Share

3. Si cuek yang pengertian

“Chel, udah lama banget kita nggak ketemu. Kamu masih ingat aku, kan?” ujar lelaki itu dengan sedikit heboh. Sedangkan Rachel masih terdiam tak merespon.

“Aku Reza. Teman kamu,” ucapnya lagi.

Rachel menundukkan kepalanya seraya mengangguk kecil. Responnya yang kurang baik tersebut, sukses membuat senyuman lelaki itu perlahan memudar.

Sementara itu, Alan yang menyadari jika Rachel terlihat tak nyaman. Sontak saja langsung melancarkan aksinya.

Sorry, Sir. But my wife looks uncomfortable,” ujar Alan. Membuat Rachel langsung membulatkan matanya kaget.

Ah, sorry. I'm just glad to see her again,” balas lelaki itu seraya tersenyum canggung.

Alan membalasnya dengan senyuman tipis. Sedangkan Rachel masih plonga- plongo tidak mengerti.

Can you leave us alone? We are already hungry and want to eat right now,” ujar Alan lagi.

Ah, of course. Sorry to interrupt.”

Setelah lelaki itu pergi menjauh, Rachel langsung menatap Alan dengan tatapan yang begitu dalam. Sementara itu, Alan malah bersikap santai. Seolah tidak terjadi apa- apa.

“Kenapa?” tanya Alan, seraya menaikkan sebelah alisnya.

My wife?” gumam Rachel, seraya memandangi wajah Alan tanpa berkedip.

“Saya cuma bantu kamu, biar dia cepat pergi. Tadi kamu kelihatan nggak nyaman soalnya,” balas Alan. Sedangkan Rachel hanya mengangguk- anggukkan kepalanya sembari ber- oh ria.

“Bukan nggak nyaman sih, tapi kaget aja. Nggak nyangka, kalau bakal ketemu dia di sini,” ujar Rachel.

“Dia siapa?” tanya Alan.

“Teman lama,” jawab Rachel. 

“Oh, orang Bali juga?”

Rachel mengangguk. “Tapi makasih ya, Pak, udah bantuin saya. Saya emang nggak mau berhubungan lagi sama orang masa lalu,” ucapnya.

“Sama- sama. Lain kali kalau ketemu sama orang masa lalu lagi, pura- pura amnesia aja,” celetuk Alan. Membuat Rachel langsung melongo tak percaya. Sungguh, saran yang sangat baik untuk diterima.

***

Setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih sembilan jam, akhirnya Rachel dan Alan sampai di Bandara Hong Kong International Airport. Mereka pun langsung buru- buru keluar, karena mobil jemputan mereka sudah datang.

“Rachel!” teriak seseorang dari arah belakang.

Rachel dan Alan langsung menghentikan langkahnya, dan menoleh ke belakang untuk melihat siapa orang yang memanggilnya.

Rachel memutarkan bola matanya malas. Ternyata orang yang memanggilnya adalah lelaki yang tadi ia temui di dalam pesawat. Ia kira siapa!

Tak ingin menanggapinya, Rachel pun lantas menarik tangan Alan dan mengajaknya untuk kembali berjalan dengan cepat. Namun sayangnya, lelaki itu lagi- lagi mengejarnya dan kali ini mulai berani menarik tangannya.

“Chel, please... minta waktunya sebentar. Ini penting banget,” ujar lelaki itu dengan napas yang terengah- engah.

Rachel menghembuskan napasnya lelah. Sejujurnya ia malas menanggapi lelaki ini. Tapi karena tak mau terus dibuntuti, jadi ia memberinya kesempatan untuk berbicara.

“Cepat,” ketus Rachel.

“Oke. Aku mau nanya dulu sama kamu. Sebelumnya, kamu udah pernah pulang ke Bali atau pernah ketemu sama orang tua kamu lagi?” tanya lelaki itu.

“Orang tua yang mana? Saya nggak punya orang tua,” balas Rachel ketus. Membuat lelaki itu langsung menghembuskan napasnya kasar.

“Aku nggak tau, kamu udah lupa atau pura- pura lupa. Aku cuma mau bilang, kalau orang tua kamu sampai sekarang masih nyari kamu. Mereka tau, kalau kamu nggak jadi gugurin anak kamu waktu itu,” jelas lelaki itu. Membuat Rachel langsung terdiam membatu.

