Share

BAB 2 PERTEMUAN PERTAMA

Kota Baylee, Januari 2005 - 15 Tahun Lalu.

“Ethan, apa menurutmu hanya ada satu bumi di dunia ini?” seorang wanita dengan dres cokelat muda bertanya lembut sambil membelai kepala anak lelaki yang bersandar di pundaknya, di ruang keluarga rumah mereka.

“Bukankah memang begitu, ibu? Jika memang ada bumi lain, lalu di mana bumi itu?” tanya anak itu sambil menatap wanita yang ia panggil ibunya, penuh penasaran.

“Hmm.. Begini.. Saat kau hanya bisa memilih satu di antara apel, bola atau mobil ayahmu, kau akan memilih apa?”

Ethan duduk berpikir cukup lama. Tiga pilihan itu adalah favoritnya, jadi sulit bagi Ethan yang besok akan berumur 10 tahun untuk memilih.

“Mobil?” jawab Ethan tidak yakin. “Ayah pasti menyimpan apel dan bolaku di sana, benar kan?”

Ibunya tertawa. “Baiklah.. Kalau begitu, jika Ayahmu tidak menyimpan apel dan bola di sana, lalu apa yang terjadi dengan dua pilihan lain yang tidak kau ambil?”

Ethan bingung. “Apa yang akan terjadi?”

“Pilihan itu akan hilang.. Tapi mungkin akan kembali kalau kau mengambil pilihan itu..”

“Jika aku tidak mengambilnya, apa mereka akan tetap hilang? Karena aku juga ingin memilih mereka. Bisakah aku memilih semuanya saja?” rajuk Ethan dengan bibirnya yang cemberut.

“Ethan.. Kau tahu, saat hidup, kita akan lebih banyak diharuskan mengambil hanya satu pilihan dalam satu waktu. Karena dengan begitu kita punya tujuan yang pasti dan tidak akan bingung..”

“Seperti saat Ibu memilih untuk menikahi Ayah dan tinggal di Baylee, daripada hidup dengan Kakek dan Nenek di Landen?”

Eislyn, wanita yang menjadi ibu dari Ethan itu, mendadak diam. Ethan memang sudah sering bertanya tentang itu karena ia selalu ingin bertemu dengan Kakek dan Neneknya tapi tidak bisa.

“Ya.. seperti itu..” jawab Eislyn sambil berusaha tersenyum. “Jadi, jika di sini kau memilih mobil, maka di tempat lain kau mungkin memilih apel atau bola..”

“Di tempat lain? Apa aku ada di tempat lain?”

“Mungkin.. Bisa jadi kita tidak hanya tinggal di satu tempat, tapi juga tinggal di tempat lain dengan memilih pilihan lain.. Karena itu, bumi pun mungkin saja tidak hanya ada satu, tapi dua, tiga, atau banyak lagi..”

Ethan semakin bingung mendengar penjelasan ibunya. Dia ingin bertanya lagi tapi seorang pria dengan tergesa-gesa memasuki ruangan itu diiringi suara riuh angin dari pintu yang ia buka.

“Huh.. Anginnya sungguh kencang malam ini..” ucap pria itu sambil menyeka tanah dan daun yang hinggap di badan dan kakinya. Ia baru saja naik ke atap rumah dengan mengandalkan pohon besar tepat di samping rumah mereka untuk membenarkan antena televisi yang dipasang di sana.

“Apa kau baik-baik saja, sayang?” tanya Eislyn sambil berdiri untuk mengambil segelas teh hangat yang langsung diserahkan pada pria itu.

“Tidak terlalu buruk. Tapi, apa televisinya sudah kembali menyala?”

Eislyn segera menyalakan televisi di bawah jam yang menunjukkan pukul 7.30. Video berputar diiringi suara yang mengejutkan Ethan. Ia berteriak. Ethan pikir ada monster yang muncul dari sana. Mereka tertawa dan mulai duduk berkumpul di sofa, empat meter di depan televisi tersebut.

