Share

Chapter 7

Suasana diruang tamu ini terasa begitu panas. Aku yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu bersama Chris, sudah disambut oleh caci maki oleh Maddie. Kakakku itu terus saja menangis histeris, sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Memaki-makiku dan Chris tanpa jeda. Aku kebingungan karena menjadi tertuduh, padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Sementara Chris, ia hanya diam seribu bahasa dengan bibir membantuk satu garis lurus. Wajah datarnya tidak menunjukkan reaksi apapun. Wajahnya sedatar tembok.

Aku melirik ke arah ibuku. Wajah ibu sudah berubah menjadi ungu saking marahnya. Sedangkan kedua orang tua Chris duduk diam, dan masih tampak shock melihat situasi ini. Dan inilah yang paling aku takutkan. Wajah ayah yang nampak begitu kecewa. Aku tidak takut dimusuhi seluruh dunia, asal jangan ayah! Karena dihidupku hanya ayahlah yang aku punya. Kata Ayah juga ikut membenciku, itu artinya aku tidak diinginkan oleh siapa-siapa lagi bukan?

Chris duduk di sofa panjang di hadapan Maddie. Kemudian Chris menggerakkan kepala. Memberi isyarat agar aku duduk di sampingnya.

Aku menghitung sampai sepuluh dalam hati, sebelum akhirnya menjatuhkan pinggul dengan hati-hati di samping Chris. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum mulai memberi penjelasan. 

"Saya ingin menjelaskan tentang semua kesalahpahaman ini. Tadi sewaktu saya masih berada di kafe, saya menerima SMS dari Kak Maddie yang meminta saya untuk datang ke apartemen ini. Kak Maddie ingin saya merapikannya," terangku jujur.

"Pertama-tama saya heran. Karena Kak Maddie biasanya tidak pernah meng-SMS saya. Apalagi nomornya berbeda dari yang biasa. Saya kembali berpikir. Kak Maddie kan memang biasanya suka sekali meminta saya untuk merapikan kembali, apapun yang ia berantakkan. Makanya saya memutuskan untuk menuruti perintah Kak Maddie. Soalnya Kak Maddie biasanya suka mengamuk kalau saya tidak mematuhi perintahnya."

"Kamu jangan suka mengarang bebas ya, Lyn?" Maddie melotot.

"Diam dulu, Maddie. Biarkan adikmu bercerita." Aku menarik napas lega. Walau ayahku aku belum mau memandang wajahku, tetapi ayahku tetap mengizinkanku membela diri. Ayahku ini memang selalu bertindak adil.

"Nah, setibanya di sini, saya sempat kembali heran. Karena apartemen ini terlihat sangat bersih dan rapi. Saya pikir mungkin saja ruangan lain yang kotor. Saya melepas pakaian luar saya, supaya saya lebih leluasa untuk bekerja. Waktu itu saya pikir apartemen dalam keadaan kosong. Saat saya ke kamar, saya mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Saya kira, ada keran yang lupa dimatikan. Dan saya bermaksud untuk mematikannya. Tepat ketika saya ingin membuka pintu kamar mandi, Kak Chris tiba-tiba saja keluar dari dalam kamar mandi keadaan tidak berbusana. Itu saja yang bisa saya katakan." Aku menceritakan semuanya dengan jujur. Tanpa ada yang kutambah atau aku kurangi. Memang seperti itulah keadaan yang sebenarnya.

"Bohong! Pasti kamu mengarang cerita karena sudah ketahuan belangnya. Kamu ini ya, Lyn. Entah kenapa selalu saja suka merebut apapun yang Kakak punya. Selama ini kamu selalu saja memonopoli Ayah."

Kakak juga memonopoli ibu, batinku.

"Semua teman-teman pria yang Kakak suka, juga berusaha kamu rebut perhatiannya."

Dan aku juga tidak mengkhendaki itu semua!

"Rendra, Bayu, Teguh, Darren yang dulunya mendekati Kakak, setelah bertemu dengan kamu, akhirnya mereka semua malah berusaha mencari perhatianmu. Dan kini kamu mau merebut Chris dari Kakak? Mengapa kamu tidak mau mencari satu pacar yang tetap hah? Apa karena kamu memang takut kehilangan para pemujamu ya? Dasar adik tidak tahu diri!" Maddie apa saja berdiri dari sofa dan menjambak keras rambutku. Aku sampai terangkat dari sofa panjang karena kuatnya jambakan tangan Maddie pada rambut panjangku.

