengan buas. Aku terengah-engah ketakutan. Sepertinya Chris sedang frustasi dan ingin melampiaskannya kepadaku."Buka mulutmu, sayang. Biar saya berikan apa yang sebenarnya sangat kamu inginkan."Aku tergagap. Ini bukan, Chris. Kemarahan sepertinya telah menumpulkan akal sehatnya. Ketika Chris kembali mencoba untuk membuka mulutku, aku bertahan. Aku berusaha menutup mulutnya rapat-rapat di antara air mata ketakutan yang terus berderaian.Tiba-tiba aku merasakan tangannya masuk ke dalam kaos tank topku dan merenggut pakaian dalamku dengan sekali sentak. Karena terkejut aku langsung berteriak. Dan saat itulah Chris memasukkan lidahnya dan membelit lidahku.Aku menangis ketakutan. Namun aku tidak bisa mengeluarkan suara. Chris menutup bibirku dengan bibirnya sendiri. Aku makin ketakutan. Sekujur
Tiba-tiba aku merasakan tubuhku didekap erat dalam dada bidangnya. Samar-samar aku mencium campuran antara aroma tembakau dan parfum yang bersumber dari tubuh kekarnya. Aku mendorong dadanya. Namun Albert tetap mempertahankan dekapannya.Suara langkah-langkah kaki yang terdengar menuju dapur, membuatkan makin kuat mendorong. Albert melepaskanku begitu saja. Aku pun dengan segera melanjutkan kegiatan mencuci piring-piring kotor. Rasanya degup jantungku masih belum berdetak normal. Wajahku juga masih terasa begitu panas."Ngapain kamu berada di sini, Al?" Ternyata Maddie yang datang. Maddie menjungkitkan alisnya yang rapi ke atas, begitu melihat Albert berduaan denganku di bak cuci piring ini."Kenapa? Masalah buat kamu?" Albert malah balik bertanya sambil memainkan gelas minumnya. Tampak sekali kalau ia malas menanggapi pertanyaan Maddie alih-alih menjawabnya."Bukan begitu, Al. Jamu dip
Suara pintu yang dibanting terasa begitu menakutkan di telingaku. Tidak lama berselang aku didudukan paksa di sudut ranjang. Aku kadang bingung dengan sikap Chris ini. Kadang dingin kadang panas. Moodnya sudah seperti dispenser saja."Jelaskan!"Aku menelan salivaku sendiri. Aku bingung mau jujur atau berbohong saja. Karena prediksiku ternyata salah besar. Aku berpikir Chris akan senang karena batal menikah denganku. Tetapi ini kulihat ia seperti orang yang kebakaran jenggot hanya karena aku mau dilamar orang."Saya menunggu, Lyn. Mau sampai kapan kamu diam?" sentak Chris lagi.Aku berhitung satu sampai sepuluh di dalam hati. Sambil mencoba menenangkan perasaanku sendiri."Waktu mereka sekeluarga datang ke rumah, saya bahkan sama sekali tidak memperkenalkan diri Kak. Saya cuma membantu menghidangkan makanan dan kue-kue kecil saja. Saya bahkan belum mandi dan berpenampilan seperti
Dalam waktu sepuluh menit aku telah berganti dua mobil. Tadi dengan Eldath. Dan sekarang dengan Chris. Suasana juga sama heningnya. Jika dalam mobile Eldath tadi hening karena si pengemudi memang irit berbicara. Dalam mobil ini hening karena si pengemudi marah padanya. Sebenarnya aku ingin berbicara, tapi sedari tadi aku tidak menemukan topik yang tepat."Lain kali jangan coba-coba untuk meninggalkan saya sebelum saya mengizinkan. Paham?" Aku melihat tangannya mencengkram setir begitu kuat,seolah-olah ingin meremukkannya.Satu kebiasaannya yang kutahu, apabila dia sedang dalam mood yang jelek dia akan memijit-mijit keningnya. Belum sempat aku mengiyakan ucapannya, ponselku berdering lagi."Iya Ly, ada apa lagi?" Aku menutup sebelah telingaku agar bisa mendengar suara Lily yang bercampur dengan dentuman musik."Gue lagi di club ini. Besok lo jangan nggak dateng ya?Karena besok malam minggu. Dan you kn
Sebenarnya aku agak-agak bingung dengan sikap Eldath akhir-akhir ini. Ia pernah beberapa kali mengantarkanku pulang dari club, padahal aku sudah berulang kali menolaknya.Aku takut nanti Chris salah paham dan mengira kalau aku berniat untuk menggoda adiknya. Tapi lagi-lagi Eldath beralasan bahwa ia akan menjagaku selama sebulan ini, karena Chris sedang berada di Singapura untuk merintis cabang baru salah satu bisnisnya di sana.Eldath beralasan kalau ia sudah menganggapku seperti kakaknya sendiri. Walau aku heran juga. Kakak dari mana, secara usia Eldath hanya berpaut dua tahun di bawah Chris. Yang artinya usia Eldath adalah delapan tahun di atasku.Selama sebulan ini aku hidup bagaikan di zaman romusha saja. Pulang kantor langsung menyiapkan makan malam, kemudian berangkat kerja ke club. Pulang bekerja pukul dua belas malam. Dan tiba di rumah pukul satu dini hari. Aku bangun jam lima pagi. Menyiapkan sarapan dan berangk
Aku memejamkan mata dan memundurkan sandaran seat mobil Chris. Entah mengapa akhir-akhir ini kepalaku sering sekali terasa pusing. Selera makanku juga menurun drastis. Setiap pagi aku kerap mual-mual, hingga tidak bisa mengkonsumsi apapun. Sarapan pagi ku selalu berakhir di closet kamar mandi. Tubuhku rasanya letih dan lesu."Kamu kenapa lesu begitu Lyn? Capek?" Chris menaikkan persneling ke posisi D saat melihatku terus saja memejamkan kata. Kami berdua baru saja selesai melakukan photo pre wedding, setelah aku terus menerus berusaha menunda-nundanya. Aku sudah kehabisan akal untuk membatalkan pernikahan ini. Di rumah Maddie kerap menyindir dan mengata-ngataiku. Ia menyebutku penghianat, yang senang tertawa di atas penderitaan orang lain. Selama hampir dua bulan ini, aku selalu menjadi bulan-bulanan di rumah. Hingga aku tidak betah berada di rumah aku sendiri.Tinggal sebulan lagi, aku akan resmi menjadi istri Chris. Kakakku makin emosi saj