Waktu berlalu hingga pukul 9.45 dan Ethan sudah terlelap di pangkuan Eislyn. Perlahan, Adrien, pria yang sudah menjadi suaminya selama 12 tahun ini, membaringkan Ethan di kamar tidurnya yang dipenuhi bintang-bintang kecil menyala di langit-langitnya. Mereka segera keluar setelah mencium kening dan pipi Ethan.

“Apa kita akan tetap pada rencana semula?” bisik Eislyn.

“Tentu saja.. Ethan sudah sangat menantikan itu..” balas Adrien sambil berjinjit menahan suara langkahnya.

Mereka mulai membersihkan ruang keluarga dan menempatkan berbagai balon besar berbentuk angka 10 hingga kue tar berwarna biru dengan miniatur mobil yang terbuat dari cokelat. Bagaimanapun lewat pukul 12 malam ini, Ethan sudah memasuki usia 10 tahun, jadi tentu mereka harus merayakannya. Terutama karena Ethan selalu ingin diberi kejutan meskipun itu berarti ia harus bangun tengah malam.

Eislyn dan Adrien masih bersemangat menyiapkan pesta kejutan ulang tahun Ethan saat suara dering telepon dari sofa mengejutkan mereka. Jam 11.30 saat telepon itu berdering di saku jaket yang tergantung di sofa tersebut. Adrien segera mengambil telepon genggam itu dan berlari keluar rumah agar Ethan yang masih tertidur di kamarnya tidak terbangun.

“Halo..?” tanya Adrien, tapi tidak ada suara di ujung sana.

Adrien hendak mengakhiri panggilan sampai sebuah suara tiba-tiba terdengar dari telepon itu.

“Adrien? Ini aku Leane..” jawab suara tersebut parau bersama angin yang berhembus cukup kencang.

“Leane? Apa yang terjadi? Mengapa suaramu terdengar aneh?” tanya Adrien mulai khawatir.

Leane adalah temannya dan Eislyn di kampus 12 tahun lalu. Mereka sudah putus kontak setelah Leane dan suaminya Derin tiba-tiba menghilang begitu saja 5 tahun yang lalu.

“Aku dan Derin ada di Gunung Zyn. Aelin dalam bahaya. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, tapi bisakah kau datang ke sini dan membawa Aelin?”

Adrien masih berusaha memproses suara Leane yang samar terhalang suara angin di sekitarnya. Eislyn yang sebelumnya memeriksa Ethan di kamarnya sesaat setelah Adrien keluar dengan telepon itu, kini sudah berada di samping Adrien dengan kerut kening yang sama.

“Ada apa?” bisik Eislyn. Adrien menggeleng kecil, ia masih tidak mengerti.

“Eislyn, apa kau di sana?” suara Leane terdengar lebih jelas, begitupun suara angin yang mulai mereda.

“Leane? Apa benar ini kau?” Eislyn terkejut sekaligus bahagia mendengar suara teman lamanya yang selama ini ia cari.

“Ya.. Maafkan aku karena baru menghubungi kalian di saat seperti ini.. Tapi bisakah kalian membantuku sekarang karena mereka masih terus mengejar kami jadi kami tidak bisa menjaga Aelin..”

“Apa yang sebenarnya terjadi Leane? Mereka siapa yang kau maksud? Kalian ada di mana sekarang?” tanya Eislyn lagi, bingung sekaligus khawatir.

“Kami.. d... Gunu.. Zyn..” suara di telepon itu mulai terputus-putus. “..bawah tungku.. ruma.. persembunyian.. ambil..”

Sesaat setelah itu telepon kembali hening. Adrien dan Eislyn saling bertatapan diiringi suara panggilan yang berakhir.

Adrien mencoba menelepon Leane lagi beberapa kali tapi tidak diangkat.

“Apa yang terjadi? Apa mereka benar-benar dalam bahaya?” tanya Eislyn tidak yakin.

“Sepertinya kita hanya bisa memastikan itu sendiri..” ucap Adrien setelah dengan gelisah terus mengetuk-ngetukkan ponselnya ke tangannya yang lain.