Maddie kemudian menghempaskanku ke lantai. Aku meringis kesakitan saat kurasakan Maddie kembali menjambak rambutku dengan sekuat tenaga. Aku hanya berusaha membela diri sebisaku. Kak Maddie sudah mirip dengan orang yang kerasukan setan.

Plakkk!

Aku mulai merasakan pipiku perih berikut rasa besi yang tercecap di mulutku. Tidak puasanya menjambak rambutku, kini Maddie juga menampar pipiku. Aku tahu, saat ini pasti bibirku sudah berdarah karena tamparan kerasnya.

"Sudah! Jangan bersikap seperti anak kecil yang menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan membabi buta. Semuanya bisa kita selesaikan secara baik-baik." Ayah menarik Maddie menjauhiku.

"Kamu Maddie duduk di sana." Ayah menunjuk sofa di samping ibu. 

"Dan kamu Lyn, duduk di sini." Ayahku mendudukkanku di sampingnya. Aku duduk di samping Ayah dengan tangan yang tidak bisa berhenti gemetar. Aku kaget diserang tiba-tiba seperti itu oleh kakakku.

"Nah, Lyn. Sekarang jawab pertanyaan ayah, kalau memang kamu menerima SMS dari kakakmu. Mana bukti SMSnya?" Aku mengulurkan tangan. Meminta ponsel berisi SMS dari jakakku itu.

Tunggu sebentar ya ponselnya Lyn letakkan di tas." Aku segera meraih tas yang kuletakkan begitu saja di atas meja. Setelah keluarkan ponsel dari dalam aku memberikannya pada Ayah. Selanjutnya Ayah terlihat mengotak-atik ponselku. Aku memperhatikan dalam diam. Pipiku mulai terasa berdenyut-denyut dan pasti sebentar lagi akan membengkak.

Kulihat ada beberapa helai rambutku berserakan di lantai akibat tercabut karena jambakan Maddy. Aku sungguh-sungguh bingung, siapa yang mengirimkan SMS yang mengakibatkan semua kekacauan ini. 

"Apa benar bukan kamu yang mengirimkan SMS ini, Maddie?" Setelah memeriksa ponsel beberapa waktu, ayahku mengajukan pertanyaan pada Maddie. Tatapan ayah sangat tajam. Seolah-olah ingin mengatakan jangan berani berbohong.

"Sudah dua belas tahun Maddie memakai nomor ponsel yang biasa, Yah. Tidak pernah sekalipun Maddie mengganti nomor. Buat apa coba Maddie mengirimkan SMS itu? Apa keuntungan yang Maddie dapat?

Sementara rencana pernikahan Maddie sudah di depan mata? Maddie merasa itu cuma akal-akalan Lyn saja untuk menutupi kebusukannya." Maddie masih keukueh menuduhku berbohong. 

"Dasar keturunan jalang!" Ibu menyemburkan kemurkaannya kepadaku.

"Ibu, jangan sembarangan berbicara!" bentak ayah murka.

Keturunan jalang? Maksud Ibu itu apa? Bukankah aku anaknya? Berarti ibu mengatai dirinya sendiri jalang?

Dengan bingung aku bolak balik memandang antara ayah dan ibu.

"Maaf, Ibu terbawa emosi dan salah berbicara tadi." Ibu langsung meralat ucapannya sambil terus berjalan ke belakang. Seolah-olah ingin menghindar karena takut dimarahi oleh ayah.

"Oke, masalah ini kita anggap sebagai salahpahaman saja dan berakhir sampai di sini. Ada yang ingin kamu katakan Maddie?" Ayah menatap kami semua. Ayah memang selalu begitu. Dia selalu berusaha bersikap adil kepada ketiga anaknya.

"Apa konsekuensinya kalau ternyata Lyn berbohong dan memang berhubungan dengan Chris di belakang Maddie, Yah?" Maddie tampak berpikir dan menimbang-nimbang sesuatu.

