Dia segera mendekati Arum lalu memegang kedua pipi wanita itu. Air mata berjatuhkan, lalu Ibu Fadli menundukan kepala. "Apa kamu beneran Mas Arfa? Aku gak lagi mimpi kan," lontar Arum pelan. Arfa segera membuat Arum menatapnya, dia menggelengkan kepala. "Iya, Rum. Ini Mas, ternyata ini beneran kamu, aku selalu cari kamu lho selama ini." Pria tersebut segera menarik Arum dalam dekapannya, suara sesegukan terdengar. Nesa paham situasi sekarang, ia segera mengajak Ayah mertua dan Ibu Fadli untuk mengikuti dia.Kedua makhluk yang baru saling bertemu itu saling bertautan tangan, Nesa mengajak mereka ke ruangan. Segera menyiapkan minuman untuk mereka."Di mana anakku, Mas?" tanya wanita itu. Arum bertanya setelah Nesa pergi dari ruangan ini. Arfa langsung diam, lalu menundukan kepala. "Dia udah berada di sisi Allah, Rum. Dia juga udh punya seorang putri yang cantik, Nesa, istri almarhum anaj kita," jelas Arfa. Arum menangis mendapati tidak akan pernah lagi bertemu anak pertamanya. Ar
Arum mendorong Fadli ke kamar lelaki itu, sedangkan sang anak langsung tertawa. "Ibu, nanti jangan lupa kasih Fadli, adik ya," kelakar lelaki tersebut. Wanita itu langsung mendaratkan cubitan pada anaknya. "Kamu ...!" Setelah berkata demikian wanita itu memilih pergi meninggalkan putranya. Dari pada meladeni perkataan pria tersebut, malah semakin membuat pipi memerah karena malu. "Aku pengen kamu selalu bahagia." Fadli berkata demikian saat memandang punggung Ibunya yang mulai menghilang. ***Waktu terus berjalan, tidak terasa tiga bulan telah dilalui. Arfa telah pensiun dan digantikan oleh sang putra. Lelaki yang berstatus duda ini sangat cekatan dalam mengurus perusahaan milik Ayahnya. Fadli mengembuskan npas panjang saat merasakan penuh kepuasan laly mendudukan bokong ke kursi kebesaran. "Akhirnya semua udah beres, udah terkendal." Lelaki itu bermonolog, rasa syukur yang sangat dalam. Fadli memejamkan mata kala kepala bersandar. "Kangen iu sama Manda, udah seminggu sibuk d
Seorang wanita tidak melawan, kala ia di siram oleh sang suami. Lelaki itu memaki istri pertamanya bahkan menampar berulang kali. Disaksikan adik madu yang lebih tua darinya."Dasar cewek mandul! Udah bagus aku gak menceraikanmu, kamu malah mau membahayakan calon anakku," hardik Fadli.Lelaki itu menunjuk-nunjuk wajah Amara. Urat lehernya sangat terlihat, bahkan wajah memerah karena marah."Mas ... dengerin aku, dulu. Aku tadi dijegal sama dia, jadi minuman itu tumpah ke dia sendiri, Mas."Amara berusaha menjelaskan pada lelaki yang berstatus imamnya. Ia berusaha memegang lengan sang suami, tapi di tepis oleh pria tersebut. Bahkan di dorong sampai terjatuh duduk ke lantai. "Tega banget kamu, Ra, malah menunduhku."Istri kedua Fadli berkata sambil menangis, membuat sang suami semakin murka pada Amara."Sayang ... jangan nangis. Kasian anak kita," ucap Fadli.Lelaki itu mengusap pipi Mawar yang terdapat air mata. Amara hanya bisa diam melihat pemandangan yang membuat ia sakit hati."Ayo
"Jangan asal nuduh, dong!" geram Amara.Wanita itu menatap nyalang pria yang berada di hadapannya. Sedangkan lelaki tersebut tersenyum angkuh."Bener, jangan asal nuduh! Kamu nakal banget, baru nemuin Oma, pas tau Oma kecelakaan," omel Oma Ica. Ica menarik telinga cucunya, sampai membuat pria tersebut meringis. Sedangkan Amara menahan tawa melihat kejadian itu."Sorry, Oma. Kean banyak kerjaan soalnya," jelas pria tersebut.Kean berusaha bersikap cool dalam ke adaan ini. Ia sangat malu diperlakukan seperti itu."Oma, lepas ... Kean malu," keluhnya. Lelaki itu melirik tajam Amara yang menatap dengan ekpresi menahan tawa. Matanya membulat sempurna, membuat wanita tersebut berusaha bersikap biasa saja. "Kamu harus janji dulu! Seminggu menginap di rumah Oma minimal tiga kali." Mendengar permintaan sang Nenek, tanpa sadar Kean mendengkus membuat Ica kesal dan semakin kencang menjewer telinga lelaki tersebut. "Seminggu sekali ya, Oma." Kean berusaha menawar permintaan sang Oma, ia mena