Adrien masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci dan menyalakan mobilnya. Bensinnya masih penuh. Sementara itu, angin pun sudah mulai mereda. Mungkin mereka bisa pergi ke tempat Leane dan keluarganya berada, Gunung Zyn.

“Apa kau akan pergi sendiri?” tanya Eislyn khawatir.

“Sepertinya begitu.. Kau harus menjaga Ethan, sayang..” ucap Adrien.

Meskipun Eislyn khawatir tapi ia menyerah. Sebelum Adrien pergi dengan mobilnya, Eislyn membawa jaket cokelat yang tergantung di sofa tadi, sepatu gunung dan sebuah senter untuk diserahkan pada Adrien.

“Kabari aku begitu kau bertemu dengan Leane..”

“Baiklah.. Jangan khawatir.”

Adrien melajukan mobilnya, meninggalkan Eislyn yang segera masuk ke rumah mereka lagi setelah mobil itu hilang dari pandangannya.

Saat Eislyn hendak merapikan semua properti untuk pesta kejutan ulang tahun Ethan, ia melihat pintu kamar anaknya terbuka. Ia segera memeriksa kamar tersebut dan mendapati bahwa anaknya sudah tidak ada di sana.

“Ethan?” Eislyn terkejut. “Ethan di mana kau, nak?” Ia berjalan mengelilingi rumah mencari Ethan yang masih tidak muncul. Sampai di luar rumah, ia melihat beberapa jejak kecil di tanah tempat mobil Adrien diparkir tadi.

Eislyn segera menelepon Adrien namun tidak ada jawaban. Khawatir, ia kembali mencari Ethan dengan lebih seksama ke berbagai tempat di sekitar rumah mereka, tapi masih tidak ada tanda apapun selain jejak tadi.

Eislyn merenung. Ia pikir mungkin Ethan diam-diam masuk ke dalam mobil Adrien karena marah tidak bisa mengadakan pesta ulang tahunnya. Terakhir kali, ia melakukan hal yang sama karena marah saat ayahnya harus bekerja di hari libur dan tidak bisa bermain dengannya seperti yang dijanjikan.

“Bagaimana ini..” Eislyn mulai takut karena pergi ke Gunung Zyn saat malam hari sudah cukup berbahaya untuk orang dewasa, apalagi untuk Ethan yang masih kecil. “Apa yang harus aku lakukan..?”

***

Mobil masih melaju hingga Adrien menemukan gerbang usang yang jarang dilewati orang di Gunung Zyn. Itu adalah jalan pintas paling dekat menuju rumah persembunyiannya dan teman-teman kuliahnya dulu sesama pecinta gunung. Ia segera menghentikan mobilnya dan bergegas memasuki gunung dengan senter yang diberikan Eislyn.

Tanpa Adrien sadari, Ethan yang ternyata memang diam-diam masuk ke dalam bagasi mobilnya, keluar setelah mendengar ayahnya pergi. Ia mulai bingung, tidak tahu bahwa ia akan berada di tempat yang begitu gelap tanpa siapapun.

“Ayah..?” Ethan mulai memanggil ayahnya, tapi Adrien sudah pergi jauh. Ethan mulai menahan air mata, ketakutan. Kemanapun ia melihat, hanya ada banyak pohon besar dan jalanan gelap dengan sedikit cahaya dari lampu sein mobil yang tidak sempat dimatikan Adrien.

Ethan memutuskan untuk kembali masuk ke dalam bagasi mobil itu sampai sebuah langkah mendekat. Ia terkejut. Tidak tahu siapa yang mendatanginya.

Apakah itu ayahnya?

Di tempat lain, Eislyn sudah masuk ke dalam taxi menuju Gunung Zyn sambil membawa sebuah senter dan mantel anaknya. Dengan penuh khawatir, ia masih berusaha menelepon Adrien, tapi tetap tidak diangkat.

Saat Eislyn tidak sanggup lagi menahan air mata cemas, sebuah mobil yang terparkir di dekat gerbang membuatnya berhenti. Ia ingat, gerbang itu adalah jalan pintas menuju rumah persembunyian mereka. Mobil yang terparkir di sana juga mobil yang sangat ia kenal, mobil Adrien.