"Kalau memang terjadi hal yang seperti itu, maka Chris harus menikahi Lyn, demi kebaikan semua pihak." Ayahku sudah menjatuhkan pilihan. Tetapi aku tidak takut. Aku kan memang sama sekali tidak bersalah. Aku bahkan tidak tahu apa-apa sebelum SMS sialan itu menyuruhku kemari.

"Baik, kalau begitu Maddie akan mengungkapkan kebenaran yang baru saja Maddie temukan ini. Ayo ke sini, Yah. Maddie ingin menunjukkan sesuatu pada Ayah."

Walau terlihat bingung, kulihat Ayah mengikuti Maddie yang berjalan cepat menuju ke arah dapur. Aku, Chris dan kedua orang tuanya, akhirnya mengikuti langkah kakak dan ayahku karena penasaran. Apa yang Maddie katakan tadi terdengar ambigu. Maddie berhenti ketika berada di tempat keranjang cucian kotor.

"Lihat ini, Yah! Ini adalah pakaian kerja yang selalu Lyn pakai. Dan juga ini! Ini adalah piyama yang sering sekali ia kenakan karena kainnya sudah tipis. Lyn bilang piyama ini enak dipakai tidur. Ingat kan, Yah? Dan wah! Ini adalah bra kesayanganmu 'kan, Lyn? Kenapa semua ada di sini? Ada dalam keranjang cucian kotor pula? Coba jawab, Lyn!"

Seketika aku terdiam. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti, mengapa ada beberapa pakaian kotorku di sini. Bahkan bra dan piyama dora emonku yang beberapa hari ini kucari-cari, ternyata ada di sini. Di apartemen ini. Apa sebenarnya yang terjadi? Pikiranku mendadak buntu dan kepalaku mulai berdenging. Aku bingung sebingung bingungnya.

"Lyn tidak tahu, Kak. Sebenarnya piyama ini sudah Lyn cari berhari-hari yang lalu. Lyn juga bingung kenapa malah ada di sini. Lyn nggak bohong Kak, Yah! Lyn mohon percayalah pada Lyn." Aku memohon-mohon agar mereka semua percaya kalau aku memang tidak tahu apa-apa.

"Kak Chris, coba katakan pada mereka bahwa semua ini nggak benar kan, Kak? Lyn tidak tahu kenapa semua bisa jadi seperti ini." Aku mengguncang-guncang lengan Chris saking bingungnya. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kulihat Chris menatap tajam wajahku sambil menghela napas kasar.

"Baik. Saya akan bertanggung jawab. Saya akan menikahi Marilyn secepatnya." Chris yang sedari tadi diam akhirnya mulai bersuara juga. Tetapi apa yang disuarakannya itu membuat aku nyaris tidak percaya. Chris mengakui perbuatan yang sama sekali tidak kami lakukan!

"Kak Chris, Kakak sudah gila ya? Kita kan tidak ada hubungan apa-apa, Kak?Mengapa Kakak menjanjikan hal gila ini? Lyn tidak mau menikah dengan Kakak!"

Aku berteriak histeris dan berusaha menyangkal semua pernyataan Chris. Dengan menikahiku, berarti Chris mengakui adanya hubungan busuk di antara kami di belakang Maddie. Dan demi Tuhan, aku tidak rela dianggap sebagai perusak hubungan orang. Apalagi hubungan kakakku sendiri.

"Saya tunggu lamaran resmi kamu dan kedua orang tuamu di rumah kami secepatnya, Chris." Ayah menjawab datar. Dan itu artinya final! Aku ketakutan. Aku tidak mau menjadi kambing hitam di sini.

"Yah, ini semua cuma salah paham, Yah. Lyn mengatakan hal yang sebenarnya Yah. Percaya sama Lyn yah!" Aku berlutut di hadapan Ayahku sambil terus berusaha menjelaskan.

"Ayah tidak mau mendengar alibi apapun dari kalian berdua, kecuali masalah pernikahan. Ayo kita semua pulang ke rumah. Biarkan mereka berdua menyelesaikan masalah ini." Ayah menepis tanganku dan berjalan melewatiku begitu saja menuju pintu apartemen. Aku tergugu. Dihakimi semua orang tanpa diberi kesempatan untuk membela diri.