"Ayo Sayang, duduk dekat Oma. Kita makan bareng," ajak perempuan tersebut. Oma Kean itu kini tengah duduk di kursi lalu bangkit sambil berkata kala melihat kedatangan Amara. Ia segera menarik lengan perempuan tersebut untuk duduk di kursi sampingnya. Amara segera berdiri kembali saat Ica mendudukannya di kursi. "Oma, aku gak pantes makan di sini," tolak Amara pelan. Wanita paruh baya itu mendelik kesal lalu memilih menyendokan makanan dan di taruh ke hadapan Amara. "Cepat duduk! Kamu cuma disuruh makan bareng aja suka banget ngebantah. Oma majikan kamu lho, nurut aja napa," geram Omanya Kean. Kean terus menatap intraksi para perempuan itu, lalu menatap Amara yang langsung duduk pasrah saat ditatap tajam oleh Ica. "Ayo makan." Manusia yang paling berumur diantara mereka berkata demikian. Lalu segera mengambil makanan untuknya sendiri dan tidak lupa membaca doa lalu melahap hidangan tersebut. "Oma, kenapa punyaku gak disendokin," lontar lelaki itu. Mendengar lontaran sang cucu,
BAB 4"Udah sampe, cepat turun!" perintah Kean. Lelaki itu selesai memarkirkan kendaraan roda empat miliknya. Amara melihat keluar jendela lalu mengulas senyum. Ia lekas membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil. "Kamu gak kebauan, kah? Atau kamu lagi pilek." Kean melontarkan pertanyaan pada Amara dan dibalas gelengan wanita tersebut. "Enggak dong, udah biasa. Tuan kaya cenayang aja, bahkan aku belum minta diantar ke pasar," celetuk Amara. Wanita itu sangat antusias, ia mulai melangkah masuk dan melihat-lihat diikuti Kean dibelakangnya. "Bu, mau ayam dong dua kilo," pinta Amara.Penjual ayam itu mengangguk sebagai jawaban lalu mulai memotong hewan tersebut. "Yang banyak dagingnya ya Bu," kata Amara lagi."Siap Neng," sahut penjual."Jadi berapa Bu?" tanya Amara.Wanita itu memperhatikan sang pejual yang sibuk memotong dan menimbang daging ayam."Seratus ribu Neng," balas penjual ayam."Mahal amat, Bu. Kurangin dong," tutur Amara.Kean membulatkan matanya kala mendengar permint
Tidak terasa seminggu telah berlalu, Amara tinggal di kediaman sang majikan. Senyuman bahagia terus terukir di bibir. Sudah tujuh hari juga, ia tak melihat batang hidung cucu Ica, lelaki yang menurutnya tampan tapi menyebalkan. Padahal Kean telah berjanji pada Omanya."Dasar cucu durhaka," pikir Amara. Wanita itu kini tengah menyiram tanaman langka yang harganya sangat mahal. Suara deru mobil dan klason membuat pikiran yang berkelana buyar. Saat melihat gerbang, ia lekas mematikan keran dan berlari untuk membuka pagar besi tersebut. Setelah kendaraan mobil, dia segera menutup kembali lalu melanjutkan kegiatan yang tertunda. "Oma di mana?" tanya Kean. Lelaki itu setelah memarkirkan kendaraan langsung berjalan ke tempat Amara berdiri. Ia bertanya dengan nada dingin."Di dalam Tuan, Oma sedang sarapan," sahut Amara. Amara hanya melirik sekilas lelaki tersebut. Saat mendapatkan jawaban dari wanita itu, Kean bergegas masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Oma kira kamu lupa jalan pu
BAB 6Lelaki itu kini tengah menikmati angin pagi yang menyejukan. Ia menghirup dalam dan perlahan menikmati setiap embusan udara menerpa. Kean sangat menykai tempai ini, saat kanak-kanak dulu bermain dengan Ica. Kedua orang tua pria tersebut sibuk menggeluti pekerjaan sampai menitipkan cowok kecil yang membutuhkan kasih sayang mereka pada nenek Kean. Jadi saat lelaki itu kini hanya menyayangi Oma Ica bukan salahnya kan. Wanita berumur tersebut merawat dan menjaga dengan sepenuh hati sang cucu. Punggung Kean tengah bersandar pada kursi taman, matanya terpejam mengenal masa dulu, sampai diusia menginjak sembilan belas tahun diperintahkan belajar bisnis yang kini dia geluti. Suara langkah laki terdengar, tetapi tidak membuat Kean terusik sedikitpun. Lelaki itu terlalu larut dalam lamunan, bahkan terus memilih memejamkan saat sebuah suara memanggilnya. "Tuan ...." "Apa Tuan tidur?" tanya Amara kembali. Merasa kesal dengan suara Amara, lelaki itu membuka mata dan manik mereka langsung