Eislyn segera turun dari taxi. Ia mendekati mobil Adrien berharap ia dan anaknya ada di sana, tapi yang ia temukan adalah telepon genggam yang jatuh di sela-sela jok mobil tersebut dan bagasi yang terbuka. Mereka sudah tidak ada. Tanpa ragu lagi, ia bergegas menyalakan senter dan masuk ke dalam gerbang tadi menuju rumah persembunyian, tempat mereka mungkin berada.

Sesampainya di rumah persembunyian berupa pondok yang terbuat dari 80 persen kayu, pintu terbuka begitu saja sebelum Eislyn menyentuhnya. Sosok dengan wajah yang tak asing keluar dari rumah tersebut bersama Ethan di sampingnya.

“Ethan?”

“Ibu!” Ethan langsung memeluk ibunya. Sementara itu, Eislyn terpaku memandangi wajah yang tak mungkin ia lupakan.

“Aku sangat ketakutan, kalau saja ayah tidak menjemputku..” ucap Ethan menyebut sosok di depan mereka sebagai ayahnya.

Sekilas, ia memang terlihat seperti Adrien-nya di mata siapapun, tapi tidak di matanya. Eislyn tahu, bahwa ia bukan Adrien suaminya.

“Kau masih sama seperti dulu..” ucap Eislyn.

Pria dengan pakaian serba hitam itu tersenyum tipis, menatapnya dengan lembut.

“Sepertinya kau masih tidak bisa menghindari takdirmu, Eislyn..”

Hening.

Ethan yang kedinginan sekaligus ketakutan, tidak mengerti satupun yang mereka bicarakan.

Dari jauh, suara-suara riuh tiba-tiba terdengar. Pria tadi segera pergi ke arah asal suara tersebut. Eislyn mulai memakaikan mantel tebal yang dibawanya ke badan Ethan lalu menggandengnya berjalan ke arah yang sama.

Cahaya yang begitu besar memenuhi jalan di pegunungan itu, tak jauh dari rumah persembunyian tadi. Beberapa orang berkelahi di dalam cahaya tersebut, salah satunya Adrien, suami Eislyn. Ethan terkejut, tidak hanya karena cahaya yang begitu besar menyerbak di sana, tapi juga karena ada dua wajah yang sama di depannya.

Belum sempat Ethan bertanya, Eislyn langsung menariknya menuju cahaya itu. Pria berbaju hitam yang Ethan pikir sebagai ayahnya tadi, mencoba menghentikan mereka tapi langsung ditepis Eislyn.

“Adrien, apa yang terjadi?” teriak Eislyn saat memasuki cahaya aneh yang di dalamnya terdapat sebuah jembatan besar tempat semua orang berdiri saat ini. Menara jam besar berdiri tegak di belakang mereka tapi jarum jamnya tidak bergerak.

Di belakang Adrien, seorang anak perempuan seusia Ethan bersembunyi dengan menggenggam erat sebuah kalung berbentuk bulat bergambar segitiga dengan sebuah batu kecil di dalamnya. Mungkin ia adalah Aelin, anak Leane dan Derin yang membuat mereka ada di sana untuk menyelamatkannya. Sementara itu, lima orang berpakaian serba hitam seperti pria yang mirip Adrien tadi, mencoba mendapatkan kalung tersebut.

Meskipun tidak tahu apa yang sedang terjadi, Eislyn berlari menuju Adrien dan Aelin, diikuti Ethan yang masih takjub dengan semuanya.

“Kami hanya perlu kalung itu, dan kalian akan selamat..” bujuk salah seorang berbaju hitam di depan mereka.

“Memangnya kalung apa ini? Mengapa kalian begitu menginginkan kalung ini hingga mencelakai Leane dan keluarganya?” tanya Adrien.

“Kami tidak mencelakai siapapun.. Kami hanya ingin mengambil apa yang menjadi milik kami..” jawab salah seorang lainnya.

“Milik kalian? Kalung ini?” Adrien tidak percaya.