Aku hanya bisa terdiam dengan air mata yang mengalir tanpa suara, melihat mereka semua meninggalkanku di tempat ini. Tempat yang masih sama sekali asing bagiku. Mereka menuduhku berselingkuh dengan Chris. Padahal aku belum juga sepuluh menit menginjakkan kakiku di apartemen ini.

Masih kudengar caci maki dan teriakan histeris Maddie di sepanjang jalan pintu keluar. Kudengar juga kata-kata menenangkan ibu dan usapan tangan ayah pada kepala kakakku. Lalu yang menenangkan aku siapa? Aku juga terluka dan bingung. Tetapi kenapa aku tidak menerima setitik pun penghiburan dari mereka semua? Aku hanya bisa menangis sesenggukan sendiri, tanpa menerima sedikitpun rasa simpati. Perih dan pedih sendiri. Selalu saja begini. 

Setelah Semua orang pergi dan apartemen Hanya menyisakan kami berdua, aku kembali duduk di ruang tamu. Suasana di ruang tamu ini mendadak begitu mencekam setelah suasana panas tadi. 

Takut-takut aku memandang Chris yang daritadi hanya diam membisu. Kecuali matanya yang menatapku dengan dingin dan penuh kebencian. Tangannya dari tadi kulihat mengepal seakan-akan ingin memukul sesuatu.

"Kak, aku..."

"Diam! Dan jangan coba-coba mengucapkan apapun itu yang saya tahu semua adalah kebohongan. Saya tidak tahu apa tujuan kamu mempermalukan saya seperti ini. Membuat saya seperti seorang pesakitan, tanpa saya bisa mendapatkan bukti untuk membela diri. Tapi saya bisa pastikan, kamu akan menyesal karena sudah coba-coba untuk mengusik hidup saya!" Chris terlihat memukul dinding di sampingnya. Buku-buku jarinya seketika luka-luka berdarah. Tetapi Chris seperti tidak merasakannya.

"Mengapa tadi Kakak tidak mau membela diri? Kakak malah berjanji mau menikahi saya? Bukankah itu sama saja dengan Kakak mengakui tuduhan Kak Maddie?" tanyaku geram. Mata Chris tiba-tiba menggelap. Dia langsung mencengkram rahangku dengan geram.

"Apa yang bisa saya bantah kalau semua bukti memberatkan saya? Kamu bilang datang karena di SMS. Sementara barang-barang pribadi kamu ada di keranjang cucian kotor saya? Coba pakai sedikit saja otakmu?" Geraham Chris saling beradu. Ia melepaskan wajahku. Sebagai gantinya ia menggebrak meja. Chris tampak begitu marah dan kecewa. 

Aku maklum melihat kemarahan Chris ini. Christian Diwangkara adalah seorang sosok yang terkenal dingin, sopan dan kehidupannya begitu bersih dari kejahatan yang memalukan. Ia tidak pernah terlibat perkelahian, mabuk-mabukan di club ataupun bergonta-ganti pacar. Dia clean. Kini mendapati dirinya dituduh sebagai tukang selingkuh pasti sangat mencoreng harga dirinya.

Sekonyong-konyong Chris berjalan. Tatap matanya terlihat penuh dendam. 

"Baiklah, setelah saya pikir-pikir tidak ada ruginya juga saya ikuti permainan kamu. Kepalang basah, mending mandi saja sekalian," desisnya geram. Chris menatapku tajam dan mulai melangkah mendekatiku.

"Kakak mau ngapain?" Setiap Chris maju selangkah, aku mundur selangkah. Sampai akhirnya aku merasakan punggungku membentur dinding ruang tamu.

Aku berdiri mematung sementara Chris mengurung tubuhku dengan kedua lengan kekarnya.

"Jangan macam-macam, Kak. Atau aku akan berteriak." Aku menatapnya dengan sorot mata ketakutan. Gentar melihat tekad kuat di antara mata kecewanya.

"Coba saja!" tantangnya sembari mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
curiga Maddie sendiri yg jebak Lin biar dia bisa dijodohkan sama Albert... dan sepertinya Lyn bukan anak kandung ibunya deh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status