“Kamu tau kan, apa yang bakal dilakuin orang tua kamu kalau misalnya dia berhasil nemuin kamu sama anak kamu? Mereka masih jahat, Chel. Jadi aku harap, kamu lebih hati- hati aja. Batasi penggunaan sosmed, karena ada orang yang diam- diam memantau akun kamu,” jelasnya lagi.

Setelah beberapa menit terdiam, Rachel pun mulai bersuara lagi.

“Emang kamu tau sosmed saya?” tanya Rachel.

Lelaki itu menggelengkan kepalanya. “Kata Papa kamu, Airin yang tau,” jawabnya.

Rachel mengangguk- anggukkan kepalanya. Ternyata keluarganya masih belum puas mencampuri urusan kehidupannya. Setelah membuangnya, mengusirnya, menghinanya, dan menyakiti dirinya. Keluarganya ini masih memiliki keinginan untuk menyakiti dirinya dan juga anaknya. Sungguh sangat kejam sekali.

Di sini, Rachel masih memiliki hak asasi manusia. Jadi ia tidak akan tinggal diam saja, jika keluarganya kembali menyakiti dirinya ataupun anaknya.

“Jangan khawatir. Saya pasti akan melindungi istri dan anak saya,” sahut Alan seraya menepuk- nepuk bahu lelaki itu, dengan disertai senyuman yang begitu manis. Hingga membuat Rachel sampai melongo melihatnya. Karena baru kali ini, ia melihat pria itu tersenyum dengan sangat manis.

***

Pagi mulai menyapa. Cahaya matahari perlahan masuk memenuhi sudut-sudut kamar hotel yang ditempati oleh Rachel. Tebalnya gorden berwarna abu- abu nyatanya tak bisa menghalangi cahaya itu masuk ke dalam ruangan.

Perlahan, Rachel mulai membuka matanya. Tangannya meraba- raba, mencari ponsel yang ia letakkan di atas nakas.

“Baru jam tujuh. Masih ada waktu satu jam lagi,” gumam Rachel. Setelah melihat jam di ponselnya.

Ketika wanita itu akan memejamkan matanya lagi, tiba- tiba ia teringat pada anaknya. Ia lupa belum menghubungi Noah, sejak sampai di hotel tadi malam.

Sontak saja, ia langsung mencari nomor Ida dan langsung menghubunginya saat itu juga.

“Selamat pagi, anak gantengnya Bunda,” sapa Rachel. Ketika panggilannya sudah tersambung.

Noah masih malah sama Bunda,” sahut bocah itu.

“Kok gitu? Bunda sedih nih dengernya,” ujar Rachel. Dengan nada bicara yang memelas. 

“Bunda nggak telepon Noah, kemalin.”

“Bunda kan baru sampai tadi malam, Nak. Terus Bunda ketiduran. Lupa, nggak telepon Noah dulu.”

“Tuh, kan. Masa lupa sama anak sendili?”

Rachel tertawa kecil. Sungguh imut sekali, suara anaknya ini. Jika saat ini berada di sebelahnya, mungkin sudah ia uyel- uyel sampai merah pipinya.

“Yaudah, Bunda minta maaf deh. Noah udah makan belum?”

“Belum.”

“Kok belum? Emang Eyang belum masak?”

“Mau beli bubul katanya.”

“Oh. Noah udah mandi belum?”

“Belum. Nanti aja kalau mau belangkat sekolah.”

“Eyang ke mana?”

“Mandi. Papa di mana?”

“Di kamarnya.”

“Emang Bunda nggak Bobo sama Papa?”

“Ya enggaklah,” balas Rachel sewot.

“Kenapa enggak?”

“Ya nggak boleh.”

“Kenapa nggak boleh?”

“Tau ah, Bunda pusing jawabnya. Noah kayak Dora. Kalau nanya sampai ke akar- akarnya,” kesal Rachel. Membuat Noah langsung tertawa kecil.  

“Bunda ke kamal Papa sekalang! Bangunin Papa. Noah pengen ngomong sama Papa,” perintahnya. Membuat Rachel langsung berdecak kesal. Sedikit menyebalkan memang, anaknya ini.

“Nggak mau. Nanti Papa kamu marah,” ketus Rachel.

“Aaaa... ayolah,” rengek Noah.

“Papa di sini, Noah.”

Seketika Rachel langsung membulatkan matanya lebar, saat melihat Alan yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya, sambil membawa nampan yang berisi makanan dan juga minuman. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status