Saat ia berusaha memproses semua yang ia alami, matanya teralihkan pada sosok pria yang berdiri di luar cahaya di seberang mereka. Adrien terbelalak. Ia seperti sedang melihat cermin dirinya namun dengan pakaian yang berbeda.

Memanfaatkan situasi tersebut, kelima orang berbaju hitam tadi langsung menyerbu Adrien dan keluarganya. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menyeret Aelin diiringi jeritan sang anak.

“Kami tidak tahu alasan kalian berbuat seperti ini.. Tapi karena kalian mengatakan hanya ingin mengambil kalung tersebut, bukankah kalian bisa melepas anak itu?” ucap Eislyn berusaha menenangkan keadaan.

Pria-pria itu menoleh ke belakang, seperti meminta persetujuan pria lain di luar cahaya. Dia mengangguk. Mereka pun melepas Aelin setelah mengambil kalung dari genggamannya secara paksa yang membuat tangan anak itu terluka. Aelin sambil meringis kesakitan segera berlari menuju Eislyn. Sedangkan kelima pria tadi mulai berjalan mundur menuju keluar cahaya.

Pria yang mirip Adrien di seberang yang selalu diam di tempat sejak ia sampai di sana, tiba-tiba berteriak.

“Keluar dari sana!” teriaknya penuh ketakutan sambil menatap Eislyn yang masih menenangkan kedua anak di sampingnya.

Cahaya mulai menghilang dan mereka tidak bisa lagi melihat satu sama lain. Semua terdiam.

Jarum jam di menara besar yang tadi berhenti, mulai bergerak tidak karuan. Jembatan besar yang semula berdiri kokoh juga tiba-tiba mulai retak dan bergoyang. Lantai jembatan yang terbuat dari beton itu dengan mudah runtuh begitu saja. Semua orang yang tersisa di jembatan kini mulai berteriak panik.

“Apa yang terjadi?!”

Adrien dan Eislyn sebagai satu-satunya orang dewasa di tempat itu, segera meraih Ethan dan Aelin untuk membantu mereka memanjat saat jembatan mulai melandai. Namun, saat akhirnya Adrien dan Eislyn bisa menyelamatkan diri mereka sendiri, tempat mereka berdiri tiba-tiba runtuh dan Eislyn terjatuh.

“TIDAK!!!” jerit semua orang, terbelalak ketakutan.

Saat semua orang masih menahan napas karena apa yang baru saja terjadi, sebuah tangan muncul dari bawah menggapai lantai jembatan yang masih utuh. Ternyata Eislyn berhasil bertahan. Adrien pun segera berlari menuju tempat Eislyn meskipun ia kesulitan karena lantai jembatan yang curam. Sedangkan Ethan dan Aelin hanya bisa saling menggenggam tangan satu sama lain, berharap jembatan ini tidak lagi hancur.

Cahaya besar kembali muncul di belakang mereka. Ethan dan Aelin menoleh, seolah melihat harapan. Namun, sebelum seseorang akhirnya bisa menyelamatkan mereka, lantai jembatan tempat Adrien dan Eislyn berada, tiba-tiba runtuh membawa mereka jatuh ke dalam jurang yang tak terlihat dasarnya.

“IBU!!!” teriak Ethan, berlari menuju tempat mereka terjatuh sampai sepasang tangan menghentikannya dengan kuat.

“TIDAKKK!!!” Ethan tak kuasa menjerit. Air matanya mengalir begitu deras bersama sisa-sisa reruntuhan jembatan yang jatuh menyusul kedua orang tuanya. Aelin, meskipun baru bertemu dengan mereka, ikut terisak keras dengan tangannya yang masih berdarah.

Sepasang tangan asing memeluk mereka dengan erat sambil menahan air mata dari matanya yang sudah memerah dan sembap, lalu membawa mereka keluar dari cahaya tersebut. Sementara itu, suara raungan di dalam gunung terdengar begitu memekik, seolah menyampaikan kesedihan ke segala penjuru dunia tentang kehilangan yang tidak akan pernah bisa dilupakan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
edmapa Michael
Awal pertemuan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status